Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi memastikan video yang digunakan dalam kasus penipuan pembagian bansos (bantuan sosial) dari pemerintah tergolong deepfake. Video itu menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan pejabat pemerintahan lainnya dalam modus pelaku menjerat para korbannya di media sosial. “Memanipulasi wajah, suara, atau penampilan orang lain tergolong deepfake,” kata Heru ketika dihubungi pada Senin, 10 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Heru, teknologi deepfake, yang awalnya dikembangkan untuk industri kreatif dan hiburan, kini semakin sering digunakan untuk kejahatan digital. “Kemajuan AI di satu sisi memberikan kemudahan kita dalam berkarya dan bekerja, namun juga dimanfaatkan oleh penjahat siber sebagai modus baru kejahatan seperti penipuan,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditambahkannya, kejahatan dengan deepfake tidak hanya menggunakan obyek seorang presiden, tapi juga tokoh lain seperti menteri, wakil presiden, atau selebritas. “Sayangnya memang modus baru kejahatan ini kurang disampaikan kepada masyarakat sehingga yang jadi korban banyak dan ke depan bukan tidak mungkin bertambah,” kata dia.
Heru mengingatkan bahwa salah satu tantangan utama dalam menghadapi deepfake adalah kesulitan dalam membedakan konten asli dan hasil manipulasi. Dia meminta semua orang waspada. "Jangan percaya begitu saja kepada message atau bahkan video call dari orang yang menjelma jadi presiden, artis, atau apa, karena mereka memanfaatkan juga teknologi AI untuk deepfake,” ucap Heru.
Terpisah, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menetapkan tersangka berinisial JS (25 tahun) dalam kasus penipuan pembagian bantuan pemerintah itu. JS diketahui mengunggah video manipulasi Presiden Prabowo melalui akun Instagramnya, @indoberbagi2025, yang memiliki sekitar 9.399 pengikut. Video tersebut berisi ajakan kepada masyarakat untuk mendaftar sebagai penerima bantuan pemerintah.
(Dari kiri) Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Komdigi Okky Robiana Sulaeman, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, dan Dirtipidsiber Bareskrim Brigjen Himawan Bayu Aji dalam konferensi pers penangkapan tersangka penipuan lewat video deepfake Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, di gedung Bareskrim Polri, Jumat, 7 Februari 2025. TEMPO/Alfitria Pratiwi
Seperti yang disangka terjadi dalam kasus JS, Heru menegaskan bahwa tujuan utama kejahatan deepfake adalah untuk memperdaya korban demi keuntungan finansial. “Ujungnya untuk mendapatkan uang,” katanya.
Sebagai langkah pencegahan, dia mengingatkan masyarakat agar selalu memverifikasi informasi yang beredar, terutama yang berkaitan dengan bantuan sosial atau bansos. “Kalau ada informasi bansos segala macam cek dan recheck, dan kalau dimintai sejumlah uang pasti penipuan,” katanya.
Sebagai informasi, JS berhasil menjerat sekitar 100 orang dari 20 provinsi, dengan yang terbanyak berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua. Jumlah keuntungan yang diterima JS hingga Desember 2024 mencapai Rp 65 juta.
Alfitria Nefi berkontribusi dalam tulisan ini.