Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Syiar Pesantren di Media Sosial

Media sosial dimanfaatkan sebagai sarana syiar agama Islam ke seluruh Nusantara selama Ramadan. Awalnya banyak kiai menolak.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Syiar Pesantren di Media Sosial
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ramadan kali ini terasa spesial buat Ulil Abshar-Abdalla. Jauh sebelum bulan suci umat Islam itu tiba, ia banyak mengkaji literatur tentang kitab Ihya Ulumuddin, yang membahas kaidah dan prinsip dalam menyucikan jiwa. Selama Ramadan, Ulil memang mengagendakan ceramah rutin. Yang menarik, ceramah dilakukan secara live streaming (siaran langsung) via media sosial.

Ulil perlu studi ekstra untuk membahas kitab karya Imam Al-Ghazali paling terkenal itu. Maklum, kitab rujukan ini telah banyak diulas dalam disertasi dan karya ilmiah. "Saya tekuni, menyiapkan materi panjang sekali berhari-hari. Saya sudah lama ingin membuat pengajian selama Ramadan karena tradisi pesantren," kata Ulil, 50 tahun, yang berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama, Sabtu pekan lalu.

Ia tak sekadar menyiapkan materi ceramah, tapi juga menyimak berbagai saran dari "kawan" di Facebook yang ahli teknologi informasi, dari cara meletakkan kamera, pengambilan angle syuting, hingga menata meja. Berbekal telepon seluler buatan Cina, tripod, dan clip on agar menghasilkan suara jernih, Ulil pun percaya diri menjalani siaran langsung di Facebook. Dibantu sang istri, Ienas Tsuroiya, siaran itu berlangsung 20 hari sepanjang Ramadan.

Sebelum memilih Facebook sebagai platform siaran langsung, Ulil sempat ditawari menggunakan media Nutizen yang dirancang khusus untuk siaran langsung. Walau aplikasi ini memiliki banyak keunggulan, Ulil tetap menggunakan Facebook. Alasannya, ada keintiman hubungan saat berceramah lewat Facebook ketimbang Nutizen.

Di Facebook, kata Ulil, komentar dari pendengar bisa langsung dibaca. Para pendengar di Facebook pun seakan-akan sedang bersama-sama dengan banyak orang mendengarkan ceramahnya. "Kalau di Facebook, kita seperti ceramah di sebuah kelas dan seminar. Wajah mereka tak asing karena sebagian besar yang menyimak adalah follower," ujarnya.

Hal seperti itu tak didapat di media sosial lain, semisal YouTube. Menurut Ulil, di YouTube ibarat sedang konser tapi tak jelas siapa yang menyaksikan. Alasan lain, tak ada hubungan intim antara pembicara dan penonton. "Di YouTube, akun anonim banyak," katanya.

Selama Ramadan, beberapa pesantren juga memanfaatkan media sosial untuk syiar agama Islam. Di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, misalnya, ceramah Kiai Haji Hilmy Muhammad direkam Naufal Haidar Muhammad untuk diunggah lewat Nutizen. Seperti Ulil, Naufal menggunakan ponsel pintar untuk merekam berbagai kajian Gus Hilmy.

Hanya, peralatan yang digunakan kurang memadai. Bahkan tak ada mikrofon eksternal agar suara yang dihasilkan terdengar jernih. "Karena tidak ada mikrofon, letak ponsel tidak bisa jauh dari penceramah," ujar Naufal, 21 tahun, mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Akibatnya, hasil siaran kurang maksimal. Audio tak jelas dan gambar yang dihasilkan pun buram. Ini yang membuat banyak penonton melontarkan kritik negatif.

Toh, meski kurang layak tonton, siaran Gus Hilmy tetap berlangsung dua kali dalam sehari selama 20 hari pertama Ramadan. Sore hari kajian kitab Atssaqafah al-Islamiyah atau Kebudayaan Islam. Malam hari selepas salat tarawih mengkaji kitab Idzatun Nasyi'in, yang membahas perihal pendidikan, politik, kemasyarakatan, motivasi, dan metode pengajaran, di Masjid Al-Munawwir di kompleks Krapyak.

Banyaknya platform untuk siaran langsung juga dimanfaatkan KH Alawy Ali Imron, pengelola Pondok Pesantren Nuur Al Anwaar, Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Berbekal alat perekam video dan tripod, kiai 34 tahun itu membimbing pengajian Taisiru Tanwir fi Isqoti Tadbir, sebuah pelajaran tentang penyerahan diri kepada Allah dan akhlak mukmin, yang digelar seusai salat zuhur di masjid pondok pesantren.

Video kiai muda yang baru pulang belajar 10 tahun di Mekah, Arab Saudi, ini direkam dan disebarkan lewat Facebook NA-E (Nuur Al Anwaar), juga saluran eN-A Tv di YouTube. Pengantar pengajian menggunakan bahasa Arab, Indonesia, dan sebagian bahasa Jawa. Maklum, para santri di pondok yang berdiri pada 1910 ini datang dari pelbagai daerah di Indonesia. "Kami pakai bahasa Indonesia, meski kadang juga bahasa Arab," kata Alawy.

Maraknya siaran langsung ini adalah bagian dari program Nahdlatul Ulama. Ketersediaan Nutizen--media berbasis aplikasi berisi video, audio, dan news aggregator--mampu menambah gairah syiar agama. Menurut Direktur Nutizen Savic Ali, program siaran langsung pengajian pesantren ini dirintis sejak awal 2016.

Pada Ramadan tahun lalu, sekitar 20 pesantren melakukan siaran langsung melalui aplikasi Nutizen berbasis Android. Saat itu memang belum dimungkinkan siaran langsung melalui Facebook atau YouTube. "Visi Nutizen adalah membantu kiai yang memiliki perspektif kebangsaan untuk bisa menjangkau publik yang lebih luas di era digital," ujarnya.

Ketika siaran langsung melalui Facebook dan YouTube telah dimungkinkan, banyak ulama dan pesantren menggelar siaran langsung menggunakan platform tersebut selain Nutizen. "Cuma, kontennya tetap disimpan di Nutizen supaya gampang dicari," ucap Savic.

Savic mengklaim saat ini aplikasi Nutizen sudah diunduh 66 ribu kali. Platform yang digarap dengan mitra perusahaan teknologi ini memungkinkan pesantren yang telah terdaftar melakukan siaran langsung. Selain menyediakan aplikasi, Nutizen membantu pesantren dengan beragam pelatihan perekaman.

Awalnya, menurut Savic, cukup sulit mengajak pengasuh pesantren mengikuti program siaran langsung ini. "Banyak kiai yang awalnya tak mau disyuting karena tak terbiasa. Tapi kini sudah banyak yang sadar pentingnya siaran langsung ini bagi generasi ke depan," ujarnya.

Beberapa ulama pesantren menetapkan kriteria untuk program siaran langsung ini. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, misalnya, tidak akan sembarangan menyiarkan ceramahnya melalui media sosial. "Streaming itu artinya terbuka, dari tingkat awam sampai tingkat menengah atas bisa melihat. Nah, bahasa yang digunakan dalam kitab yang dipelajari itu belum tentu bisa dicerna orang awam," katanya kepada Tempo seusai makan sahur, Jumat pekan lalu.

Ketika menyampaikan ilmu tasawuf, ia malah akan lebih berhati-hati karena ada bahasa dalam ilmu tasawuf yang terlalu tinggi. Ia khawatir akan menimbulkan kesalahpahaman. Misalnya soal materi zuhud dunia atau menghindari kecintaan kepada dunia. Pemahaman banyak orang, seorang muslim tak boleh kaya-raya. "Padahal maksudnya bukan seperti itu," ujarnya. Ulama asal Pekalongan ini juga menghindari urusan politik. "Kami tidak mau masuk ke ranah itu. Saya menghindari betul dari kepentingan politik. Maaf saja."

Meski banyak kendala, Savic tak berhenti mengembangkan aplikasi Nutizen. Bahkan aplikasi ini sudah siap untuk platform iOS di gawai Apple, meski belum diluncurkan. Targetnya, 100 dari 24 ribu pesantren di Indonesia bisa konsisten bersiaran langsung. "Kami ingin mengangkat ulama pesantren agar bisa mewarnai Nusantara," katanya.

Erwin Zachri, Danang Firmanto, Muhammad Irsyam Faiz (Pekalongan), Sujatmiko (Lamongan), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus