Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika memulai Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Serpong, Tangerang Selatan, pada 1976, pemerintah berharap dari sanalah lahir penemuan dan inovasi yang bisa menopang pembangunan ekonomi Indonesia. Namun yang dicapai sepanjang 35 tahun ini masih jauh dari cita-cita.
Barangkali kita bisa menengok pengalaman Ideon, pusat riset di Kota Lund, Swedia. Dari fasilitas yang beroperasi sejak 1983 itu sudah lahir ribuan penemuan dan ratusan perusahaan. Sven-Thore Holm, 65 tahun, pemimpin pertama Ideon, menjadi pembicara dalam peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional dua pekan lalu. Didampingi Deputi Menteri Riset dan Teknologi Bidang Jaringan Iptek, M. Syamsa Ardisasmita, Sven menuturkan pengalamannya kepada Sapto Pradityo, Reza M., dan fotografer Dwianto dari Tempo.
Bagaimana pengalaman Swedia mengelola pusat riset sebagai arena kolaborasi industri dengan perguruan tinggi?
Pusat riset merupakan bagian dari rantai inovasi nasional Swedia. Di pusat riset ini bahan mentah berupa penemuan-penemuan baru ditransformasi menjadi perusahaan-perusahaan yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi Swedia. Kami memulainya pada 1982 lewat Proyek Ideon. Sekarang proyek ini menjadi pusat riset terbesar di antara negara-negara Skandinavia. Ideon mempunyai kaitan sangat kuat dengan Lund University, salah satu perguruan tinggi terbaik di kawasan Skandinavia. Banyak dari penemuan ini tak mempunyai pasar di dalam negeri. Sejak awal sebagian proyek ini memang ditujukan untuk membidik pasar global.
Kolaborasi antara perguruan tinggi Indonesia dan industri masih kecil sekali. Bagaimana semestinya?
Sebenarnya ada tiga aktor seperti untaian triple helix, yakni perguruan tinggi, industri, dan institusi politik. Ketiganya mesti punya komitmen seragam dan berbicara dengan bahasa yang sama. Kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga sangat krusial dalam mendorong kolaborasi ini. Pemerintah daerah merupakan pemain kunci dalam mengembangkan sistem pendidikan yang bermutu dan mendorong semangat kewirausahaan. Satu lagi pemain kunci adalah investor swasta.
Di Indonesia, pemerintah masih merupakan lokomotif dalam mendorong inovasi....
Syamsa: Ya. Sebab, banyak industrialis yang hanya menjadi pedagang karena begitu gampang mengekspor bahan mentah dan mendapatkan keuntungan besar.
Tapi, jika kita terlalu bersandar pada pemerintah, akan kesulitan dengan pembiayaan riset. Bagaimana pengalaman Swedia?
Ya, masalah ini dihadapi semua negara di dunia. Namun sistem inovasi ini harus masuk agenda anggaran negara. Sebab, tak ada negara yang mampu menjalankan sistem inovasinya tanpa dukungan pemerintah, sekalipun itu negara besar, seperti Amerika Serikat.
Syamsa: Di Indonesia, anggaran untuk pembangunan saja masih sangat kecil. Jadi, masalahnya, dengan anggaran yang terbatas, bagaimana kita membuat perencanaan yang optimal.
Bagaimana Swedia bisa menghasilkan inovasi terus-menerus?
Ini cerita yang sangat panjang. Tapi saya bisa memberi contoh telepon seluler Ericsson. Pada setiap ponsel, paling tidak 60 persen komponennya disumbang oleh penelitian para doktor di perguruan tinggi. Kontrol kualitas penelitian di perguruan tinggi kami sangat ketat. Sebab, persaingan global semakin sulit dan tambah sulit setiap waktu.
Inovasi yang kita bicarakan ini tidak hanya melulu berkaitan dengan teknologi tinggi atau penelitian molekul di laboratorium, tapi juga inovasi dalam pelayanan atau jasa dalam pariwisata. Ide inovatif di sektor ini bisa juga menghasilkan uang dan menggerakkan ekonomi.
Apakah penelitian selalu bisa ditransformasi menjadi bisnis?
Tidak. Banyak sekali proposal usaha yang lahir dari inovasi di institusi pendidikan Swedia yang dikirim ke pusat inkubasi bisnis. Di pusat inkubasi ini proposal diuji dan diseleksi. Kami juga melatih puluhan ribu pelajar dan mahasiswa setiap tahun dalam soal wirausaha. Sebab, di perguruan tinggi tak dilatih bagaimana memulai dan mengelola sebuah perusahaan. Dan setiap tahun lahir ribuan perusahaan baru.
Siapa yang menjalankan sistem inkubasi ini?
Program ini dikelola Kementerian Industri. Pengelolanya dikontrak selama 10 tahun dan mendapatkan anggaran dengan jangka waktu 10 tahun juga. Kami tak akan bisa merekrut seorang profesional untuk sebuah proyek yang hanya betermin 12 bulan. Harus dalam jangka panjang.
Dan harus dipahami, hampir semua inovasi itu dihasilkan oleh lulusan jurusan sains dan teknik, bukan jurusan ekonomi. Jadi, semestinya (pendidikan tinggi) Indonesia juga menuju ke sana. Harus ada lebih banyak lagi lulusan sains dan teknologi.
Apa saran Anda untuk Indonesia? Apakah berfokus pada teknologi tinggi atau teknologi berbasis sumber daya alam?
Tak jadi soal jika Indonesia berfokus pada pengembangan teknologi berbasis sumber daya alam. Seratus tahun lalu Swedia melakukan hal serupa. Perusahaan Swedia, seperti Sandvik, memulainya dengan mengimpor dan mengolah pasir besi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo