Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Hati-Hati Membeli Produk Baru

Webcam, web-TV, monitor kristal cair, dan HDTV ternyata menyimpan sejumlah "masalah". Apa saja?

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRODUK teknologi baru biasanya lebih menarik dan menawarkan berbagai kecanggihan dibandingkan dengan produk lama. Namun, produk baru tak selalu harus diburu. Sebab, belum tentu si pendatang baru lebih baik daripada produk sejenis yang sudah ada sebelumnya. Situs warta digital CNET pekan lalu mengeluarkan peringatan itu. Menurut laporan mereka, beberapa produk yang mulai beredar di pasar ternyata mengandung sejumlah "masalah".

Produk teknologi "bermasalah" pertama adalah webcam atau kamera digital khusus komputer. Dengan kamera ini, Anda memang bisa bertelepon video jarak jauh. Jadi, Anda bisa bercakap-cakap dengan seseorang melalui komputer dan jaringan internet secara seketika (real audio and video). Anda juga bisa melakukan konferensi video dengan perkakas ini. Hanya, hasil tayangan alat ini masih jauh dari harapan. Gambarnya patah-patah, sementara warnanya belum seindah warna aslinya. Di komputer pun hasil tayangannya sangat kecil, kurang dari 10 sentimeter persegi. Bila diperbesar, resolusinya kasar. Itu bisa terjadi karena keterbatasan lebar pita (bandwidth) jaringan telepon.

Jika Anda menggunakan jalur telepon berkualitas DSL (digital subscriber lines) atau ISDN (integrated services digital network)—di Indonesia disebut Pasopati (Paduan Solusi Pelayanan Jasa Teknologi Informasi)—kualitas webcam baru membaik. Masalahnya, Indonesia belum menggunakan jaringan DSL, sedangkan ISDN belum menjangkau seluruh wilayah—karena mahal.

Produk bermasalah kedua adalah monitor LCD (liquid crystal display) supertipis tanpa tabung gambar. Produk ini punya keistimewaan dibandingkan dengan monitor yang memakai tabung gambar karena konsumsi listrik layar kristal cairnya bisa irit hingga lebih dari 60 persen. Beratnya pun cuma sepertiga monitor tabung. Efek panas yang ditimbulkan hampir tak ada.

Namun, monitor kristal cair punya beberapa kelemahan. Tampilan teksnya kurang solid, sementara warnanya pun tidak stabil. Lebih dari itu, harga satu monitor LCD berbeda jauh dibandingkan dengan monitor tabung, yakni hampir Rp 8 juta. Padahal, monitor biasa termurah cuma sekitar Rp 500 ribu.

Produk bermasalah berikutnya adalah apa yang disebut set-top box. Set-top box merupakan alat penghubung televisi ke jaringan internet (web-TV) yang, berbeda dengan komputer, tak punya papan ketik (keyboard). Sebagai gantinya, ia memakai remote control untuk berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya, dari satu situs ke situs yang lain. Perkakas ini juga dapat dioperasikan dengan papan ketik tanpa kabel. Hanya, karena menggunakan sinar inframerah sebagai media, posisi keyboard dan set-top box harus disetel berhadapan setepat mungkin. Bergeser sedikit saja bakal ngadat.

Kelemahan utama set-top box adalah pemakainya tidak bisa menyimpan, mengambil, atau mengirimkan dokumen dari dan ke jaringan internet. Pemakai juga tidak bisa melakukan konferensi video ataupun bermain game di jagat maya. Padahal, justru kegiatan semacam itulah yang biasanya paling menarik dari jaringan internet, bukan? Dan jika semua aktivitas tadi tidak bisa dilakukan dengan set-top box, lalu untuk apa Anda harus membelinya?

Produk teknologi lain yang dianggap bermasalah adalah HDTV (high definition television). Teknologi HDTV pertama kali diperkenalkan pada 1998. Sekarang harganya US$ 7.000-15.000 (Rp 50 juta-100 juta). Dengan harga semahal itu, kualitas tayangannya memang dahsyat. Ketajaman dan resolusi gambarnya berlipat-lipat dibandingkan dengan televisi biasa.

Masalahnya, sampai sekarang belum ada satu pun kesepakatan antara produsen HDTV dan produsen kabel video untuk menentukan standar yang akan dipakai. Dewasa ini saja di Amerika terdapat 18 perusahaan kabel untuk video digital, tentu saja dengan standar format berbeda-beda, di antaranya DTV, SDTV, 1080I, 720p, dan 480l.

Sebelum kesepakatan soal standar ini tercapai, konsumen berada pada posisi yang tidak diuntungkan. Situasi ini mirip dengan saat teknologi perekaman video pertama kali muncul. Standar format VHS dan Beta bersaing keras merebut hati konsumen, sampai akhirnya format VHS yang muncul sebagai pemenang. Konsumen yang telanjur membeli pemutar dan kaset video Beta sekarang tinggal gigit jari karena produsennya sudah tidak memproduksi dan mengedarkan format tersebut. Belajar dari ini, konsumen sebaiknya memang perlu berhati-hati dan bijak dalam membelanjakan uang.

Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus