Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYEDIA layanan pesan instan WhatsApp menjadi topik pembicaraan selama dua pekan terakhir di dunia teknologi digital. Mungkin tak kalah heboh dibanding Panama Papers. Apalagi sekarang pemerintah ataupun lembaga penegak hukum tak lagi bisa mengintip dengan seenaknya pesan yang berseliweran di WhatsApp.
Ya, mengirim pesan lewat WhatsApp kini dijamin aman. Tak ada yang bisa menyadap, termasuk para pegawai anak perusahaan Facebook ini. Dengan jumlah pengguna lebih dari satu miliar, WhatsApp menawarkan end-to-end encryption untuk tiap pesan yang dikirim. "Mungkin banyak yang tak setuju dengan langkah ini, terutama penegak hukum," ucap Brian Acton, pendiri WhatsApp, dua pekan lalu.
Untuk mengacak kode data yang terkirim, WhatsApp menggunakan Signal Protocol rancangan Open Whisper Systems. Kegunaannya, ketika pesan dikirim secara otomatis dilindungi message key yang menggunakan AES256 dalam moda CBC dan HMAC-SHA256 untuk autentikasi. Bahasa sederhananya, kode pada message key selalu berubah untuk setiap pesan terkirim.
Menariknya, message key tak bisa direkonstruksi oleh siapa pun. Sebab, message key tak pernah disimpan. Lalu ada di mana message key tersebut? Para pengguna WhatsApp-lah yang memegang message key itu. Cara kerjanya mirip token PIN yang digunakan pada Internet banking. Cuma, kode PIN pada WhatsApp berubah-ubah dengan sendirinya.
Untuk keamanan tambahan, pengguna WhatsApp dapat mengautentikasi pesan yang diterima lewat kode QR atau 60 digit nomor. Kekuatan lainnya, enkripsi WhatsApp sudah memakai 256-bit. Secara teori, mustahil memecahkan kode itu dengan metode brute force sekalipun, yakni teknik serangan terhadap sistem keamanan komputer menggunakan semua kombinasi kunci yang ada.
Amnesty International menganggap apa yang dilakukan WhatsApp ini sebagai "kemenangan" bagi kebebasan berpendapat. "Ini merupakan kemenangan besar, terutama bagi para aktivis dan jurnalis yang selalu bergantung pada alat komunikasi yang aman dan dapat dipercaya. Kini mereka dapat bekerja tanpa khawatir jiwanya terancam," tulis Amnesty International dalam siaran persnya.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia Information and Communication Technology Institute, melihat ada dua alasan mengapa WhatsApp mengenkripsi aplikasinya. Pertama, persaingan bisnis. Posisi WhatsApp kian terancam oleh layanan sejenis, Telegram, yang sudah lama menerapkan fitur enkripsi. "Tentu WhatsApp tak mau para penggunanya pindah ke kompetitor," ucap Heru.
Telegram menggunakan fitur enkripsi end-to-end sejak 2014. Enkripsi yang digunakan adalah 256-bit simetrik AES, Enkripsi RSA 2048, dan Diffie Hellman. Sedangkan alasan kedua kemungkinan berkaitan dengan kasus hukum enkripsi antara Apple dan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI). FBI memaksa Apple memberikan kode rahasia iPhone 5C milik pelaku penembakan untuk melihat isinya, tapi Apple menolak. WhatsApp, seperti Apple, tak mau privasi konsumennya terusik.
Anggota Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Bidang Hukum, I Ketut Prihadi Kresna Murti, mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, setiap informasi yang disalurkan wajib dirahasiakan operator. "Tapi ada pengecualian untuk keperluan peradilan pidana. Aparat dapat meminta rekaman itu, apakah rekaman suara, SMS, atau e-mail," ujarnya.
Masalahnya, WhatsApp bukan penyelenggara komunikasi yang diatur di Indonesia. "Secara prinsip belum diatur," kata I Ketut. Untuk itu pemerintah sedang menggarap peraturan terkait dengan perusahaan layanan aplikasi dan konten melalui Internet (Over The Top). Nantinya setiap perusahaan diwajibkan membuka enkripsi layanannya pada kasus tertentu. "Bagaimana caranya, akan dijabarkan lebih lanjut," ujarnya.
Ribut-ribut masalah enkripsi layanan pesan instan ini pernah terjadi ketika pemerintah memaksa perusahaan asal Kanada, BlackBerry, meletakkan servernya di Indonesia. Alasannya, jika ada pengusutan kasus yang membutuhkan data dari BlackBerry Messenger, semisal pengungkapan jaringan terorisme, pemerintah bisa dengan mudah melacaknya. Tapi permintaan itu tak pernah diikuti.
Ketika WhatsApp kian sulit untuk disadap, bukan tak mungkin kejadian dengan BlackBerry terulang. Apalagi selama ini Komisi Pemberantasan Korupsi sukses melakukan operasi tangkap tangan dengan bukti dan petunjuknya justru didapat dari hasil penyadapan. Salah satunya melalui WhatsApp.
Erwin Prima, Maya Nawangwulan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo