Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ramai soal PHK massal karyawan di PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, perusahaan tekstil yang resmi menghentikan operasinya pada Sabtu, 1 Maret 2025 karena tidak bisa membayar utang atau pailit.
Dinas Ketenagakerjaan Jawa Tengah melaporkan bahwa kurator telah melaksanakan pemutusan hubungan kerja atau PHK massal terhadap 10.000 lebih karyawan di Sritex Group.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Januari 2025, PT Bitratex mengalami PHK sebanyak 1.065 pekerja. Kemudian, pada Februari 2025, PHK karyawan terjadi di beberapa perusahaan, yaitu PT Sritex Sukoharjo dengan 8.504 pekerja, PT Primayuda Boyolali sebanyak 956 pekerja, PT Sinar Pantja Djadja Semarang dengan 40 pekerja, dan PT Bitratex Semarang sebanyak 104 pekerja. Secara keseluruhan, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 10.965 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, sebelum perusahaan dinyatakan pailit, PT Sinar Pantja Djadja telah melakukan PHK massal terhadap 340 pekerja pada Agustus 2024.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengimbau BPJS Ketenagakerjaan untuk mencairkan klaim Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan bagi mantan karyawan Sritex selambat-lambatnya satu minggu sebelum Hari Raya Idul Fitri. Sebab menurutnya itu merupakan harapan bagi eks pekerja untuk menyambung hidupnya.
“Hal ini dikarenakan uang JHT adalah harapan satu-satunya untuk menyambung kebutuhan hidup. Apalagi situasi menjelang Hari Raya Idul Fitri tingkat kebutuhan naik,” kata Ristadi dalam keterangan tertulisnya, dikutip Tempo, Senin, 3 Maret 2025.
Adapun Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, menyatakan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan sembilan perusahaan untuk menampung kembali pekerja yang terdampak PHK dari Sritex.
"Sudah rapat dengan HRD perusahaan dan dinas, biar bisa ditampung. Catatannya usia tidak lebih dari 45 tahun," kata mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah tersebut pada Senin, 3 Maret 2025. Ia juga meminta agar jaminan hari tua dan jaminan pemutusan kerja bisa dibayarkan sebelum lebaran.
PHK di UU Cipta Kerja
Namun, sudahkah PHK yang dilakukan perusahaan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih akrab dikenal dengan Omnibus Law?
Pada pasal 151 ayat 2 UU Omnibus law menyebut jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindari, pengusaha wajib menyampaikan tujuan dan alasan PHK kepada pekerja/buruh serta/atau serikat pekerja/serikat buruh. Sedangkan, pada ayat 3 menyebut apabila pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh setelah diberitahu dan menolak PHK, maka penyelesaiannya wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
Jika perundingan bipartit sebagaimana disebutkan pada ayat 3 tidak mencapai kesepakatan, maka pemutusan hubungan kerja akan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Adapun tata cara PHK karyawan kemudian dikembalikan ke Peraturan Pemerintah, sesuai yang tercantum pada pasal 154A ayat 3. Pada pasal itu juga menyebut alasan sah terjadinya PHK, seperti Perusahaan berhenti beroperasi akibat mengalami kerugian secara berkelanjutan selama dua tahun dan perusahaan pailit seperti yang terjadi di Sritex.
Adil Al Hasan dan Jamal Abdun Nashr ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kisah Haru Perpisahan Karyawan Sritex, Lagu Kenangan Terindah pun Dinyanyikan