M. Riefqi Muna
Peneliti LIPI, pendiri Research Institute for Democracy and Peace, Jakarta
Tragedi kemanusiaan kini terus terjadi pada masyarakat Timor Timur. Faksionalisme aliran kepartaian sejak zaman Portugal telah membilah aliran politik mereka dan menjadikan masyarakat Tim-Tim terpecah belah. Karena itu, saat jajak pendapat diumumkan dengan kemenangan mutlak di tangan prokemerdekaan, kelompok pro-Jakarta menolak hasil tersebut dan muncullah kekerasan, pembunuhan, pembakaran, serta upaya pembumihangusan yang menyebabkan tragedi pengungsian besar-besaran.
Melihat kondisi demikian, muncul usul untuk melakukan partisi atas Tim-Tim, yaitu membelahnya menjadi dua: sebelah timur untuk kemerdekaan dan sebelah barat untuk pro-otonomi. Ide demikian seolah realistik tapi sebenarnya tidak akan menyelesaikan masalah. Pembagian wilayah justru bisa melanggengkan konflik. Sebab, secara demografi politik juga tidak bisa dipastikan kalau masyarakat Tim-Tim yang berada di sebelah barat wilayah itu pasti pro-otonomi dan setelah timur prokemerdekaan.
Karena itu, pembagian Tim-Tim menjadi dua bukanlah merupakan solusi yang tepat dan mudah, bahkan complicated. Sebab, hal itu akan berkaitan dengan pengaturan atau pemaksaan orang-orang untuk meninggalkan wilayah mereka menuju wilayah lain secara permanen karena partisi itu. Lebih jauh, alternatif itu hanya akan memperpanjang permusuhan masyarakat Timor Leste sendiri, seperti halnya Cyprus yang hingga kini tidak selesai.
Tentulah, alternatif demokratis yang sudah jelas dari hasil jajak pendapat adalah kemerdekaan. Agar tujuan ini bisa tercapai, masyarakat Tim-Tim harus melalui tahap rekonsiliasi dari kedua kubu, sehingga mereka secara bersama-sama membangun masa depan Tim-Tim merdeka yang damai, menjadi tuan di tanah sendiri. Rekonsiliasi sejenak saja tidak cukup tetapi harus permanen. Karena itu, mesti ada garansi keamanan yang bisa dicapai, agar mereka bisa melakukan power sharing yang mendasarkan kepada kondisi-kondisi yang realistik. Solusi yang diambil haruslah yang menguntungkan kedua kelompok serta memuaskan bagi Indonesia.
Dengan mendasarkan kepada pemikiran yang kooperatif dan upaya damai melalui pendekatan damai yang lebih emansipatoris (transcend) di atas, alternatifnya adalah dibentuknya suatu Tim-Tim yang berdaulat atau merdeka dalam suatu persekutuan merdeka dengan Indonesia (Republic of East Timor, Free Association with Indonesia).
Bentuk persekutuan bebas atau persekutuan merdeka bukanlah hal baru dalam pembentukan suatu negara merdeka. Pembentukan itu tidak berarti menafikan hasil jajak pendapat. Namun, proses tersebut justru menjadi dasar dibentuknya suatu Tim-Tim merdeka (tapi mengakomodasi kelompok pro-otonomi) yang damai, yang kedua kelompoknya dapat memaksimalkan keuntungan bersama tanpa salah satu aspirasinya terabaikan atau terpinggirkan. Pula, Indonesia serta dunia internasional menerimanya.
Bentuk demikian akan merupakan jalan tengah, mengingat kelompok prointegrasi tidak menerima kekalahan jajak pendapat, dan kalau tidak dicari solusi kreatifnya, hanya akan memperpanjang konflik masyarakat di Tim-Tim sampai pasca-Interfet sekalipun. Bagimanapun, jalan tengah perlu ditempuh dan dinegosiasikan ke kedua belah pihak. Jika perlu oleh pihak ketiga yang betul-betul netral, sehingga kedua kelompok memiliki ruang politik sebagai kendaraan untuk melakukan excercise atas pemikiran-pemikiran politiknya tanpa harus merusak atau menghabisi hak-hak orang demi kemakmuran bersama Tim-Tim dan kedamaian Indonesia.
Telah banyak negara yang memiliki bentuk ini. Kepulauan Cook dan Niue dengan Selandia Baru. Free association dengan Amerika Serikat antara lain Republik Kepulauan Marshall, Puerto Riko, meskipun derajatnya lebih rendah. Negara-negara Federasi Mikronesia memiliki perjanjian compact free association dengan AS. Mereka bisa bertindak sebagai negara berdaulat tetapi memiliki beberapa perjanjian perikatan dalam wewenang politik tertentu dengan negara mitra mereka.
Batas-batasnya tergantung negosiasi yang dilakukan secara terbuka dan kooperatif, tanpa perlu tekanan dari pihak mana pun. Sebab, status sovereign menjadi begitu penting sebagai identitas nasionalnya. Tim-Tim sepenuhnya menjadi negara merdeka dengan hak-hak yang sama sebagai negara merdeka, tetapi ada ikatan longgar dengan Indonesia.
Dengan begitu, Republik Timor Loro Sa'e—seperti negara yang memiliki bentuk serupa—akan memiliki sistem pemerintah nasional sendiri, juga memiliki bendera nasional, lagu kebangsaan, paspor, prangko, sistem pendidikan, dan bisa menjadi anggota organisasi internasional/regional tertentu serta memiliki tim sendiri dalam kegiatan olah raga internasional.
Namun, karena statusnya sebagai persekutuan merdeka, ia juga memiliki hak untuk tinggal ataupun mencari pekerjaan di Indonesia sebagaimana warga Indonesia yang lain. Indonesia bisa bertanggung jawab terhadap pertahanan jika terjadi suatu serangan pihak luar. Sedangkan keamanan internal dan penegakan hukum Tim-Tim sepenuhnya berada tangan mereka, yaitu polisi (Polisia Timor Loro Sa'e). Sebab, sejauh ini, kelompok prokemerdekaan yang belajar dari pahitnya perang sering menyatakan tidak akan membentuk tentara Tim-Tim, melainkan hanya polisi (civilian police) mengikuti Kosta Rika, yang memilih untuk tidak memiliki tentara.
Aspek-aspek teknis mengenai free association ini memang masih perlu dibicarakan lebih lanjut. Bentuk ini akan menjembatani kebekuan dan permusuhan politik yang terjadi di Tim-Tim, sehingga mereka menjadi bangsa yang bisa belajar dari sejarah pahitnya. Pemikiran ini kiranya bisa membuka cakrawala baru bagi masa depan Tim-Tim yang damai, dan ikatan-ikatan psikologis emosional yang ada dapat tersalurkan melalui pendekatan politik yang kreatif. Bukan sekadar mengumbar keinginan politik yang kaku dan hanya memproduksi malapetaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini