Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Januari 2025 kini tercatat sebagai bulan Januari terpanas dalam sejarah, melampaui rekor sebelumnya yang dicapai pada Januari 2024. Data ini diperoleh dari satelit program Copernicus milik Uni Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini cukup mengejutkan karena biasanya kondisi La Niña di Samudra Pasifik membantu menurunkan suhu global, tapi kali ini, menurut laporan The Conversation, efeknya tampak melemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rata-rata suhu permukaan udara global bulan Januari meningkat hingga 1,75°C di atas tingkat pra-industri. Kenaikan suhu paling ekstrem, bahkan mencapai 6°C lebih tinggi, terjadi di wilayah utara Kanada, Rusia, serta negara-negara Skandinavia. Selain itu, beberapa wilayah seperti Eropa, Amerika Selatan, Afrika, dan Australia juga mengalami suhu yang jauh di atas rata-rata.
“Gelombang panas di sebagian besar lautan telah menjadi lebih luas dan lebih kuat, sehingga pengaruh La Niña semakin tertutupi,” ujar Jennifer Francis, pakar Arktik dari Woodwell Climate Research Center di Amerika Serikat, dikutip dari laporan Mongabay, Ahad, 9 Februari 2025. “Arktik telah menghangat sekitar empat kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global dan saat ini mengalami ‘demam’ yang berbahaya.”
Pada 2024, fenomena El Niño yang sangat kuat memicu lonjakan suhu global, menjadikan periode Januari hingga Juni sebagai bulan-bulan terpanas dalam sejarah. Peneliti dari Copernicus mencatat bahwa dalam 19 bulan terakhir, 18 bulan di antaranya memiliki suhu minimal 1,5°C di atas tingkat pra-industri, melewati batas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global.
“Januari 2025 adalah bulan yang mengejutkan lagi, melanjutkan tren suhu ekstrem yang telah terjadi selama dua tahun terakhir,” kata Samantha Burgess, pemimpin strategis untuk iklim di European Centre for Medium-Range Weather Forecasts, dalam pernyataannya.
Meski demikian, ilmuwan menekankan bahwa data dari beberapa tahun terakhir belum cukup untuk menyimpulkan bahwa perubahan iklim secara keseluruhan telah melewati batas Perjanjian Paris. Dibutuhkan catatan data selama beberapa dekade untuk memastikan hal tersebut.
Sejak awal 1900-an, pembakaran bahan bakar fosil terus berkontribusi terhadap pemanasan global, tapi tren pemanasan meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir. Menurut Arctic Report Card 2024 yang diterbitkan oleh Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), sembilan tahun terakhir adalah periode terpanas dalam sejarah Arktik.
Selain meningkatnya gas rumah kaca, berkurangnya polusi udara dari industri dan kapal besar juga berperan dalam tren pemanasan ini. Polusi sebelumnya sempat membantu memantulkan sebagian sinar matahari, tapi udara yang lebih bersih saat ini memungkinkan lebih banyak panas terserap oleh bumi.
Untuk membalikkan tren ini, dunia harus segera dan secara drastis mengurangi konsumsi minyak, batu bara, dan gas alam yang melepaskan metana, serta menghentikan deforestasi.