Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ragam Nahas Jakarta

Jakarta adalah masalah. Benny memandangnya, lalu menarasikannya secara visual dan kecil-kecilan.

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saja, duet Benny dan Mice bukanlah duet Anang dan Syahrini. Perpisahan Benny dan Mice tak heboh di infotainmen, walau ternyata banyak juga yang membahas di situs dan jejaring budaya, semacam Facebook. Benny dan Mice, kita tahu, adalah pasangan kartunis/komikus yang mencuat sejak 1997, lewat seri Lagak Jakarta. Sejak itu, "Benny & Mice" adalah juga sebuah brand.

Benny & Mice adalah merek bagi Benny Rachmadi dan Muhammad "Mice" Mirsad, keduanya lulusan Institut Kesenian Jakarta. Lewat Lagak Jakarta, mereka merekam seluk-beluk kehidupan sehari-hari manusia Jakarta dalam medium kartun dan komik. Dalam medium itu, masing-masing punya gaya garis dan tuturan visual khas.

Benny lebih condong pada karakter dan detail bendawi dalam sebuah panil. Gaya kartunnya tentu menerapkan deformasi anatomi, dengan guratan-guratan ekspresif yang seolah merayakan wajah-wajah "jelek" yang ia lihat sehari-hari. Mice lebih ekspresif lagi, deformasinya sering lebih ekstrem. Ia tak terlalu risau pada detail bendawi, dan lebih berani melontarkan opini pribadinya terhadap berbagai peristiwa.

Setelah 20 tahun, mereka menghasilkan cukup banyak buku, boleh dibilang semuanya laris (siapa bilang, komik Indonesia harus jadi manga, bergaya komik Jepang, untuk laris?), dan seri di Kompas setiap Minggu, dengan menyemat merek mereka itu. Tapi, pada 27 Juni 2010, perpisahan itu pun resmi sudah: kartun terakhir Benny & Mice tayang di Kompas, menggambarkan Mice menyerah di hadapan Jakarta, dan pindah naik kapal laut entah ke mana.

Tapi, sesungguhnya, sudah lama mereka berpisah. Benny, misalnya, banyak menelurkan karya pribadinya, seperti kumpulan kartun Dari Presiden ke Presiden jilid 1 & 2 dan 100 Tokoh yang Mewarnai Jakarta. Dan kini 100 Peristiwa yang Bisa Menimpa Anda.

Sengaja atau tidak, Benny dan Mice adalah ahli waris gaya kartunis Malaysia, Lat, yang masyhur oleh seri Kampung Boy. Mice lebih dekat pada gaya garis Lat dengan kegandrungan pada deformasi ekstrem. Benny lebih dekat pada gaya tuturan Lat, yang memandang serta menarasikan Malaysia lewat kisah-kisah kecil dunia kampungnya ketika ia kecil hingga sudah memiliki anak.

Mata Lat selalu jeli: penyerut es warna hijau, rumah panggung dari kayu, motif kain perempuan kampung, kesibukan pinggir kali, pesta duren, dan hal-hal kecil yang membentuk kenangannya akan "Malaysia", digambar dengan ekspresif, prolifik, sekaligus telaten. Bukan hanya bersifat etnografis, tapi kisah-kisah kecil itu, secara keseluruhan, membentuk sebuah narasi kebangsaan.

Ketika seri Kampung Boy diterjemahkan ke bahasa Inggris dan tiba di Amerika Serikat pada akhir 1990-an, berikut animasinya dibuat oleh perusahaan yang berinduk pada Disney di awal 2000-an, publik (terbatas) di sana pun menjamah sesuatu yang asing, ganjil, mungkin eksotik: dunia kampung Lat, sebuah narasi kebangsaan non-politik, "Malaysia" yang bukan iklan atau citra demi pariwisata.

Mata Benny pun jeli. Dalam 100 Peristiwa… ini, kita bisa mesam-mesem, karena kemungkinan besar pernah mengalami banyak hal dalam buku ini. Mulai dari "Didekati Orang Gila", "Kebelet di Tempat Umum", pernik-pernik banjir macam "Terjebak Banjir", "Kejeblos", "Kebanjiran" (memang redundan, tapi itulah masalah banjir Jakarta!), hingga "Digodain Banci" atau "Lampu Mati" dan "Kehabisan Celana Dalam".

Dan di halaman 108, sebuah komentar politik pun menyelip secara alamiah: kartun replika foto Arifinto, anggota DPR asal PKS, yang "Kepergok Nonton Film Porno" saat sidang paripurna. Perhatikan balon-balon katanya: Benny tak hanya mencatat atau meledek Arifinto, tapi juga anggota DPR lain. Malah ada komentar Benny untuk bangku kosong di sebelah "Arifinto": "Bangku kosong yang ditinggal pemiliknya kelayapan entah ke mana…."

Tak perlu ragu bahwa buku ini adalah tentang Jakarta, walau tak disebut dalam judul seperti 100 Tokoh…. Tak seperti Lat, Benny seperti tak punya kampung asal, atau kampung tujuan mudik, tak punya nostalgia, hanya ada dan memandang Jakarta saat ini.

Kota adalah para manusianya. Manusia Jakarta hidup tiap hari dengan menanggapi beban ekonomi yang (masih saja) menumpuk dari seluruh Indonesia di Ibu Kota ini.

"Beban", karena (1) tak semua menikmati penumpukan ekonomi itu—malah sebagian besar justru tergilas penumpukan itu; (2) penumpukan dan pemusatan itu selalu rentan menghadapi perubahan—selalu ada ketegangan bahwa penumpukan/pemusatan ini akan meledak, pecah, seperti beberapa kali terjadi.

Jakarta memikul beban ini secara tertatih-tatih. Pertumbuhan tanpa perencanaan matang, kesenjangan yang selalu menghasilkan dislokasi sosial yang gampang meletus jadi konflik, chaos-nya penataan ruang, hidup yang seolah dalam hukum rimba. Coba saja Anda perhatikan jalanan Jakarta: pejalan kaki harus mengalah pada mobil, yang berarti terterap logika hukum rimba bahwa "yang lemah harus mengalah, yang kuat boleh berbuat apa saja". Inilah Jakartanya Benny dalam kumpulan kartun ini.

Tapi, tak ada teori besar atau "pandangan burung" dari jauh di atas sana dalam kumpulan kartun ini. Benny berjalan di sela-sela manusia Jakarta, menyelami hidup sehari-hari mereka. Halte bus, jalanan berlubang, kendaraan umum tak manusiawi, ruang yang terpapar matahari dan debu, banjir, rasa malu, dan kadang kejahatan, adalah ruang pandang Benny.

Dengan memandangnya, lalu merekamnya dalam medium kartun, Benny sebetulnya sedang memperlakukan medium visual sebagai alat pembebasan. Dalam moda visual ini, para manusia dan peristiwa mereka direkam secara visual (bisa lewat film/video, atau komik dan kartun macam Benny ini), lalu disodorkan kembali kepada para subyek itu.

Perekaman visual serta laku memandang lewat media itu agar subyek-subyek yang direkam terbaca kembali, terkaca kembali, dari sudut pandang penonton yang mau tak mau berjarak, sehingga diharapkan terletup kehendak untuk mengubah. Paling tidak, subyek (diharapkan) terpaksa merenungi dirinya, setelah laku memandang itu.

Manusia-manusia alit di Jakartalah yang jadi subyek utama Benny. Mereka yang selalu rentan pada "peristiwa nahas" (halaman 1). Menarik juga, betapa lentur Benny mendefinisikan "peristiwa nahas". Di halaman 32, "Kena Gerebek", Benny menggambarkan pasangan yang kena gerebek petugas di hotel melati (dengan sosok perempuan menutup muka—kita tahu, dalam peristiwa ini, pasti perempuan yang paling dihakimi secara moral). Di halaman 33, Benny menggambar "Dapat Kembalian Recehan".

Jikapun ada elite (seperti peristiwa yang mengacu pada kasus Arifinto di DPR itu), sudut pandang Benny adalah orang kebanyakan, manusia-manusia alit Jakarta. Bukan hanya "banyak", "orang kebanyakan" inilah pengampu kepentingan paling utama di Jakarta. Merekalah yang selalu terkena dampak pertama, dan sering paling parah, dari kekacauan Jakarta. Tapi merekalah yang juga terutama diabaikan di Jakarta.

Tapi, jika Jakarta adalah para manusianya, dan Benny merekam orang-orang alit itu sebagai pihak yang selalu harus menyesuaikan diri dalam kekacauan Jakarta, lalu siapakah para pengacau sesungguhnya?

Hikmat Darmawan, pengamat komik dan budaya visual

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus