Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", yang berlangsung selama dua hari pada awal pekan lalu, mendapat perhatian luas dari dalam dan luar negeri. Ini pertama kalinya pemerintah mengadakan forum untuk membahas dan membicarakan secara terbuka peristiwa kelam 1965.
Sejumlah nama terlibat dalam proses perencanaan simposium. Salah satunya Agus Widjojo, yang bertindak sebagai Ketua Panitia Pengarah Simposium. Pensiunan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat ini punya sejarah dan pengalaman yang tak terbantahkan dalam tragedi 1965: ayahnya, Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, adalah salah satu korban pada malam 30 September, setengah abad lalu.
Bersama beberapa keluarga korban lainnya dari berbagai aliran, Agus kemudian membentuk dan bergabung dalam Forum Solidaritas Anak Bangsa sejak 2003. Mereka punya kegelisahan yang sama: sejarah gelap 1965 harus dibuka demi masa depan bangsa yang lebih baik. "Kami sudah sering mengadakan diskusi internal, tapi baru kali ini didukung langsung pemerintah," kata pria 69 tahun itu.
Agus, yang kini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), punya gagasan dan wawasan tentang penyelesaian konflik akibat tragedi 1965. Kamis pekan lalu, Agus menerima wartawan Tempo Tito Sianipar, Anton Aprianto, Cheta Nilawaty, dan fotografer Franoto untuk sebuah wawancara khusus. Dalam obrolan selama sekitar satu setengah jam yang sempat terpotong karena harus menerima delegasi dari Kenya itu, Agus juga memaparkan proses reformasi TNI yang kini berjalan, termasuk sikapnya terhadap penggunaan kekuatan militer dalam penggusuran di Jakarta.
Seperti apa cerita awal sampai ada simposium tersebut?
Sebetulnya ini bermula dari rasa penasaran saya. Setelah 50 tahun berlalu, kita tidak kunjung menemukan konsensus nasional tentang tragedi 1965 itu. Kalau dilihat dari segi politis, memang diametral, banyak pertentangan. Saya mencari sebuah pendekatan yang paling obyektif dan faktual tapi juga memberi manfaat untuk kita. Karena itu, judul akhirnya "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan". Kebetulan juga ketemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan, dan dia punya pendapat yang sama. Menteri pun memberikan arahan untuk melaksanakan simposium tersebut.
Kapan proses itu berlangsung?
Forum Silaturahmi Anak Bangsa mengadakan seminar dalam rangka memperingati 30 September tahun lalu. Tapi kami berpikir untuk topik semacam ini sayang sekali kalau dibahas dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa saja. Saya ingin tragedi 1965 ini jadi pembelajaran bangsa karena masalah tersebut ada pada tataran kebangsaan. Karena itu, saya kembangkan untuk berbicara kepada berbagai komponen di luar forum. Kira-kira waktu persiapan simposium itu, sejak dibicarakan dengan Pak Luhut sampai pelaksanaan, tidak lebih dari sebulan. Oleh Pak Luhut diberi tenggat supaya selesai hasilnya sebelum 2 Mei.
Simposium ini adalah peristiwa bersejarah yang tidak terjadi dalam pemerintahan sebelumnya. Apakah faktor Presiden Joko Widodo punya peran?
Kita menganut sistem presidensial. Segala sesuatu yang terjadi ataupun tidak terjadi sangat banyak dipengaruhi sikap presiden terhadap sebuah isu. Dan Presiden Jokowi meletakkan fondasi bagi keterbukaan pembahasan isu ini. Termasuk juga keterbukaan terhadap hampir semua masalah nasional. Itu menjadi faktor pendorong yang kuat, yang mungkin tidak ada pada presiden sebelumnya. Karena memang besarnya risiko yang harus dihadapi. Dan Presiden Jokowi tidak ada keterkaitan langsung dengan peristiwa tersebut, sehingga melihatnya sebagai beban masa lalu yang harus diselesaikan.
Lalu siapa saja yang terlibat dalam panitia?
Kami membuka seluas mungkin keterlibatan dalam panitia. Kami undang yang dari kiri, yang punya pandangan, dan yang pernah mengalami. Karena di Forum Silaturahmi Anak Bangsa juga ada yang dari kiri.
Sebagai Gubernur Lemhannas, Anda melihat penguakan tragedi 1965 ini penting untuk kemajuan bangsa kita ke depannya?
Dilihat dari ketahanan nasional, itu perlu. Saya melihat bagaimana masyarakat terkotak-kotak. Sementara negara lain jalan terus, kita masih saling mencurigai. Ini harus sampai pada suatu pengakhiran yang bisa diterima semua orang.
Simposium ini disebut sebagai langkah awal menuju rekonsiliasi nasional....
Itu semua idealnya menurut dan sesuai dengan teori rekonsiliasi. Ada empat elemen. Pertama, pengungkapan kebenaran, dan ini di atas segala-galanya. Ternyata ada yang mengalami tindak kekerasan, korban, terduga pelaku, dan militer yang bisa bebas melakukan tugas politik tanpa intervensi. Ini adalah pelajaran.
Kedua, soal keadilan. Dan keadilan itu tidak cuma di pengadilan. Ada keadilan tradisional dan ada keadilan restoratif. Korban mengalami kerugian apa saja; fisik, tidak bisa sekolah karena kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Ketiga, kebijakan untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia. Dan, keempat, bila ada kelemahan di sisi kewenangan kelembagaan, perlu reformasi kelembagaan.
Keempat poin itu dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Semua memulai dengan derajat yang sama dan tidak ada diskriminasi. Masalahnya, tidak semua orang mengerti konsep rekonsiliasi. Ada yang maunya keras, langsung ke titik yang dia mau.
Ada kecurigaan bahwa hasil akhirnya akan menggiring bahwa korban tragedi 1965 adalah hasil konflik horizontal. Benarkah demikian?
Intinya simpati terhadap korban itu sangat besar. Kalau mau rekonsiliasi tidak boleh berpihak. Ini hanyalah untuk mereka yang bisa berpikir dalam tataran kenegarawanan. Tapi Pak Nur Kholis dari Komnas HAM jujur bahwa bagaimanapun Komnas HAM harus melihat dari perspektif korban. Sedangkan korban itu banyak. Saya mengatakan rekonsiliasi itu untuk kepentingan nasional. Kepentingan terhadap korban itu nantinya akan mengalir setelah proses rekonsiliasi berlangsung.
Simposium itu ditolak oleh kelompok pro-korban dan kelompok anti-komunis dengan alasan masing-masing. Bagaimana tanggapan Anda?
Panitia memang mendapat tentangan dari berbagai pihak, malah praktis dari semua pihak. Keseimbangan itu perlu ada di dalam panitia. Kalau panitia berat ke kanan atau kiri, tidak bagus. Penolakan dari banyak pihak itu blessing in disguise buat panitia. Karena itu bukti kami tidak berpihak dan niat kami baik. Bayangkan kalau yang menolak hanya yang kiri, sementara yang kanan mendukung penuh, kita semakin dicurigai.
Apakah poin soal permintaan maaf dari negara adalah pembahasan yang paling alot di panitia?
Itu sebenarnya bisa diatasi. Paket rekonsiliasi adalah paket yang dapat memenuhi tuntutan semua pihak, asalkan mau mendengarkan dulu. Jangan ribut duluan. Semua keributan itu karena ketidakpahaman soal konsep rekonsiliasi. Karena tujuan simposium ini adalah memberikan pencerahan konsep rekonsiliasi kepada publik. Sebenarnya simposium ini adalah eksperimen karena belum pernah dilakukan. Dan, karena pemerintah mendukung, makanya bisa jalan. Kalau cuma dari civil society, tidak akan jalan. Kalau dari pemerintah saja juga tidak kredibel.
Ada beberapa contoh lain negara meminta maaf atas sejarah kelamnya, seperti Australia terhadap Aborigin, Afrika Selatan, dan lainnya. Apakah opsi minta maaf itu masih terbuka?
Tunggu saja, kami sedang bekerja. Karena simposium ini adalah simposium akademik. Soal minta maaf, ada masalah semantik di situ. Jangan sampai semantik ini diberi makna politik. Misalnya tidak minta maaf, berarti secara politik tidak mau. Jangan dulu. Nanti ada penyelesaiannya. Jangan terlalu cepat berasumsi yang belum tentu benar.
Lalu apa yang menjadi tujuan atau produk akhir simposium ini?
Dalam proses rekonsiliasi, ada tahap yang dinamakan sebagai healing process. Simposium itu punya dua sisi. Pertama, untuk memberikan pencerahan ke masyarakat bahwa ada pendapat berbeda, dan supaya kita belajar dan memecahkan mitos masa lalu bahwa masing-masing kelompok merasa benar. Kita harus menemukan titik temu supaya bisa segera maju dan bersatu sebagai bangsa yang damai. Public showcase adalah healing process yang keras. Ini persoalan kita sebagai bangsa. Tidak usah ditutupi. Jadi, semua harus tahu, mau ke mana kita mencari solusi.
Kedua adalah untuk membantu pemerintah memberikan rekomendasi, alternatif, dan bahan guna perumusan kebijakan pemerintah. Mengakhiri atau memberikan solusi terhadap pelanggaran berat hak asasi yang terjadi di masa lalu. Itu akan disampaikan kepada pemerintah lewat Pak Luhut. Kalau pemerintah kurang jelas, silakan bertanya kepada kami. Kalau soal kewenangan dan operasional, itu masuk halaman pemerintah.
Sedekat apa Anda dengan Luhut, selain karena satu angkatan di Akabri?
Sejak dari taruna juga sudah kenal. Dia kan mendaftar dari Jakarta juga. Kami punya kesamaan pandangan untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Dia punya ketertarikan di bisnis, dan beruntung mendapatkan peluang. Dan kemudian dalam operasional bisnisnya, dia profesional.
Anda juga ikut bersama Luhut dalam tim pemenangan Presiden Joko Widodo yang berkantor di Wisma Bakrie 2?
Yang di Wisma Bakrie 2, iya. Tapi saya tidak masuk ke politik praktis. Saya di situ membawahkan sebuah lembaga pengkajian di bawah Pak Luhut juga. Termasuk melakukan pelatihan kader.
Ekspektasi publik sangat besar terhadap simposium ini. Apakah harapan mereka terpenuhi?
Yang saya bilang tadi, ini adalah eksperimen. Untuk mencerahkan publik agar punya kedalaman pemahaman tentang tragedi 1965 dan konsep rekonsiliasi sebagai salah satu alternatif pengakhiran pelanggaran berat hak asasi, khususnya tragedi 1965.
Apakah karena Anda punya pemikiran seperti itu makanya ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Gubernur Lemhannas?
Hmm..., enggak juga, ha-ha-ha.... Tapi jika saya tidak jadi Gubernur Lemhannas pun ini akan tetap jalan.
Akan ada simposium lanjutan setelah ini?
Itu tergantung kebutuhan. Kalau ada kebutuhan, kami siap.
Salah satu pihak yang paling resistan terhadap dikuaknya tragedi 1965 adalah TNI. Bagaimana Anda menyikapinya?
Tidak bisa dimungkiri, apalagi TNI secara institusional. Ini kenyataan. Kita harus terima itu untuk bisa kita olah. Jangan disembunyikan seolah-olah proses ini lancar. Justru itu yang harus dihadapi untuk mencari solusi. TNI memang masih berkiblat pada doktrin dan pandangan terhadap ketahanan dan kewaspadaan nasional dalam perspektif masa lalu. Tidak salah juga karena aparat ketahanan itu punya pandangan konservatif.
TNI tidak bisa bergerak sendiri. Kalau dari pihak korban dan eks anggota PKI tidak memberikan bukti bahwa mereka berubah dan sudah mereformasi kelompoknya menjadi warga negara Pancasila, akan terjadi seperti yang dikatakan dalam konsep dilema keamanan.
Doktrin bahwa komunisme masih menjadi ancaman nasional juga masih diberikan di lembaga pendidikan TNI....
Semua harus percaya bahwa komponen apa pun, di mana pun, dan dalam fungsi apa pun harus sadar sebagai bagian dari sistem nasional. Tidak bisa berpikir dalam arogansi sektoral bahwa dia paling menentukan. Dan sistem nasional juga harus menyadari bahwa TNI memberikan pengayoman terhadap semua komponen, sehingga terjadi pandangan yang sifatnya menyeluruh dan tidak terkotak-kotak lagi. TNI harus berpikir bahwa dia merupakan bagian dari sistem nasional dengan supremasi sipil dan kontrol demokratis. Wajar kalau TNI membutuhkan jaminan bahwa otoritas sipil demokratik juga mampu mengelola negara. Ini penting untuk memberikan keyakinan kepada TNI bahwa tidak akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan seperti pengalaman masa lalu.
Seperti apa jalannya reformasi TNI sekarang?
Kita kembali pada konsep tentara profesional, yang dalam sistem demokratis tidak bisa ditentukan TNI sendiri. Agar TNI bebas dari paradigma masa lalu yang penuh dengan kebesaran dan mengklaim sebagai satu-satunya penjaga stabilitas dan persatuan kesatuan bangsa, harus ada sistem nasional yang efektif. Maka kita bisa katakan kepada TNI, "Anda tidak perlu khawatir, negara akan aman, stabil, dan dijamin nilai-nilai Pancasila akan berjalan."
Yang paling fatal adalah ketika ini belum tuntas dan baru sebentar, di beberapa bagian sistem internal TNI masih ada yang bergantung pada kebesaran masa lalu tadi. Dan, yang lebih celaka, sipil memberikan justifikasi. Ada kepentingan-kepentingan politik sempit, ada figur-figur otoritas sipil yang nyaman kalau mendapatkan dukungan politik TNI. Jadi reformasi TNI itu memang belum tuntas dan tidak bisa diselesaikan TNI sendiri.
Berapa Anda memberi nilai atas jalannya reformasi TNI sekarang?
Reformasi sempat sampai 80 persen. Tapi ada kemerosotan, mungkin sekarang kembali ke 70 persen. Contohnya TNI kembali memasuki fungsi-fungsi di luar wilayah pertahanan nasional.
Termasuk penggunaan kekuatan TNI dalam penggusuran di Provinsi DKI Jakarta?
Ada dua kelemahan di situ. Gubernur tidak bisa langsung menggunakan kekuatan TNI karena TNI itu milik negara. Kewenangan pertahanan itu milik nasional, bukan daerah. Kedua, otoritas sipil tidak bisa begitu saja mencomot satuan atau prajurit TNI untuk mendukung kebijakan daerah.
Kodam atau batalion adalah hierarki komando di bawah Panglima TNI dan Mabes TNI. Secara politis di bawah Menteri Pertahanan dan presiden, karena pertahanan bersifat nasional. Artinya, kalau ada kekuatan militer datang melakukan invasi mencaplok sebagian dari Aceh atau Kalimantan Utara, itu bukan merupakan persoalan daerah, tapi negara. Pertahanan selalu bersifat nasional. Kalau ada pertahanan di daerah, misalnya satuan TNI dikerahkan untuk mengembalikan keutuhan teritori nasional di Papua, itu adalah pelaksanaan fungsi pertahanan di daerah sebagai bagian dari pertahanan nasional.
Soal Papua, gelombang pro-kemerdekaan semakin besar. Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Dari semua permasalahan kebangsaan yang kita hadapi, tantangannya adalah bagaimana membuat kebijakan yang efektif secara nasional menyeluruh dan menjabarkan ke institusi-institusi dan dijalankan dengan integritas yang baik. Jadi jangan bicara sektoral, misalnya bahwa masalah Papua adalah pembangunan. Atau masalah Papua adalah keamanan semata. Semuanya itu perlu dikeroyok dengan the whole government approach. Seluruh fungsi pemerintahan harus digunakan untuk menyelesaikannya, jangan sektoral saja.
Kembali ke soal 1965, apa yang terjadi ketika ayah Anda diculik pada 30 September 1965 itu?
Ketika itu saya berusia 18 tahun. Kejadiannya sekitar pukul 3 pagi. Keadaan rumah gelap, dan kami-ibu dan dua adik saya-semua di dalam kamar. Ayah sempat memberi tahu Ibu untuk tetap di dalam kamar, apa pun yang terjadi. Ayah menemui mereka sendirian. Mereka bisa masuk dengan gampang karena ketika itu garasi rumah sedang direnovasi. Tidak ada penjagaan dan tidak ada senjata di dalam rumah. Pasukan itu memenuhi ruang keluarga dan ruang tamu kami. Menurut tetangga, ada dua truk yang datang malam itu.
Lalu kapan Anda mengetahui ayah Anda wafat dibunuh penculik itu?
Kami mengetahuinya beberapa hari kemudian dari media umum. Tidak ada yang mengabarkannya langsung kepada kami.
Anda tidak pernah mencekoki anak-anak Anda dengan sejarah versi Anda ataupun Orde Baru. Kenapa?
Saya memang tidak pernah menceritakannya kepada mereka. Saya membiarkan mereka mencari tahu sendiri. Ternyata pada akhirnya cara itu adalah yang paling baik.
Termasuk tidak melarang anak Anda membaca buku-buku yang dicap kiri?
Mereka adalah generasi yang lahir tahun 1970-an. Kalau dilarang malah akan melawan. Saya biarkan mereka dewasa dan tahu sendiri soal sejarah itu.
Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo Tempat dan tanggal lahir: Solo, 8 Juni 1947 | Istri: Herlina Hinayati, memiliki 2 anak, 3 cucu | Pendidikan: Akademi ABRI Angkatan Darat (1970), Jungle Warfare Course, Australia (1972), Sekolah Staf dan Komando TNI AD (1985-1986), US Army Command and General Staff College (1987-1988), Sekolah Staf dan Komando TNI (1990-1991), George Washington University, Amerika (1993-1994) | Jabatan: Gubernur Lemhannas (15 April-sekarang), Anggota Dewan Pengarah Lemhannas, Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (2005-2008), Deputi I Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (2006-2009), Wakil Ketua MPR Fraksi TNI/Polri (2001-2003), Kepala Staf Teritorial TNI (1999-2001), Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI (1998-1999), Asisten Perencanaan Umum Kepala Staf TNI AD (1997-1998) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo