Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Menjajal Ngamen di Pasar Maya

Berawal dari musibah, Indra Lesmana cs menembus jajaran penjualan terlaris di iTunes. Menghemat biaya, sekaligus memperluas pasar.

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sandy Winarta melirik pesan yang baru masuk di telepon selulernya: "Album kita sampai ke posisi 18. Pengirim: Indra Lesmana." Pesan itu sampai diulang dua kali karena Sandy tidak langsung percaya.

Sulit bagi lajang 30 tahun itu untuk percaya bahwa Love Life Wisdom, album perdana trio Indra Lesmana (keyboard), Barry Likumahuwa (bas), dan Sandy Winarta (drum), disingkat LLW, bisa mencapai jajaran album laris di iTunes. Mereka bersaing dengan musikus nomor wahid dunia. Saat pesan terkirim pada Mei lalu, LLW mengungguli penjualan The Fall karya biduan Amerika Serikat, Norah Jones. "Kami tidak pernah mengira sampai segitu," kata Sandy kepada Tempo dua pekan lalu.

Album Love Life Wisdom nongol di toko digital milik Apple itu karena kecelakaan. "Blessing in disguise," ujar Indra, 45 tahun. Trio LLW menyiapkan enam lagu sejak akhir tahun lalu. Awalnya semua berjalan lancar. Rekaman berlangsung dua hari di Studio Like Earth di Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat. Ini dilanjutkan dengan proses pascaproduksi di Studio Inline milik Indra di Bintaro, Tangerang Selatan. Mereka menargetkan album rampung pada Maret lalu, berbarengan dengan pesta penggemar jazz, JavaJazz. Namun Indra kena demam berdarah sehingga mastering—proses pemindahan hasil akhir rekaman ke alat penyimpan—tertunda.

Rintangan berlanjut. Pada akhir Maret, oleh sebab yang tak jelas, MacBook Pro milik Hani Lesmana, istri Indra, crashed. Celakanya, semua materi desain cover album LLW disimpan di laptop itu. "Tidak ada backup-nya," ujar Honhon, panggilan Hani. Selain sebagai produser, dia bertanggung jawab atas fotografi dan tata seni di cover album ini. Opsi mendesain ulang mereka tinggalkan dengan alasan, "Feel-nya bakal beda."

Mereka lalu menempuh langkah alternatif: menerbitkan album di iTunes. Prosesnya, kata Honhon, tergolong mudah. Lewat bantuan seorang penggemar yang enggan disebut namanya, mereka mengirim rekaman lagu lewat surat elektronik ke kantor Apple di New York, April lalu. Seminggu kemudian, album itu sudah nongol di daftar penjualan—terdiri atas enam lagu yang semuanya berirama jazz: Back into Sumthin, Stretch N Pause, Morning Spirit, Smooth Over the Rough, Friday Call, dan Love Life Wisdom. Dari lagu-lagu yang ada, cuma dua yang dilengkapi syair, dalam bahasa Inggris.

Ini pertama kalinya Indra, yang menelurkan 50 album sejak 1978, berjualan musik secara digital. Selain di iTunes, mereka membuka lapak di ReverbNation dan Amazon.com. Satu album dibanderol US$ 5,94, sekitar Rp 51 ribu, sedangkan ketengannya US$ 0,99 atau Rp 8.500 per lagu.

Kebanyakan pembeli berasal dari mancanegara. Indonesia tidak termasuk wilayah layanan penjualan iTunes dan musik di Amazon.com. Amerika dan Eropa menyumbang pembeli terbanyak. Dengan bagi hasil 70 persen produsen dan 30 persen Apple, Honhon merasa lebih diuntungkan ketimbang memasarkan lewat operator telepon seluler, yang pembagiannya 50-50. Apple mengirim catatan penjualan saban dua bulan. Sayang, data jumlah pengunduhnya tidak bisa segera diperoleh.

Pengalaman menjual musik di dunia maya itu membuka mata mereka. Banyak biaya yang bisa dihemat. Yang paling kentara adalah pengemasan album yang, menurut Honhon, menelan sekitar 30 persen biaya produksi.

Peluang menembus pasar internasional pun terbuka lebar lewat cara ini. Sebab, iTunes merupakan toko musik dalam jaringan terbesar dunia dengan lebih dari sepuluh juta unduhan sejak launching pada 2003. Toko itu jadi bagian hidup orang Amerika. "Banyak orang tua yang memberikan jatah bulanan men-download lagu untuk anaknya di iTunes," kata Honhon.

"Lebih mudah menerbitkan album di iTunes," ujar Indra, yang juga merangkap sebagai produser. Dia cukup puas dengan penjualan di dunia maya. Namun fan, terutama 93 ribu follower-nya di Twitter, terus mendesak terbitnya album dalam bentuk cakram padat. Kebetulan, lewat bantuan tenaga profesional, Honhon berhasil menyelamatkan desain sampul album dari laptopnya yang rusak. Pada Juni lalu, mereka meluncurkan CD Love Life Wisdom seharga Rp 65 ribu per keping.

Lagi-lagi di luar dugaan Indra cs, album mereka diserbu pembeli. Dalam tempo sebulan, Love Life Wisdom terjual lebih dari 6.000 keping. "Kalau dibanding album saya sebelumnya, ini tergolong laku," katanya. Toko musik Aquarius menobatkannya sebagai album terlaris bulan ini.

Menurut Honhon, meski lebih ribet, penjualan konvensional sebenarnya punya keunggulan. Misalnya, album bisa dilengkapi desain sampul, yang memiliki nilai seni terpisah dari lagu di dalamnya. Dia mencontohkan White Album, yang menohok penggemar musik seluruh dunia pada 1968, karena hanya menampilkan teks kecil The Beatles di kertas putih polos.

Penggemar punya alasan masing-masing. "Enakan beli CD, bisa buat minta tanda tangan," ujar Dinda Ken Ayi, 23 tahun. Karyawan pemasaran English First ini menghabiskan malam Minggunya pekan lalu dengan memburu tanda tangan trio LLM di Aquarius Mahakam, Jakarta Selatan.

Sebenarnya, meski belum banyak, musikus Indonesia memang mulai melirik iTunes. Sherina Munaf termasuk yang pertama, beberapa bulan setelah menerbitkan album Primadona pada 2007. Sayang, pengunduhnya tidak seberapa. "Mungkin karena semua lagunya berbahasa Indonesia, sementara iTunes tidak bisa di-download dari Indonesia," kata Chita Ayu, mantan manajer Sherina, dari Strategic Marketing Trinity Optima Production.

Trinity merupakan perusahaan manajemen artis yang membawahkan Sherina. Chita enggan menyebutkan jumlahnya. Meski minim hasil, penjualan di pasar maya ini dia teruskan. Trinity menambahkan album kedua Sherina, Gemini, di iTunes dua pekan lalu, bersama Ungu, Rosa, ST12, Vidi Aldiano, dan D’Bagindas. Alasannya, agar warga Indonesia di luar negeri bisa ikut menikmati perkembangan musik Tanah Air.

Namun potensi pasar lebih dari itu. Honhon mengatakan kebanyakan pengunduh yang berada di Amerika tidak mengenal LLW, yang baru terbentuk tahun lalu. Mereka menekan tombol pembelian karena doyan mendengar versi icip-icip sepanjang 30 detik di iTunes. "Asal sudah masuk chart, peluang selalu ada," katanya.

Reza M.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus