Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lagu Puisi Untung Basuki

Sebuah buku berjudul Jalan Hidup Untung Basuki: Teater dan Lagu Puisi diterbitkan di Yogyakarta. Berisi testimoni teaterwan Yogya terhadap Untung yang merupakan pionir lagu puisi pada 1970-an.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu Untung Basuki memetik gitar dan meniup harmonika. Perpaduan permainan dua instrumen musik itu mengalir dalam ritme cepat, mengiringi puisi "Lepas-lepas". Di rumahnya di Kampung Ngadisuryan, Yogyakarta, Untung mendemonstrasikan lagu puisi pertamanya itu. Pria 68 tahun itu bernyanyi dengan penuh semangat dan penghayatan. Kadang ia memejamkan mata. Suaranya serak dan bertenaga. Jari-jemarinya lincah memindahkan chord gitar. "Lagu puisi 'Lepas-lepas' saya buat pada 1970," katanya saat berbincang dengan Tempo, pertengahan Mei lalu.

Untung dikenal sebagai pionir lagu puisi generasi 1970-an. Mantan anggota Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra itu menulis puisi dan menjadikannya lagu dengan iringan gitar dan harmonika. Gitar bertulisan aksara "Jelang" itu ia beli Rp 25 ribu pada 1976 dari seorang teman. Sedangkan harmonika hadiah dari kawannya asal Jerman. Harmonika kesayangannya itu ia simpan dalam tas lusuh yang menyerupai barang rombeng.

Menurut Untung, puisi "Lepas-lepas" yang ia jadikan lagu bercerita tentang orang yang melepaskan diri dari penat dan segala persoalan. Puisi itu ia ciptakan dalam perjalanan kereta dari Yogyakarta ke Jakarta. Saat itu ia diminta Rendra ke Jakarta untuk mengantar perempuan yang hendak menjadi pekerja rumah tangga. Untung senang bukan kepalang karena ia sedang penat dengan latihan Bengkel Teater yang sangat ketat. Tak ia sangka, lagu puisi pertamanya itu menjadi tembang legendaris yang disukai banyak orang.

Hingga kini Untung telah menciptakan sekitar 60 lagu puisi. Puluhan puisinya yang dilagukan ala musik country itu gampang dicerna. Menurut Untung, lagu puisi berbeda dengan musikalisasi puisi. Lagu puisi lebih awet dan tak bisa sembarangan dibawakan. Bagi dia, puisi punya nilai mendalam yang tak tergantikan. Pada 2004, ia merekam album bertajuk Lagu Puisi Tanah.

Untung menuturkan, kemampuannya mencipta lagu puisi dimulai dari iseng-iseng bermain gitar. Ia bermain gitar dan ditonton kawan-kawannya di Bengkel Teater. Di bawah pohon nangka dan sinar rembulan, Untung suatu ketika memetik gitar. Ia jengkel karena tidak lancar bermain gitar. Akhirnya ia mencoba membuat lagu sendiri dan berimprovisasi.

Ia menulis puisi, lalu menjadikannya sebagai lirik lagu. Ia kemudian menggali melodi dari puisi dan memberikan sentuhan rasa. Ia tak pernah memotong atau menambahkan kalimat pada puisi agar cocok dengan musik. "Untuk mengerti maksud dari lagu puisi, orang perlu mendengarnya beberapa kali," ujarnya.

Dalam proses menciptakan lagu puisi, Untung bekerja bisa cepat dan bisa lamban. Lagu puisi berjudul Lagu untuk Helga, yang syairnya diciptakan Linus Suryadi A.G., butuh waktu tiga tahun. Sedangkan lagu puisi Elegi hanya perlu waktu setengah jam. Bila lagu puisinya tidak segera jadi, Untung biasa melakukan aktivitas lain, yakni berjalan atau lari-lari. "Kalau lagu puisi tidak jadi, rasanya lemas dan mual," kata Untung.

Bengkel Teater membantunya berimprovisasi ketika tampil membawakan lagu-lagu puisi. Dari teater, Untung belajar mengerti makna kalimat dan meletakkan titik-koma. Lagu puisi bicara penggalian atas puisi. Karya-karyanya bertema percintaan, alam, dan protes sosial. Suatu kali ia pernah diminta Rendra membuat lagu dari syair berjudul "Maju Perang" ciptaan Rendra. "Maju Perang" inilah yang digunakan tatkala Bengkel Teater mementaskan saduran karya Bertolt Brecht berjudul Lingkaran Kapur Putih.

l l l

Untung aktif di Bengkel Teater sejak 1969. Ia masuk kelompok teater yang bermarkas di Kampung Ketanggungan, Yogyakarta, itu karena diajak seorang temannya. Lelaki ceking dan berwajah tirus itu memulainya dengan bersih-bersih Bengkel Teater, mengisi bak mandi, mencuci piring, memasak, dan mengantar anak-anak Rendra berangkat sekolah.

Untung--saat itu 19 tahun--suka melihat para pemain teater berlatih. Mereka datang dua jam sebelum latihan. Ia tertarik ikut berlatih dan Rendra memberi kesempatan latihan. Bagi Untung, Rendra punya pengaruh penting dalam kehidupannya. Saking spesialnya, Rendra pernah ia minta memberikan nama anak pertamanya, Yeremias Abiyoso. Sejak itu, Untung menempa kemampuannya berteater. Ia hampir tak punya waktu untuk bersantai. Ia berlatih teater, menghafal naskah dengan keras. Ada kesan yang membekas buat Untung ketika berlatih. Suatu ketika ia diminta berimprovisasi. Ia pun menampilkan mimik menangis. "Semua orang tertawa. Saya malu waktu itu," ucapnya.

Untung tak patah semangat. Ia terus berlatih. Sejak 1970-an hingga 1980-an, ia aktif berpentas bersama Bengkel Teater di Jakarta dan kota-kota besar lain di Tanah Air. Ia juga berteater hingga ke Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Salah satu yang berkesan ketika ia berperan sebagai aktivis dalam pertunjukan Bengkel Teater yang fenomenal pada 1970-an: Mastodon dan Burung Kondor.

Semangat Untung menularkan kemampuan berteater tak pernah pudar. Ia masih menjadi guru ekstrakurikuler teater di SMA Santo Mikael, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Tiap Jumat, ia mengajarkan teater kepada siswa sekolah itu. Honornya Rp 75 ribu setiap kali mengajar. Saat ini Untung juga tengah menyutradarai teater berjudul Senja dengan Dua Kelelawar karya Kirdjomulyo. Lakon teater itu berkisah tentang gadis yang jatuh cinta membabi-buta tapi bertepuk sebelah tangan. Lakon teater itu ia siapkan untuk pementasan di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, pada Agustus mendatang.

l l l

Pertengahan April lalu, sejumlah sahabatnya memberi testimoni tentang Untung melalui buku berjudul Jalan Hidup Untung Basuki: Teater dan Lagu Puisi. Buku setebal 147 halaman itu diluncurkan di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta, bersama dengan pentas lagu puisinya. Menurut Genthong H.S., kritikus teater yang juga sahabatnya, Untung rendah hati, sederhana, dan suka menolong. Untung dekat dengan hampir semua seniman. Ia dekat dengan W.S. Rendra, Umar Kayam, Linus Suryadi, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, Ebiet G. Ade, Sawung Jabo, dan Iwan Fals. Ia juga sebagai aktor yang bagus dan menjadi organisator pentas. "Untung sederhana berpikir, punya filosofi hidup yang mengalir, dan tidak ruwet," katanya.

Ons Untoro, sahabat lain Untung, punya kesan Untung orang yang spontan, setiap saat bisa menyanyi dengan iringan gitar. Suatu ketika Untung diundang untuk datang dalam acara peringatan hari ulang tahun budayawan Umar Kayam (almarhum) di rumah makan. "Untung spontan memainkan lagu puisi di depan Umar Kayam," ujar Ons. Menurut Ons, Untung tak pernah menolak ketika diminta tampil dan selalu menganggap semua orang baik. Dia menggarap karya-karyanya dengan serius ketika pentas. Ia juga tak pernah mematok bayaran ketika pentas. Saat Tempo menanyakan hal itu, Untung menjawab, "Saya tidak enak mematok tarif. Berkesenian tidak melulu soal uang."

Untung mengisi hari-harinya dengan rajin membaca buku. Hampir setiap pagi, ia membersihkan rumah dan menguras bak mandi. Untuk menjaga stamina tubuh dan suaranya, ia punya kiat: olahraga, banyak minum air putih, tidak merokok, dan tidur cukup. Untung tinggal bersama istri dan dua anaknya di rumah yang sederhana berukuran 6 x 7 meter. Kandang penuh ayam berada di halaman rumahnya. Bau tahi ayam masuk ke rumahnya. Suami Sri Sukapti ini punya hunian yang sempit multifungsi untuk tidur, ruang makan, serta menyimpan lukisan, buku, dan semua perabot rumah. Barang-barangnya berserakan tak beraturan. "Biar sempit begini, banyak kawan yang datang berdesak-desakan, berkumpul di sini," kata Untung.

Shinta Maharani


Untung terus berlatih. Sejak 1970-an hingga 1980-an, ia aktif berpentas bersama Bengkel Teater di Jakarta dan kota-kota besar lain di Tanah Air. Ia juga berteater hingga ke Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Salah satu yang berkesan ketika ia berperan sebagai aktivis dalam pertunjukan Bengkel Teater yang fenomenal pada 1970-an: Mastodon dan Burung Kondor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus