DANA pembangunan belum berhenti mengalir. Namun, banyak pengusaha, yang sudah merasa kering sejak beberapa waktu berselang, mungkin bakal merasakan musim yang lebih gersang mulai 1 April nanti. Soalnya, dana yang biasa dicucurkan pemerintah langsung untuk mereka akan berkurang banyak pada rencana anggaran belanja 1986-87. Dari proyek-proyek Inpres saja sudah cukup banyak peluang yang bakal tak muncul. Tahun lalu masih dianggarkan Rp 1.467,3 milyar. Sedang tahun anggaran 1986-87, pemerintah hanya merencanakan Rp 1.315,2 milyar, berarti terjadi penurunan Rp 152,1 milyar. Jumlah itu cukup besar, khususnya bagi para pemborong di daerah. Bila nilai rata-rata satu proyek Inpres sekolah dasar Rp 10 juta, jumlah tersebut kurang lebih sama dengan jumlah 15.210 peluang proyek yang hilang. Anggaran pembangunan untuk proyek-proyek departemen, lembaga, dan hankam kali ini pun cuma sebesar Rp 2.087,7 milyar, atau menciut Rp 1.556,6 milyar dibandingkan anggaran 1985--86 yang berjumlah Rp 3.644,3 milyar. Hal ini tentunya akan dirasakan pula oleh para rekanan menengah dan besar. Para penyuplai barang dalam negeri untuk pemerintah pun cukup banyak yang akan terkena gunting. Kendati pengeluaran rutin akan meningkat, pemerintah tampaknya akan melakukan penghematan besar di sini. Rencana belanja barang dalam negeri Rp 1.296,7 milyar menunjukkan ada penghematan Rp 155 milyar dibandingkan anggaran yang masih berjalan. Gambaran tersebut tentu tak akan membawa kecerahan bagi para pengusaha yang sangat menggantungkan usahanya pada proyek-proyek pemerintah. Kesuraman sebenarnya telah mulai dirasakan para pemborong sejak 1984. Terutama karena jumlah proyek semakin kecil, sedangkan jumlah pemborong telah melonjak hingga 35.000 lebih. Pembangunan gedung SD Inpres, misalnya, pada tahun anggaran 1982-83 sempat mencapai angka 22.600, sedangkan pada anggaran 1984-85 hanya 2.200 gedung, sama seperti yang direncanakan pada tahun anggaran mendatang. Pada tahun anggaran berjalan (1985-86) masih mendingan, 3.200 gedung. Memang ada kesan, di sebagian kalangan kontraktor, sejak tahun ini peluang bagi mereka dipersempit. Instruksi Presiden, 3 Mei 1985, menentukan bahwa proyek-proyek yang bernilai di bawah Rp 100 juta - termasuk proyek-proyek Inpres - dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU). Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah PU, seperti PT Waskita Karya, PT Hutama Karya, PT Adhy Karya, darJ PT Tjiria Dharma, mulai menyusup ke daerah, dan ternyata berhasil merebut proyek-proyek di situ. Yang menyakitkan kontraktor daerah konon, persaingan dalam tender dilakukan tak wajar. Ada saja proyek yang tahu-tahu sudah dimenangkan kontraktor tertentu tanpa pernah ada pengumuman undangan tender. Alasan pemilik proyek, untuk menghemat biaya. Dalam persaingan tender, kontraktor perusahaan negara berani menawar harga lebih rendah dari tawaran swasta, sehingga pasti menang. Ketika proyek sudah dimenangkannya, ternyata, biaya bisa diotak-atik lagi melampaui penawaran swasta hingga sesuai dengan DIP. "Contohnya, proyek sekolah teknik menengah di Bireuen, Aceh Utara," tutur Abdullah Zakaria, Direktur CV Tri Jasa Karya, yang juga Ketua Kadin Aceh Timur. Proyek ini ditawarkan Rp 956 juta ternyata dimenangkan PN PP dari Jakarta dengan harga Rp 901 juta. Setelah menang, PN itu bisa mendapatkan adendum, hingga nilai proyek naik lagi di atas penawaran swasta tadi. Karena mereka tidak berdomisili di daerah tersebut, terang saja, dana yang sedianya diguyurkan untuk daerah akan tersedot kembali ke Pusat. Memang, ada kewajiban bagi perusahaan besar untuk bekerja sama dengan perusahaan kecil setempat dan memakai bahan baku dari daerah proyek, tapi sampai 10% dari nilai proyek saja sudah cukup. Lebih menyakitkan, perusahaan dari Pusat itu sering kedapatan tidak pernah membayar sumbangan pembangunan daerah (SPD). Penyedotan kembali dana dari Pusat itu, menurut Prof. Arsjad Anwar, cukup wajar. Sudah terbukti bahwa dana dari Pusat untuk proyek-proyek daerah belum dapat disedot oleh daerah yang bersangkutan. Tak dijelaskannya lebih lanjut, tapi, mungkin, sebagian dana yang sempat ditampung pengusaha atau pejabat daerah akhirnya lari kembali ke investasi atau pembelian barang di Jakarta atau bahkan mungkin lari ke luar negeri. Penanganan proyek pemerintah oleh perusahaan pemerintah, di satu pihak, dianggap kalangan kontraktor swasta, mungkin tak akan terhambat birokrasi. Tapi, di pihak lain, timbul pertanyaan: apakah penanganan proyek itu akan lancar. "Pemerintah memang memiliki banyak tenaga berstatus karyawan pegawai negeri, tapi apakah mereka bisa digenjot mengejar waktu ?" kata Nando Direktur PT NT di Medan. Perusahaan kontraktor NT sudah mulai tersedot modalnya karena harus membayar gaji pegawai, kendati tak mendapatkan satu proyek pun pada tahun anggaran berjalan. Nando memperkirakan, penanganan proyek Inpres oleh PU juga akan terhambat, karena kantor dinas PU belum tentu memiliki cukup peralatan. Menciutnya anggaran pembangunan, ditambah lagi ada gejala proyek pemerintah hendak ditangani pemerintah sendiri, menyebabkan sebagian kontraktor sudah berniat mengalihkan modal. Di Aceh Timur sebagian dari 365 anggota Gapensi sudah berniat secara kolektif mengalihkan modalnya ke sektor agribisnis. Ketua Kadinda Samarinda, Achmad Bahtar, bahkan telah mengalihkan modalnya sebagian ke usaha pertambakan dengan investasi Rp 3,7 milyar. "Saya melihat bidang ini lebih baik sehingga, bila sudah jalan, dunia kontraktor tidak akan lagi menjadi tumpuan saya," tutur Direktur PT Asta Brata, kontraktor kelas B1, yang tak mendapatkan setetes pun proyek 1985-86 itu. Ketua Gapensi Jawa Timur, Kadarisman Prawirodijogjo, dan Ketua Gapensi Jawa Barat, Yoyo Kartoyo, tak keberatan bahwa proyek-proyek Inpres dilaksanakan PU. "Biar saja kontraktor gurem mati, daripada dapat tender tapi merugi terus. Yang penting, pemerintah mengurangi proyek-proyek pembelian alat berat dan memperbanyak proyek penunjang banyak tenaga kerja," kata Kadarisman, pemilik PT Melatronika, kontraktor kelas A yang menangani, antara lain, dam pengaman banjir Tulungagung dan proyek irigasi Pasuruan. Kadarisman, yang sudah 25 tahun bergelut di sektor swasta, berpendapat bahwa dewasa ini - bila kontraktor gurem memiliki modal Rp 100 juta - lebih baik banting setir saja. YOYO Kastoyo memperkirakan, di tahun 1986-87, nasib para kontraktor akan sama seperti di tahun 1985-86: ada banyak kontraktor yang tak kebagian, sedangkan yang kebagian pun masih akan menderita. Perusahaannya sendiri, kontraktor kelas B1 PT Fajar Parahyangan Indonesia, menargetkan minimal meraih 5 proyek bernilai Rp 400 juta baru bisa menutup biaya kantor dan 14 karyawannya. Ternyata, PT ini dalam tahun terakhir hanya menerima proyek 30% dari target. "Lumayan dibandingkan yang tak mendapatkan apa-apa," tutur Ketua Gapensi, yang membawahkan 8.000 kontraktor Jawa Barat itu. Kalangan rekanan pemerintah mungkin pula cukup banyak yang akan terpukul oleh penghematan belanja barang. Namun, mereka masih bisa berpijak pada pasar umum. Produsen dan penyuplai bahan bangunan atap dan dinding dari baja atau aluminium, PT Sarana Steel, misalnya, masih merasa akan mampu bertahan dengan 10% di atas titik impas, dengan pasar 50% pada pemerintah dan 50% pada swasta. PT Semen Gresik, yang berstatus perusahaan negara, pun siap bermain kecil-kecilan. "Kami akan melayani konsumsi-konsumsi kecil juga," kata Kepala Niaga pesero tersebut, Pratioyo Tjondro. Selain itu, Juga tengah giat dilakukan efisiensi, termasuk mengubah proses produksi dari bahan bakar minyak ke batu bara. Eh, syukur-syukur, dengan cara itu harga bersaing di pasar luar negeri. Max Wangkar Laporan biro Jakarta, Medan dan Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini