Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (Celios) Muhamad Saleh mengatakan Indonesia sudah memiliki modal hukum dan ekonomi yang cukup untuk menyambung kebijakan transisi energi, terutama dalam hal pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Eksekusinya dianggap masih terhambat karena belum memiliki peta jalan khusus sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 yang mengatur pengembangan energi terbarukan untuk kelistrikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Peta jalan pensiun dini PLTU itu yang merincikan kriteria serta skema pembiayaannya,” kata Saleh dalam keterangan tertulis, dikutip pada Senin, 10 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Saleh, ada setidaknya emoat kebijakan yang mendukung transisi energi dan penutupan PLTU. Selain Perpres Nomor 112 Tahun 2022 yang telah mengatur jenis dan kriteria PLTU yang harus disuntik mati, ada juga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 5 Tahun 2025 yang memperkenalkan instrumen fiskal percepatan penutupan PLTU dan pengakhiran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Dengan kebijakan ini, Kementerian Keuangan memberikan jaminan ketika ada risiko kegagalan bisnis PLN. Ada juga alokasi anggaran untuk proses penutupan PLTU.
Dua kebijakan lainnya adalah Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Meskipun tidak secara eksplisit mencantumkan daftar PLTU yang harus ditutup, RUKN menegaskan amanat Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk mengakhiri operasional pembangkit bertenaga fosil tersebut. Adapun RUPTL menekankan pentingnya diversifikasi sumber energi listrik di Indonesia.
“Ini sangat krusial, makanya kita seharusnya mendorong Kementerian ESDM untuk segera mengeluarkan peta jalan,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) Tata Mustasya menyebut Indonesia memiliki potensi dana yang besar untuk mengakhiri operasional PLTU. Salah satu kebijakan fiskal yang diusulkan adalah peningkatan pungutan progresif terhadap produksi batu bara.
“Indonesia berpeluang mengumpulkan dana yang cukup besar, bahkan dalam skenario konservatif sekalipun,” katanya.
Penerapan pajak karbon juga disebut sebagai langkah strategis yang dapat memberikan tekanan finansial kepada bisnis PLTU. Kebijakan ini mendorong peralihan ke sumber energi yang lebih bersih.
Di sisi lain, Peneliti Kebijakan Energi dari International Institute for Sustainable Development (IISD), Martha Maulidia, menyoroti banyaknya insentif yang masih diterima pelaku sektor energi fosil. Banyaknya investasi dan fasilitas membuat pengelola PLTU semakin enggan mengakhiri bisnis pembangkitnya. Padahal, tanpa perubahan kebijakan, Indonesia berisiko terus terjebak dalam situasi carbon lock-in, yaitu situasi ketika anggaran negara terus mengalir ke sektor yang seharusnya dikurangi.
“Subsidi ke energi fosil perlu dicabut dulu, baru kita terapkan pajak karbon. Agar uang negara tidak sekadar berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri,” tutur Martha.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi sempat mengatakan Rancangan Peraturan Pemerintah soal KEN (RPP KEN) yang baru sudah dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, draf yang akan menentukan desain RUKN dan RUPTL itu harus dibahas ulang tak lama usai pergantian presiden."Untuk disesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi saat ini," katanya kepada Tempo pada 29 Januari lalu.