Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa kasus pembobolan data perusahaan berujung pada peretas atau hacker yang meminta tebusan. Menariknya, tebusan untuk mengembalikan data yang sudah dibobol itu biasanya menggunakan mata uang kripto atau aset digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Aset kripto hanya sebagian dari pembayarannya, karena kalau transfer bank kan bisa di-tracing siapa yang transfer ke mana dan bisa ditangkap,” ujar Country Manager Trend Micro, Laksana Budiwiyono, dalam acara virtual, Kamis, 2 September 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Laksana, pembobolan data yang berujung pada tebusan karena hacker cerdik dan mengenkripsi data tersebut dengan militery grade, yang sangat sulit untuk dipecahkan. Ditambahkannya, hacker tidak akan secara cuma-cuma memberikan password-nya.
Contoh kasus terjadi pada perusahaan minyak asal Amerika Serikat, Colonial Pipeline, beberapa bulan lalu. Perusahaan harus membayar tebusan sebesar US$ 4,4 juta atau Rp 62,7 miliar kepada pemeras ransomware Darkside dalam bentuk Bitcon—salah satu jenis aset kripto.
Pemasok daging terbesar di dunia, JBS, juga harus membayar tebusan sebesar US$ 11 juta (Rp 156,8 miliar) yang juga dalam bentuk Bitcoin, pada Mei lalu. Serangan ransomware itu berdampak pada beberapa rumah jagal di Amerika Serikat tutup, termasuk satu di Kanada.
“Karena kripto ini tanpa jejak transaksinya dan bisa luas sampai antar negara,” katanya lagi.
Laksana juga mengingatkan bahwa, ke depan tren pembobolan data oleh hacker akan semakin marak terjadi. Dasarnya, banyak perusahaan yang yang beralih ke digital. “Ini kadang enggak seiring dengan proteksinya. Bahkan untuk layanan publik, attack-nya semakin luas,” tutur dia.