Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Peta Calon Presiden

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salahuddin Wahid Praktisi politik, Ketua Umum Partai Kebangkitan Ummat Pemilihan presiden nanti adalah pemilihan presiden pertama yang sesungguhnya bagi kita. Presiden terdahulu, Bung Karno dan Pak Harto, dipilih secara aklamasi. Jadi, dapat dipahami kalau terasa masih banyak kecanggungan atau kegagapan dalam menjalani proses pemilihan itu karena masih dalam tahap belajar. Selain itu, situasi politik, ekonomi, dan keamanan yang tidak menentu membuat pemilihan presiden kali ini menjadi pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia. Kalau kita salah memilih, akan membawa risiko yang besar. Ditambah lagi dengan fakta bahwa calon-calon yang ada dianggap bermasalah. Maka, kita harus hati-hati dan cermat dalam melaksanakan pemilihan dan menentukan pilihan. Pertama, proses pemilihannya harus melalui pemungutan suara, bukan musyawarah untuk mufakat. Memang, dalam keadaan normal, bukan darurat seperti sekarang, musyawarah lebih bermutu dibandingkan dengan pemungutan suara. Tetapi, setelah sekian puluh tahun kita memilih presiden secara musyawarah dan menghasilkan keadaan yang sangat kacau, kini kita tidak boleh memilih secara musyawarah. Pemungutan suara menjadi wajib, minimal menjadi sunah. Kedua, tiga calon yang sudah muncul dianggap bermasalah. Mbak Mega dianggap kemampuannya meragukan, Pak Habibie diragukan sikap amanahnya, dan Gus Dur diragukan kemampuan fisiknya. Apakah calon itu masih akan bertambah atau akan ada yang diganti atau mengundurkan diri? Sulit untuk menjawabnya. Yang hampir pasti tetap akan muncul sebagai calon ialah Mbak Mega. Kalau Mbak Mega tidak lolos dari babak awal, bisa terjadi ''kiamat kecil". Habibie masih mungkin diganti atau terpaksa tidak bisa maju terus karena pertanggungjawabannya tidak diterima. Gus Dur masih mungkin ditolak pencalonannya karena kesehatan atau mungkin menyatakan mundur dari pencalonan pada saat-saat terakhir, dengan berbagai pertimbangan. Kalau dalam rapimnya Partai Golkar menambah calon presiden, suara mereka akan terpecah. Kalau pertanggungjawaban Habibie tidak diterima (dengan catatan sekalipun), Golkar harus mengajukan calon pengganti dan diperkirakan calon terkuatnya adalah Akbar Tandjung. Kalau yang maju Bang Akbar, bukan tidak mungkin Gus Dur akan mengundurkan diri karena illat dari majunya Gus Dur sudah tidak ada. Argumentasi majunya Gus Dur pada awalnya adalah untuk menghindari terjadinya ''benturan" para pendukung kalau yang terpilih adalah Mbak Mega atau Habibie. Kalau calon dari Partai Golkar adalah Bang Akbar Tandjung, potensi ''benturan" itu sudah jauh mengecil. Namun, kalau Gus Dur mundur dari pecalonan, mungkin saja akan ada protes keras dari pendukungnya di kalangan bawah yang sudah telanjur gembira karena pemimpinnya menjadi calon presiden. Kalau calonnya lebih dari dua, perlu dilakukan pemilihan babak awal untuk memilih dua calon yang bertarung di babak akhir, karena diperkirakan tidak akan ada yang mencapai suara 50 persen plus satu. Mari kita mencoba mengutak-atik berbagai kemungkinan: variasi dari pemilihan babak awal. Kalau calonnya Mbak Mega, Habibie, dan Gus Dur, yang akan muncul di babak terakhir adalah Mbak Mega dan salah satu antara Gus Dur atau Habibie. Saat ini sulit menentukan siapa pemenang antara Habibie dan Gus Dur, kekuatannya relatif seimbang. Kalau calon dari Partai Golkar lebih dari satu, besar kemungkinan tidak ada satu pun calon itu yang akan maju ke babak terakhir. Berarti yang akan maju ke babak terakhir adalah Gus Dur dan Mbak Mega. Kalau pertanggungjawaban Habibie ditolak dan Habibie memaksakan untuk maju, peluang Gus Dur untuk muncul ke babak berikut menjadi lebih besar. Seandainya pertanggungjawaban Habibie ditolak dan Bang Akbar muncul sebagai penggantinya, akan ada dua kemungkinan. Pertama, Gus Dur menyatakan mundur dari pencalonan, maka otomatis Akbar akan bersaing dengan Mbak Mega di babak terakhir. Kalau Gus Dur tetap maju sebagai calon, kemungkinan Akbar untuk mengalahkan Gus Dur dalam babak awal lebih besar daripada Habibie. Jadi, pendukung Gus Dur harus memperhitungkan dengan cermat apakah Gus Dur terus maju atau tidak. Kalau Gus Dur kalah, kalangan NU akan menganggap Gus Dur dikorbankan. Dan ini akan menimbulkan masalah serius di lapisan bawah pendukung Gus Dur. Bagaimana kita bisa memperkirakan hasil pemilihan babak akhir? Kalau yang bertarung Habibie melawan Mega, peluang keduanya hampir seimbang, tetapi Habibie mungkin sedikit di atas Mega. Kalau yang muncul adalah Gus Dur melawan Mega, peluang Gus Dur lebih besar daripada Mega. Jadi, peluang Gus Dur mengalahkan Mega di atas Habibie. Kalau yang bertarung di babak akhir adalah Akbar melawan Mega, peluang Akbar untuk menang lebih besar daripada Habibie. Kalau presidennya Gus Dur atau Akbar, dengan berbagai pertimbangan mungkin Mega bisa menjadi wakil. Pertanyaannya, apakah Akbar betul-betul punya keinginan maju sebagai calon presiden. Bukan rahasia lagi bahwa banyak kalangan di Partai Golkar mendorong Akbar untuk maju menjadi calon, tetapi Akbar selalu menghindar. Apa alasan penolakannya, kita tidak tahu. Juga ada indikasi bahwa Akbar ingin Habibie mengundurkan diri secara sukarela dari pencalonan. Jadi, peta calon presiden menjadi kian rumit. Semua pihak masih harus berhitung dengan cermat dan meningkatkan kegiatan lobi, tidak boleh terlalu percaya diri. Pengalaman kekalahan PDIP dalam beberapa kali pemungutan suara tentunya membuat mereka belajar dan kemudian mengevaluasi langkah-langkahnya. Kita bisa melihat bahwa kuncinya ada di Partai Golkar atau lebih spesifik lagi ada di tangan Akbar. Kelompok Akbar tidak boleh bersikap mendua, kalau mau maju tidak boleh ragu-ragu dan harus berani mengambil sikap. Kalau tidak mau maju, harus mendukung Habibie dengan segala konsekuensinya. Penentuan sikap itu harus dilakukan secepatnya. Kalau tidak, Partai Golkar akan kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bisa menang dalam pertarungan. Apakah memang Akbar dkk._seperti dibaca dari pemilihan Ketua DPR—sudah punya kesepakatan tertentu dengan Mega? Tentu saja, kita tidak mungkin menjawab pertanyaan spekulatif itu. Yang jelas, semua pihak harus menerima siapa pun yang terpilih menjadi presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus