Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Cukong

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di panggung, penyanyi Titiek Hamzah memberi pengakuan telah lama cuti dari musik. Dulu, orang-orang mengenal Titiek Hamzah bergabung dengan kelompok musik terkemuka bernama Dara Puspita. Sejak 1972, Titiek Hamzah tak lagi berurusan dengan rekaman lagu di studio atau tampil di konser musik. Jeda itu dianggap cuti panjang. Kerinduan pada kemeriahan bermusik dipenuhi saat Titiek Hamzah ikut tampil di Jambore Rock 83 di Ancol, Jakarta. Di hadapan 10 ribu penonton, Titiek Hamzah melantunkan lagu ciptaan sendiri berjudul Cukong Tua. Lagu itu untuk membuktikan diri masih sanggup mendapatkan sorakan dan tepuk tangan penonton (Tempo, 27 Agustus 1983).

Judul lagu itu memicu penasaran. Dulu, orang-orang lazim memberi sebutan cukong ke orang-orang berlimpahan duit dan memiliki kuasa besar. Kita belum bisa memastikan awal penggunaan sebutan dalam lakon ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia. Pada masa kekuasaan Soeharto, sebutan cukong pernah laris meski lekas tersisih dalam kebahasaan publik pada abad XXI. Sebutan cukong muncul tapi tak cepat masuk ke kamus-kamus. Laris cuma sejenak. Di kamus-kamus pada 1950-an, cukong belum pernah tercantum. Kita bisa membuka Kamus Indonesia (E. St. Harahap) dan Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Sutan Mohammad Zain). Di Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta cetakan pertama (1952) sampai ketiga (1961), pembaca gagal menemukan lema "tjukong" (cukong). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia saat mengolah kembali Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) juga tak pernah mencantumkan lema cukong. Kita bersabar saja, tak perlu menimpakan salah pada kamus.

Barangkali para pembuat kamus malas mengikuti penggunaan kata di koran dan majalah. Mereka tentu tak betah mendengarkan lagu-lagu melalui radio. Mereka pantas diduga bukan penggemar Titiek Hamzah. Mochtar Lubis dalam tajuk di Indonesia Raya sering menggunakan sebutan cukong dalam menanggapi berbagai kasus korupsi dan gejolak ekonomi-politik di Indonesia dan Asia. Pada 23 Oktober 1971, Mochtar menulis tajuk berjudul "Bahaja Pertjukongan" dengan simpulan galak: "Dalam pergaulan sehari-hari, apalagi di depan umum, si cukong akan tetap memperlihatkan sikap menghormati dalam melajani sekali pada sang pembesar. Akan tetapi, pada hakikatnja, hubungan antara mereka adalah: sang tjukong adalah tuan dan sang pembesar adalah abdi."

Pada 1970-an, Mochtar Lubis menganggap rezim Orde Baru sangat bergantung pada cukongisme. Berbagai kebijakan tampak memihak ke cukong berdalih pembangunan nasional. Pada 27 Desember 1973, tajuk di Indonesia Raya berjudul "Pikiran Hari Ini" mengandung marah Mochtar Lubis. Para cukong dianggap tak memiliki peran penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Mereka malah memanen hasil melimpah saat Indonesia sedang bermimpi pembangunan. Kalimat keras dari Mochtar Lubis berkaitan dengan para cukong dan nasib Indonesia: "... mereka ini malahan berbicara dalam bahasa Indonesia saja tidak mampu." Tulisan-tulisan itu masa lalu. Kita tak harus bermufakat atau berlagak memberi koreksi. Kita mendingan memikirkan kelarisan penggunaan sebutan cukong pada masa awal kekuasaan Soeharto.

Dalam kamus-kamus yang terbit pada 1950-an, kita tak menemukan lema cukong. Pada masa 1970-an, kamus belum memuat lema cukong. Barangkali ketiadaan itu bukan masalah genting bagi perkamusan atau memusingkan para ahli bahasa Indonesia. Kita sangsi terhadap pekerjaan membuat kamus oleh tokoh atau institusi yang telah mengabaikan penggunaan sebutan cukong di lagu dan koran. Barangkali tajuk di koran dan lagu bukan sumber penting dalam menggarap kamus atau "mengolah kembali" kamus lama agar lengkap.

Penantian lama perlahan dilegakan saat kita membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994) susunan J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Di halaman 292, cukong berarti "orang yang mempunyai uang banyak yang memodali usaha orang lain" atau "pemilik modal". Pada saat lema cukong menghuni kamus, orang-orang malah jarang menulis atau berorasi dalam demonstrasi menggunakan sebutan cukong mengarah ke tata ekonomi dan politik di Indonesia. Cukong terlambat masuk kamus dan cepat dilupakan tanpa air mata dan taburan bunga. l

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo


Mochtar Lubis dalam tajuk di Indonesia Raya sering menggunakan sebutan cukong dalam menanggapi berbagai kasus korupsi dan gejolak ekonomi-politik di Indonesia dan Asia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus