Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

AEER Dukung Rencana Pembatasan Produksi Nikel untuk Perbaikan Tata Kelola dan Lingkungan

AEER berharap pembatasan produksi nikel bisa memperbaiki tata kelolanya yang selama ini mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.

13 Desember 2024 | 20.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja industri nikel melintas di jalur menuju kawasan industri IMIP, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Ahad, 31 Desember 2023. Keberadaan kawasan industri nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali memberi dampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pekerja yang tinggal di kawasan industri tersebut. ANTARA/Mohamad Hamzah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengapresiasi rencana pemerintah yang akan membatasi produksi nikel. Koordinator AEER Pius Ginting mengatakan, rencana tersebut diharapkan bisa memperbaiki tata kelola industri nikel di Indonesia yang selama ini mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dengan pembatasan produksi ini, industri nikel diharapkan memperbaiki tata kelolanya agar mekanisme transisi energi menuju energi hijau dapat diwujudkan secara berkeadilan,” kata Pius dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 13 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AEER melihat selama ini implementasi transisi energi tidak memperhatikan aspek keadilan. Hasil riset AEER pada 2024 mengungkapkan masalah ketenagakerjaan pada industri nikel, yang sumbernya selalu berasal dari usaha perusahaan meraup keuntungan dengan menyerap tenaga buruh yang murah.

Selain itu, kata Pius, eksploitasi pekerja terjadi dengan menekan upah, jam kerja yang panjang. Selain itu juga ada tindakan sepihak oleh perusahaan seperti pemotongan gaji, pemutusan hubungan kerja, pemberian sanksi, hingga buruknya standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). “Dalam periode waktu 2023 hingga 2024, terdata 36 pekerja tewas dan 47 terluka saat bekerja,” tuturnya.

Riset AEER juga mengungkapkan bahwa para buruh nikel di Morowali dan Morowali Utara ada yang berlatar belakang petani dan nelayan. Mereka meninggalkan pekerjaan lamanya karena area bekerja mereka tercemar limbah pertambangan sehingga mempengaruhi produktivitas pertanian dan perikanan. Akhirnya banyak petani yang akhirnya terpaksa menjual tanah.

Pius mengatakan aktivitas penambangan nikel menghasilkan limbah industri yang perlu mendapatkan perhatian. Sekitar 1,5 ton limbah dihasilkan dari satu ton nikel yang diolah. Saat ini di Morowali tersedia 600 hektare lahan yang digunakan untuk menampung limbah industri tersebut.

Tata kelola industri nikel yang juga perlu diperhatikan adalah penggunaan energi listrik. Produksi tambang mineral di wilayah Sulawesi seharusnya dibatasi sebesar daya dukung energi terbarukan. AEER mendorong pemerintah sgera menerapkan kebijakan pembatasan produksi nikel.

Sebelumnya rencana pembatasan produksi nikel ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Tri Winarno. Pertimbangan pemerintah, pembatasan produksi ini diperlukan untuk menaikkan harga jualnya di pasar.

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus