Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terus terang saja, saya sungguh prihatin dengan segala perkembangan yang terjadi di Indonesia pascapemilu, terutama yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bagaimanapun, segala macam kericuhan yang terjadi di KPU sangat memalukan untuk sebuah lembaga yang dipercaya dapat menjalankan tugasnya dengan semestinya, bukan menjadi arena untuk mencari popularitas, uang, kedudukan, dan arogansi belaka.
Dari awal, langkah yang diambil oleh KPU sudah penuh dengan kontroversi dari anggota-anggotanya. Untuk penentuan nomor partai politik, penentuan kotak suara, dan sebagainya memakan waktu yang sangat panjang, padahal itu hal sepele. Kemudian, keputusan KPU yang melarang menteri dan pejabat negara berkampanye, tetapi malah ngotot memperbolehkan dirinya berkampanye, menjadi jurkam bagi partainya, dan dijadikan sebagai calon legislatif, adalah sifat yang ambigu, mendua.
Mungkin hal itu Anda lakukan karena membayangkan partai Anda akan meraih suara yang banyak di pemilu sehingga bisa duduk jadi anggota dewan. Ternyata, setelah pemilu berjalan dengan cukup jurdil—meskipun masih banyak kecurangan dan kekurangan—Anda memperoleh kenyataan bahwa suara partai Anda tidak mencukupi untuk membawa Anda ke Senayan.
Ketika partai Anda mendapat suara kurang dari 2 persen, bukannya Anda sebaiknya mundur, tapi malah ngotot mempertahankan kedudukan di KPU dan mencari kesempatan untuk memperoleh kursi dari utusan golongan (bahkan kalau bisa gratis). Pertanyaanya, apakah dengan Anda—Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu anggota KPU—mendapatkan kursi dewan baik secara gratis maupun dari utusan golongan, rakyat akan mempercayai Anda sebagai wakil rakyat yang baik? Saya rasa tidak.
Anda harus menerima kenyataan bahwa partai Anda sangat minim suaranya. Sekalipun Anda bilang pemilu tidak jurdil, saya berani bertaruh, biarpun pemilu diulang berkali-kali, suara partai Anda masih kurang dari 2 persen.
Saya bukannya pro-status quo atau menghujat Anda, tetapi saya adalah satu dari sekian banyak rakyat Indonesia yang sudah capek, jenuh, dan muak dengan segala tingkah laku dan kekrisuhan yang terjadi di lembaga Anda, apalagi dengan adanya isu korupsi itu.
BERNADETTA FEBRIANAM
Mahasisiwi FISIP Komunikasi
Universitas Diponegoro Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo