Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Imaji-imaji Panji Sepuh

Tari itu hanya menjadi salah satu unsur dari segala isi arena, tapi pementasan ini tetap menjadi pertunjukan yang benar. Panji Sepuh, 18 tahun kemudian.

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana terbentuk oleh gerak, cahaya kegelapan, keresek kain tergesek kaki. Kolam segi enam berada di bawah tengah tangga beton melengkung berbentuk tapal kuda. Sisi kiri (dari penonton) anak tangga dari bawah berjajar ke atas, melengkung, menyambung dengan yang dari kanan. Tangga dari kanan menggantung, beberapa anak tangga paling bawah hilang. Di persambungan itu, bidang datar.

Kolam dan tangga beton tapal kuda tampaknya menjadi pusat ruang. Tujuh penari bergerak lamban mengi­tari tangga, kemudian menyebar. Seorang pria berjas beskap hitam duduk menunggu di tengah tangga kanan.

Inilah adegan awal Panji Sepuh garapan 2011. Sebuah naskah bertarikh 1993, ciptaan Goenawan Mohamad, konon, bertolak dari kisah yang entah ada entah tidak yang didengar oleh Sulistyo Tirtokusumo dari guru tarinya di Keraton Solo. Kisah tentang seorang calon raja yang harus melakukan ritual menari sendiri tanpa penonton, tanpa gamelan, di ruang tersembunyi. Konon, demikianlah persiapan seseorang memasuki kekuasaan nan tak terbatas. Inilah hakikat tari sebenarnya, kata Tumenggung Kusumo Kesowo, guru itu.

Saya bayangkan, Sulistyo bersama Goenawan Mohamad kemudian menyusun naskah tentang kisah ini, menurut tafsir mereka sudah tentu. Lalu pementas­an dilangsungkan di suatu hari pada bulan September di pelataran rumah yang dijadikan sanggar seni, Teater Oncor, di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.

Di ruang terbuka itu, dengan lampu dan obor yang ala kadarnya, di bawah bayang-bayang pohon mangga dan di pinggir tampak serumpun pohon pisang, Panji Sepuh tersaji oleh gerak empat penari dan seorang pria yang menari bertelanjang dada. Menjelang akhir, seseorang berjalan menuju payung kebesaran yang dipajang sejak awal. Ia menyulut payung dengan api.

Ini yang saya ingat, dari awal hingga penutup, Panji Sepuh garapan Sulistyo dan Goenawan Mohamad serta komponis Tony Prabowo bertumpu pada gerak tari, bukan komposisi. Ini terpikir setelah menonton Panji Sepuh di Teater Salihara, pertengahan Agustus ini. Mungkin ketiadaan komposisi mengingat ruang yang terbuka, dan tari ini pun bisa dilihat dari arah mana saja.

Di Salihara, ruang teater yang tertutup, arena diupayakan menghadirkan suasana terbuka yang nyata. Kolam itu berair, bunga mawar merah yang ditebar juga bunga sebenarnya. Tapi ini bukan sebuah lukisan yang sepenuhnya realistis. Tangga tapal kuda itu tak berdinding, memberi suasana surealistis yang kurang sempurna, ketika tiang-tiang penyangga tampak masih kayu mentah, tak disinkronkan dengan tangga.

Dengan gambaran seperti itu, pada saya, yang lebih tampil adalah komposisi-komposisi, perpaduan antara gerak dan segala yang hadir di arena, ditambah bunyi. Dan bunyi tidak hanya datang dari musisi yang berada di latar belakang atas arena, di depan, dan kanan, tapi juga dari hujan (air sebenarnya mengucur dari keran-keran yang dipasang) dan akibat hujancelepak sampur basah yang disabetkan, misalnya. Tari menjadi sesuatu yang tak terasakan. Tari hanya bagian dari sepenuh isi arena itu.

Seingat saya, setelah membaca kembali review yang saya tulis di Tempo juga, 18 tahun lalu, sang penari pria dulu itu menjadi kunci pembentuk suasana dan kisah. S. Pamardi menari menyebarkan benih-benih ­imaji yang kemudian diolah oleh empat (kini tujuh) ­penari wanita. Temaram cahaya obor dan lampu adalah alunan lam­ban tangan dan tubuh me­­rangsang daya imajinasi.

Di Salihara, kekuatan itu bergeser. Seperti sudah disebutkan, yang mengesankan dari garapan Yudhi Ahmad Tajudin adalah dari komposisi ke komposisi. Pria sepuh yang duduk di sudut kiri belakang, suatu ketika berpindah ke sudut kanan belakang. Mungkin ada maknanya; yang kemudian tersaji adalah tujuh penari berserak dan lebih berat ke kanan depan. Sebuah keseimbangan yang menjaga kolam serta tangga tetap menjadi perhatian, karena di situlah titik api beradapenari pria yang sampai akhir terasa sebagai tokoh utama.

Juga, adalah komposisi, ketika pria sepuh bangkit, melangkah dengan dada setengah tersingkap menuju sudut kanan depan kolam. Di situ sedatar batu dan sepokok pohon diletakkan. Di batu datar itu ia duduk, setelah seorang pria muda dan seorang wanita menyiapkan yang dibutuhkan: tempayan tempat meludah, seperangkat alat makan sirih, sekendi air.

Pria itu menenggak air dari kendi, lalu diberikan kepada punggawa muda tadi, dan dua punggawa pria muda serta wanita itu ikut menenggak kendi. Sang Sepuh pun makan sirih, sebentar. Lalu segala sesuatunya dibawa masuk kembali oleh yang tadi membawa ke depan. Sang Sepuh meraih busur, mengambil anak panah imajiner dari punggung, memasang pada busur, merentangkannya, dan melepaskan panah imajiner itu.

Dulu, anak panah itu sebenarnya, dan melesat menancap pada pohon pisang. Namun kesan saya, dengan atau tanpa anak panah, sama: adegan ini menandai akhir pertunjukan sudah dekat. Sejarah sudah dikemas dan Sang Sepuh kemudian membuang-nya jauh. Dan ketika payung tiba-tiba terbakar sendiri (mungkin lewat pengaturan atau alat pemindai jarak jauh), benarlah itu: ada pergantian penguasa.

Meski tari adalah gerak dan karena itu gerak apa pun dalam pertunjukan tari adalah tari, rasanya ada beda antara tari pada Panji Sepuh di pelataran dan Panji Sepuh dalam ruang teater ini. Seingat saya, aliran gerak tari keempat penari perempuan dan seorang penari pria adalah rangkaian padu. Yang sekarang rangkaian gerak itu nggregel (mengganjal) di tengah. Ketika tujuh penari wanita yang lamban melangkah dengan menunduk dan tiba-tiba tengadah, saya merasa kehilangan ceritawajah tengadah itu menyebal dari laku lamban. Yang saya tangkap kemudian sampai akhir, tari lebih sebagai satu unsur dari seluruh isi arenaseperti sudah saya katakan.

Maka yang tampil adalah komposisi-komposisi, atau suasana-suasana. Termasuk, ketika para penari mengenakan topeng putih, kemudian menjatuhkannya pecah berkeping di lantai. Termasuk, ketika tiba-tiba ada hujanseperti lukisan yang cat basahnya lalu mengalir dalam lelehan di sepenuh kanvas. Termasuk, ketika sang perempuan bangkit dari tempat peraduan sehabis bersanggama, mencoba naik ke tangga kiri, dan jatuh telungkup di anak tangga ketigatangannya seperti berenang, tapi seluruh sosok itu membeku dalam kostum putih.

Juga permainan tombak sang penari pria, lebih sebagai bagian dari komposisi daripada sebuah tarian. (Padahal dulu dan sekarang penarinya sama, S. Pamardi.)

Tapi tari atau hanya gerak tubuh pada akhirnya yang menggerakkan imajinasi itulah pertunjukan yang sebenarnya. Panji Sepuh delapan belas tahun lalu dan kini lebih-kurang sama. Suatu suasana ketika seseorang wani mapag muksaning karsa, berani melepaskan segala keinginan, baik karena tugas sudah tuntas maupun kewajiban baru diawali.

Sebuah risiko untuk menyimpulkan pertunjukan yang mengalir dari suasana ke suasana atau dari komposisi ke komposisi. Puisi menolak diringkas, sebelum seluruh roh itu terengkuh. Tapi itulah yang terbawa setelah payung terbakar habis, baik dulu maupun sekarang, seperti ada pesan seorang raja mestilah telah terbebaskan dari segala kehendak pribadi. Ia menghidupi atau mematikan, sama saja, bukan untuk kepentingan sendiri.

Pria itu melantunkan tembang, Layonira, mirah adi, dadiya jimating prang,jasadmu, Anakku, jadilah azimat perang, setelah sebelumnya, di awal-awal pertunjukan ia memasuki alam gaib, Duh, Gusti, sinukmaya ing asepi, tangising para peksi ingkang murca...Duh, yang Maha Pencipta, menembus sepi, tangis burung-burung yang pergi...dan mengeluhkan ihwal tubuh, Duh, apa dosaning raga...Duh, apa dosa tubuh….

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus