Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUK pertama kalinya dalam 42 tahun sejarah Majelis Ulama Indonesia, pengumuman fatwa dilakukan di kantor pemerintah. Senin dua pekan lalu, Ketua Umum MUI Kiai Haji Ma'ruf Amin melansir fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial di gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Isinya, setiap muslim dilarang bergunjing, memfitnah, mengadu domba, menebar permusuhan, merisak, dan menyebarkan hoax. Majelis juga mengharamkan keuntungan yang didapat dari buzzer penyebar konten negatif tersebut. "Semua mengharapkan MUI mengeluarkan fatwa karena arus informasi di media sosial sudah kacau," ujar Ma'ruf, 74 tahun.
Dua hari kemudian, giliran Istana memanggil Rais Am Syuriah Nahdlatul Ulama itu. Bersama tokoh senior nasional, seperti Megawati Soekarnoputri, Ahmad Syafii Maarif, dan Try Sutrisno, Ma'ruf duduk di dewan pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Banyak pihak merasakan kemesraan itu sebagai angin perubahan di MUI. Delapan bulan lalu, lembaga itu dianggap berada di kubu seberang. Keputusan mereka soal penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama--waktu itu Gubernur DKI Jakarta--menjadi penggerak rangkaian demonstrasi. Belum lagi fatwa larangan memilih pemimpin nonmuslim dan atribut nonmuslim yang dituding bertentangan dengan toleransi.
Sabtu dua pekan lalu, Ma'ruf menerima wartawan Tempo Reza Maulana dan Raymundus Rikang di kediamannya di sebuah gang sempit di Koja, Jakarta Utara. Pendiri Pondok Pesantren An Nawawi, Serang, Banten, itu membantah semua anggapan tersebut. "MUI selalu jadi mitra pemerintah."
Apa latar belakang fatwa MUI tentang media sosial?
Akhir-akhir ini frekuensi konten negatif di media sosial makin tinggi. Ada hoax, fitnah, menggunjing atau gibah, bahkan adu domba. Kami juga melihat adanya buzzer yang memproduksi berita bohong untuk dibagikan.
Siapa yang pertama mencetuskan perlunya fatwa itu?
Dari laporan masyarakat, kepolisian, ulama, aktivis, sejak enam bulan lalu. Semua mengharapkan MUI mengeluarkan fatwa karena arus informasi di media sosial sudah kacau. Apalagi seputar pilkada DKI, fitnah kencang sekali. Presiden sampai sering berteriak karena beliau kena terus. Tahun depan ada pemilihan kepala daerah serentak, lalu pemilihan presiden 2019.
Presiden Joko Widodo ikut mengusulkan?
Tidak. Dari pemerintah, permintaan datang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Mengapa harapan mengurangi hoax dialamatkan ke MUI?
Karena MUI sebagai lembaga keagamaan yang dianggap memiliki pengaruh kepada umat. Sedangkan yang terlibat di media sosial adalah umat. Umat tidak cukup ditindak saja. Mendeteksi tindakan-tindakan seperti itu sulit karena muncul di sana-sini, sehingga penegak hukum kewalahan. Maka harus diimbangi dengan pendekatan keagamaan supaya mereka sadar.
Seberapa besar kekuatannya?
Secara pendekatan keagamaan, sangat mengikat umat. Kami sebut mengikat secara syariah, ilzam syar'i. Kompetensi memberikan tuntunan keagamaan ada pada ulama, yang terhimpun di lembaga keagamaan. MUI adalah lembaga yang merepresentasikan berbagai kelompok keagamaan. Jadi mempunyai otoritas menyeluruh. Fatwa Nahdlatul Ulama, misalnya, hanya untuk warga NU. Begitu juga Muhammadiyah dan Persatuan Islam.
Namun ada keputusan MUI yang cenderung tidak diindahkan, misalnya larangan gibah di tayangan gosip pada 2010.
Soal infotainment tidak sebesar masalah hoax dan fitnah. Waktu itu kami bekerja sendiri dan sifatnya imbauan. Sekarang kami bekerja sama dengan banyak pihak, sehingga ada sinergi antara penindakan oleh polisi, pemblokiran oleh Kementerian Komunikasi, dan penyadaran keagamaan oleh MUI.
Fatwa media sosial serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bisa saling menguatkan?
Ya. Nanti bisa diregulasikan, misalnya lewat peraturan menteri, sehingga menjadi ilzam tanfidzi, mengikat secara regulasi. Sama seperti fatwa perbankan syariah, yang dijadikan regulasi oleh pemerintah.
Efek fatwa media sosial sudah terasa?
Sepertinya sudah mulai reda. Karena bisa ditutup Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika). Kalau orangnya memprotes, kami siap hadapi.
Termasuk cuitan Tengku Zulkarnain, Wakil Sekretaris Jenderal MUI, yang kerap menyinggung banyak pihak?
(Tersenyum) Kami juga bahas itu. Cara bermedia sosialnya perlu diluruskan. Kalau saya marahi, dia manut, tapi kadang kumat juga, ha-ha-ha.
Anda punya akun media sosial?
Tidak. Ponsel saya hanya punya dua fungsi: telepon keluar dan telepon masuk. SMS saja tidak.
Berapa persen tingkat kepatuhan umat terhadap nasihat MUI?
Tidak ada angka. Tapi, secara umum, daya kepatuhannya sangat tinggi. Indikasinya, setiap ada masalah, masyarakat meminta MUI memberikan pedoman. Kalau ada yang tidak melaksanakan, wajar. Al-Quran yang jelas-jelas dari Allah tetap banyak yang melanggar. Kami hanya berupaya menjaga jangan sampai fatwa itu dikapitalisasi menjadi gerakan-gerakan yang merusak dan menimbulkan kegaduhan. Misalnya, sweeping di pusat-pusat belanja setelah fatwa tentang hukum haram menggunakan atribut nonmuslim, Desember tahun lalu.
Keputusan MUI tentang penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama termasuk menimbulkan kegaduhan?
Bukan fatwa yang menimbulkan kegaduhan, tapi ucapan Ahok (panggilan Basuki). Fatwa itu muncul untuk mengkanalisasi gerakan yang berpotensi anarkistis. Kami keluarkan fatwa bahwa ada penghinaan, lalu salurkan ke penegak hukum.
Apa yang dihina Ahok: agama, Al-Quran, atau ulama?
Al-Quran dan ulama. Al-Quran karena dalam pidato Ahok ada kata-kata "dibohongi pakai Surat Al-Maidah". Masak, Quran bisa dijadikan alat kebohongan? Yang memberi penafsiran kebohongan itu ulama. Berarti ulama melakukan kebohongan menggunakan Al-Maidah.
Sementara fatwa media sosial butuh enam bulan, mengapa MUI hanya perlu sebelas hari memutuskan hal tersebut?
Kalau cuma omongan seperti itu, tidak sulit dan tidak butuh waktu panjang. Sebelas hari itu lebih dari cukup.
Ahok berdalih tak mungkin menghina Islam karena konstituennya mayoritas muslim.
Dalam Islam, yang dinilai adalah ucapannya. Soal hati dan niat, urusan Allah. Nabi Muhammad SAW melarang kita menuduh orang munafik. Beliau bilang, apa kamu sudah membelah dadanya? Itu saya sampaikan ketika menjadi saksi di persidangan, Februari lalu.
Anda dibentak dalam persidangan itu?
Ya, oleh pengacaranya. Ahok juga membuat pernyataan yang keras di akhir persidangan.
Mereka bilang apa?
Saya lupa kalimat persisnya. Pokoknya, mereka tidak terima. Menuduh saya punya kepentingan lain dalam kasus tersebut dan mengancam akan melaporkan ke polisi karena memberi keterangan palsu.
Anda marah?
Enggak. Saya biasa menghadapi hal seperti itu. Seorang ulama harus bisa mengendalikan diri. Malamnya, saya ceramah di acara Hari Lahir NU, tidak terbawa situasi siang itu. Cool saja.
Kenapa Menteri Luhut Pandjaitan dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mochamad Iriawan merespons dengan sowan ke rumah Anda?
Yang marah adalah umat karena saya diperlakukan seperti itu. Bukan hanya NU, tapi dari mana-mana. Para pejabat itu minta maaf dan minta saya menenangkan keadaan.
Ahok dan pengacaranya tidak minta maaf?
Mereka minta ketemu, saya enggak mau. Tapi, mereka minta maaf, saya maafkan. Yang penting kan maafnya. Ketemunya kapan-kapan saja.
Tudingan mereka terkait dengan kabar percakapan Anda dengan Susilo Bambang Yudhoyono?
Ya.
Bagaimana mereka bisa mendapatkan rekaman yang disebut pembicaraan tersebut?
Saya juga enggak tahu. SBY hanya berterima kasih karena Agus Harimurti Yudhoyono diterima di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Yang menerima Kiai Said (Aqil Siroj, Ketua Umum PB NU). Saya cuma diminta hadir karena ada tamu.
Pengacara Ahok yakin percakapan itu memuat permintaan fatwa penistaan agama terkait dengan pernyataan Ahok.
Enggak ada. Masak, fatwa diminta? Bahkan presiden saja tidak bisa meminta.Seberapa dekat Anda dengan Yudhoyono?
Saya kenal baik karena dulu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Tapi setelah itu tidak berhubungan lagi.Kabarnya masih sering berkomunikasi dengan Yudhoyono melalui Harris Thahir, Ketua Majelis Dzikir SBY?
Harris? Enggak. Kenal juga tidak dengan Harris. Itulah, banyak kabar enggak bener.Bagaimana Anda memandang banyaknya ulama yang menyatakan Ahok tidak menista Al-Quran?
Itu kan personal, tidak mewakili lembaga. Yang mewakili MUI, NU, Muhammadiyah bersikap sama. Pendapat kami sifatnya kolektif, sudah dibahas di lembaga. Kalau dengarkan pendapat personal, pembahasan masalah keagamaan bisa tidak terkontrol karena semua mengeluarkan suara.Apa hubungan MUI dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI?
Tidak ada hubungan. MUI hanya mengeluarkan fatwa. Masyarakat membuat gerakan yang menggunakan isu fatwa penistaan agama dengan nama Pembela Fatwa MUI. Kami tidak pernah menyuruh dan memfasilitasi.Tapi ada Bachtiar Natsir, Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI, di pucuk pemimpin gerakan itu?
Dia di dewan pertimbangan. Jarang sekali berkomunikasi dengan kami di dewan pengurus. Keterlibatan orang MUI bersifat personal atau mewakili organisasi dia, bukan MUI.Dengan label MUI dalam gerakan mereka, sulit memisahkan MUI dengan demo-demo besar anti-Ahok.
Itu fatwa MUI, bukan MUI.Apa yang mendasari pengawalan fatwa?
Saya tidak mendalami. Kami hanya menginginkan proses hukum di kepolisian dan pengadilan, selesai. Saya menganggap Aksi 2 Desember sebagai yang terakhir karena tuntutan menyidangkan Ahok sudah didengar. Maka, ketika ada seruan Tamasya Al-Maidah saat pencoblosan pilkada DKI dan Aksi 31 Maret, saya bilang tidak perlu lagi. Kami tak ingin terjadi pembelokan isu.Anda sepakat dengan dugaan polisi bahwa rentetan demo itu ditunggangi gerakan makar?
Itu yang saya khawatirkan. Makanya pada 212 saya arahkan agar tak ada orasi. Jemaah diminta duduk, mendengarkan tausyiah dan berzikir, supaya lebih adem. Dalam diskusi dengan panitia dan kepolisian, saya juga mengarahkan aksi dipusatkan di Monas. Berbahaya kalau dilakukan di Thamrin seperti keinginan panitia.Apa bahayanya?
Kepala aksi di Bundaran HI, buntutnya di DPR. Buntut itu bisa tiba-tiba jadi kepala dan arah demo berubah jadi politik.Ada kabar sejumlah tokoh minta uang ke kepolisian supaya massanya tidak turun dalam Aksi Bela Islam. Anda termasuk?
Tidak. Saya tidak dengar kabar itu.Dengan fatwa media sosial dan keterlibatan Anda di Unit Kerja Presiden untuk Pancasila, masyarakat menilai MUI berbalik arah dan mesra dengan pemerintah.
Kami selalu dekat, tidak pernah berhadapan dengan pemerintah.Anggapan itu muncul ketika MUI mengeluarkan keputusan soal penistaan agama oleh Ahok.
Itu kan Si Ahok, bukan pemerintah. Prinsip MUI melayani umat dan menjadi mitra pemerintah. Itu tidak pernah berubah.Bukankah larangan memilih pemimpin nonmuslim bertentangan dengan persamaan hak di Undang-Undang Dasar 1945?
Tidak bertentangan. MUI tidak pernah menolak pencalonan nonmuslim. Tapi, ketika umat meminta pendapat soal pemilihan, tentu kami arahkan sesuai dengan pendapat kalangan ulama, yaitu tidak boleh memilih pemimpin nonmuslim. NU juga menyatakan hal yang sama, seperti tertuang dalam hasil Muktamar Lirboyo 1999.Artinya umat Islam hanya boleh memilih sesama muslim?
Kalau ada, pilihlah yang muslim. Kalau tidak ada, pilihlah calon paling baik di antara yang ada.Anda setuju jika fatwa atribut nonmuslim disebut anti-keberagaman?
Itu cuma dikaitkan-kaitkan. Yang tak boleh adalah umat Islam dipaksa memakai atribut Natal. Polisi bisa mengenakan pasal pemaksaan kehendak. Kalau dia sendiri tak terpaksa, ya, urusan dia. Pohon Natal di mal, misalnya, enggak ada masalah.Namun fatwa-fatwa seperti itu yang membuat MUI dinilai tidak moderat.
Justru MUI paling moderat. Kami berada di tengah. Namun posisi ini sering dipandang salah. Kelompok kanan melihat kami terlalu kiri, dibilang liberal dan sebagainya. Sementara itu, orang di kiri menganggap kami berat ke kanan sehingga dicap radikal. Padahal saya Pancasilais.Apa tugas Anda di Unit Kerja Presiden untuk Pancasila?
Simpel saja, mengarahkan. Kebebasan sebagai efek reformasi ini kebablasan sehingga memunculkan radikalisme, baik agama maupun sekuler. Pancasila harus kembali menjadi kekuatan yang menyatukan berbagai agama, etnis, dan golongan.Radikalisme sekuler seperti apa?
Gerakan yang mengusir agama dari politik, sosial, ekonomi, budaya. Sebaliknya, ada juga yang mau mengganti dasar negara dengan agama dan membentuk khilafah.Anda menyebut khilafah tidak akan laku di Indonesia. Apa alasannya?
Indonesia punya komitmen kebangsaan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya orang terprovokasi yang ngotot mau mendirikan khilafah di sini.Tapi ada yang bilang kekhalifahan merupakan tuntutan sunah.
Siapa bilang? Rasul tak mendirikan khilafah. Para sahabat yang melakukannya di masa Khulafaur Rasyidin. Sesudah itu kerajaan. Tidak ada tuntutan sistem pemerintahan harus khilafah. Kalau ada, pasti sudah dijalankan negara-negara mayoritas muslim sejak dulu. Yang penting negara adil serta menegakkan prinsip keislaman dan musyawarah.MUI sepakat soal rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)?
Kalau mereka tetap mau usung khilafah, ya, bubarkan. Karena gagasan HTI akan mengganggu sistem pemerintahan kita.KH Mustofa Bisri (Gus Mus), sesepuh NU, mengkritik banyak pengurus MUI yang tidak jelas latar belakangnya. Pembelaan Anda?
Pendapat itu terlalu mengecilkan. Banyak anggota MUI yang bergelar profesor dan doktor tamatan luar negeri. Mereka ulama muda yang pintar.Gus Mus mempertanyakan proses rekrutmen MUI.
Rekrutmen kami ada dua: keterwakilan lembaga dan kompetensi. Tentu tidak semua lembaga, yang lebih dari 60, bisa menjadi pengurus. Sementara itu, kami membutuhkan profesional dan cendekiawan, terutama untuk komisi fatwa dan dakwah. Mungkin Gus Mus tidak tahu itu dan mendapat masukan yang salah.Tiga tahun lalu, Tempo menemukan dugaan suap pejabat MUI terkait sertifikasi halal daging sapi Australia. Apa tanggapan Anda sebagai Ketua Komisi Fatwa saat itu?
Enggak ada suap-suap begitu. Dugaan saya, mereka ingin memperoleh pengakuan, meminta kami datang, dan memverifikasi. Ketentuannya memang harus menanggung transportasi dan akomodasi karena kami tidak punya dana untuk itu. Namun, setelah diperiksa, mereka tidak memenuhi syarat dan marah.Dokumen pengundang menyebutkan Anda termasuk satu dari tujuh pengurus MUI yang mendapat uang saku dengan nilai total Rp 275 juta di Melbourne, April 2006.
Saya lupa. Itu sudah lama sekali. Uang saku itu relatif. Memberi boleh, enggak kasih juga enggak jadi masalah.Apa yang berubah jika Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal berjalan?
Kewenangan MUI jadi hanya soal fatwa, tak lagi mengeluarkan sertifikat halal. Saat ini baru 15 persen produk yang disertifikasi karena sifatnya voluntary. Karena nanti diwajibkan oleh Undang-Undang Jaminan Produk Halal, harus tambah 85 persen lagi. Jadi Komisi Fatwa akan sibuk saja mengurusi fatwa halal ini, ha-ha-ha.MUI bakal kehilangan pemasukan?
Menghitungnya bagaimana? Sertifikasi itu tidak dihitung dari jumlah produk. Satu pabrik dengan sekian produk itu sertifikatnya cuma satu.Sertifikasi tak menyumbang banyak dana?
Kalau uang kami banyak, kami beli satu tower di Jalan Thamrin, ha-ha-ha. Tidak mungkin kami hanya menempati gedung kecil di Jalan Proklamasi. Itu pun punya Kementerian Agama. Malu juga sih, negara berpenduduk muslim terbesar tapi gedungnya pinjam.Pandangan Anda soal kasus Rizieq Syihab?
Saya tidak bisa berkomentar. Yang tahu cuma polisi dan Rizieq. Sama seperti ada kelompok yang mengatakan terjadi kriminalisasi terhadap ulama. Sementara itu, polisi tidak merasa demikian. Dua kutub itu harus dipertemukan.Sebagai ketua majelis ulama, Anda merasa dikriminalisasi?
Enggak. Saya sih baik-baik saja dengan pemerintah.Sampai bisa masuk Istana Negara dengan bersarung dan sandal?
Ini ciri khas ulama Indonesia. Buya Hamka, ketua pertama MUI, juga sarungan. Kita harus menjadi muslim Indonesia. Sekarang ini banyak orang yang muslimnya kuat tapi Indonesianya kurang. Saya punya gamis dari Timur Tengah, tapi hanya dipakai sesekali di rumah. l
Ma'ruf Amin
Tempat dan tanggal lahir: Tangerang, 11 Maret 1943
Pendidikan:
- Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang
- Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta
Karier:
- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (2015-2020)
- Rais Am Syuriah Nahdlatul Ulama (2015-2020)
- Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2007-2009 dan 2010-2014)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo