Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencegah Perang Di Tahun Macan

Konfrontasi laut utara dan OPEC menyebabkan harga minyak terus jatuh. Diduga akan merosot dibawah US$ 25. Sementara APBN didasarkan pada harga US$ 25 per barel. BBM didalam negeri tidak akan naik.

11 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH yang disebut Tahun Macan, tahun yang menurut hikayat Cina dtandai dengan perang, pertentangan, dan bencana. Bagi Indonesia, yang biasanya dianggap cukup stabil. semua pertanda buruk itu mudah-mudahan tak akan terjadi, kecuali, barangkali, kemungkinan pecahnya "perang harga" antara kelompok produsen minyak OPEC, yang sulit bersatu, dan kelompok penghasil minyak North Sea (Laut Utara) di bawah pimpinan Inggris. Tanda-tanda ke arah itu bukan tidak ada. Sebuah analisa yang dikeluarkan The Chase Manhattan Bank N.A. menaksir harga minyak di tahun 1986 akan berkisar antara 22 dan 24 dolar, tak lebih mahal dari itu. Ada juga yang meramal harga minyak bakalan jatuh menjadi 20 dolar, bahkan, bukan mustahil, akan serendah 18 dolar, kalau saja pecah konfrontasi antara kubu OPEC dan kekuatan di Laut Utara. Bisa dimengerti bila para perumus anggaran belanja negara dan pembangunan di Indonesia, sekali ini, tak mau bicara tentang harga minyak yang tinggi. Sekalipun dalam anggaran 1985--86 penerimaan dari minyak yang Rp 9,4 trilyun didasarkan pada harga ekspor minyak rata-rata 28 dolar, untuk tahun anggaran 1986-87 harga patokan itu turun banyak: 25 dolar per barel. Itu pula sebabnya, harga ekspor minyak, yang kabarnya akan didasarkan pada Rp 1.153 untuk satu dolar AS - naik 59,5 point dari perhitungan tahun anggaran 1985-86 - diharapkan bisa menghasilkan Rp 8,1 trilyun. Beberapa kalangan bisnis yang dihubungi TEMPO beranggapan, jumlah rupiah itu telah dinilai lebih (overvalued) terhadap dolar. Menurut perhitungan mereka, yang lebih realistis adalah angka Rp 1.200 untuk nilai lawan 1 dolar AS. Bisa jadi begitu. Tapi menurut Menko Ekuin Ali Wardhana, kendali terhadap rupiah, sejak adanya deregulasi perbankan 1983, sudah semakin kendur sekarang. Boleh dibilang, "telah sepenuhnya diambangkan di pasar," sambung Menteri Keuangan Radius Prawiro. Toh sementara orang masih waswas apakah Pajak Perseroan Minyak (PPM) yang Rp 8,1 trilyun akan bisa terkumpul di akhir tahun anggaran 1986-87. Bukan rupiah yang dinilai lebih yang mereka persoalkan. Tapi harga rata-rata ekspor minyak yang 25 dolar itulah yang rupanya menimbulkan rasa waswas. Bisakah ini dipertahankan? Suatu pertanyaan yang jawabnya mungkin baru bisa dilihat pada bulan Maret dan April, ketika musim dingin usai. Di situ baru akan ketahuan apakah minyak Brent andalan Inggris masih akan bertahan dengan 26 dolar, dan Indonesia masih akan menjual minyaknya rata-rata dengan US$ 27,50 per barel. Di situ pula bisa diperkirakan apakah suasana konfrontasi antara OPEC dan Laut Utara bisa dicairkan menjadi diplomasi. Tapi dari kubu OPEC sendiri, sampai tulisan ini turun Selasa sore lalu, belum ketahuan siasat apa yang akan mereka tempuh. Mestinya delapan menteri OPEC, termasuk Indonesia, sudah harus berkumpul di Jenewa pada pertengahan Januari ini,untuk mendiskusikan sikap apa yang akan mereka tempuh menghadapi bulan Maret nanti. Tapi rupanya timbul kesulitan untuk meminta para menteri OPEC itu duduk di satu meja. Menurut Menteri Pertambangan dan Energi Subroto - yang sudah "pensiun" sebagai Ketua OPEC, dan anggota tim pengawas harga minyak OPEC - pertemuan terbatas para menteri perminyakan OPEC tersebut baru akan berlangsung 3 Februari di Jenewa. Mudah-mudahan saja tidak terlambat. Sebab, dalam pertemuan penting itulah akan dibicarakan apakah OPEC akan terus mempertahankan kuota totalnya yang 16 juta barel, atau terpaksa tunduk pada kemauan Inggris dan Norwegia, yang berarti pnurunan kuota OPEC 7%-9%. Para menteri OPEC umumnya diduga akan menolak jika harus hidup dengan kuota yang lebih kurus. Pagi-pagi, selepas sidang reguler OPEC di Jenewa pertengahan Desember lalu, Menteri Perminyakan Arturo Hernandez Grisanti dari Venezuela sudah berteriak, "OPEC tak bisa diminta terus-terusan mundur dari pasaran. Kami tak akan membiarkan penghasilan kami terus berkurang." OPEC tentu saja tak rela jika sebagian dari sisa kuenya yang makin kecil diambil oleh kelompok Laut Utara yang, pelan tapi pasti, naik terus produksinya. OPEC dengan sendirinya ingin ikut ambil bagian jika permintaan minyak dunia benar akan meningkat dua-tiga tahun mendatang. Sulitnya, pihak Laut Utara tak bersedia diajak berunding. Suasana yang tak bersahabat ini, seperti kata seorang konsultan minyak, "masih dalam taraf pemanasan, ibarat orang main boksen." Akankah mereka saling pukul? "Kalau itu sampai terjadi, harga minyak bisa merosot sampai 20 dolar, atau bahkan di bawah itu," katanya. Suatu hal yang tak menguntungkan siapa pun - baik dia pengusaha minyak Inggris, Amerika, maupun dari kubu OPEC. Pertanda bahwa Inggris dirugikan agaknya sudah terlihat, di saat British National Oil Coy.--Pertaminanya Inggris--memutuskan untuk membanting harga Brent serendah 21 dolar sebarel beberapa saat setelah sidang OPEC di bulan Desember lalu. Ternyata, siasat banting harga itu cuma bertahan tiga hari, lalu diputuskan untuk dikatrol lagi menjadi 23 dolar, dan kemudian kembali bertengger pada posisi semula: 26 dolar sebarel sampai sekarang. Kalau misalnya harga minyak turun sampai 20 dolar, apakah pemerintah di Washington akan diam saja? Ada yang menduga pihak Kongres (parlemen AS) akan mendesak agar terhadap impor minyak ke negara itu dikenakan tarif khusus, kurang lebih sama dengan yang berlaku pada tekstil sekarang, demi melindungi industri minyak dalam negeri mereka. Peranan minyak Amerika, di samping Meksiko, masih besar, sekalipun tak menimbulkan masalah seperti dengan kelompok Laut Utara. Satu-satunya produsen AS yang kini paling berarti adalah Alaska. Dari negara bagian AS yang letaknya terpencil di Utara itu, setiap hari mengalir minyak antara 2,5 dan 3 juta barel. Produksi yang cukup besar itu banyak menolong produksi total AS, yang di sana-sini ada yang turun. Di tahun 1981, misalnya, produksi total minyak AS 8,1 juta barel sehari. Kini produksi total minyak di negeri Presiden Reagan itu masih saja mencapai sekitar 8,9 juta barel. Mudah dimengerti, peran minyak Alaska adalah untuk menutup kekurangan produksi yang terjadi di beberapa ladang minyak lain di AS. Dan Amerika sendiri, sampai sekarang, tak mengekspor hasil minyaknya. Malah, untuk menutupi kebutuhannya, mereka mendatangkan dari luar negeri, seperti dari Laut Utara, Afrika, dan juga Indonesia. Adalah minyak Meksiko yang merupakan andalan Amerika yang paling besar, dan paling dekat. Dan negeri yang belum lama ini dilanda gempa dahsyat itu merupakan produsen top non-OPEC yang lain di samping Amerika dan Laut Utara. Produksi minyak Meksiko naik banyak belakangan ini. Tapi anggota non-OPEC yang ini lebih bisa diajak bicara ketimbang Inggris. Mereka. sampai sekarang memenuhi janjinya tidak mengekspor lebih banyak dari 1,5 juta barel sehari. Ada yang menduga saling tuding yang terjadi sekarang antara kelompok Laut Utara dan OPEC tak akan berubah menjadi baku hantam. Tapi kalaupun perang harga bisa dihindari, sementara analis minyak setuju harga akan turun menjadi 22-24 dolar. Kalau benar demikian, apa jadinya dengan RAPBN kita yang barusan dibacakan oleh Presiden Soeharto? Perlukah direvisi lagi? Menurut Menteri Subroto, itu bisa saja, kalau memang harga turun. Tapi itu bukan satu-satunya jalan. Salah satu jalan untuk menutup kekurangan satu dolar misalnya kalau saja harga minyak Indonesia nanti turun menjadi 24 dolar - adalah produksi minyak itu sendiri. Menurut Menteri Subroto, produksi minyak Indonesia selama tahun anggaran 1986 - 87, rata-rata akan mencapai 1.329.000 barel sehari. Dari jumlah itu 500.000 barel disisihkan untuk kebutuhan di dalam negeri, sehingga yang disediakan untuk ekspor 829.000 barel. Jumlah ini sudah pasti bisa ditambah, mengingat kapasitas produksi minyak Indonesia berkisar antara 1,6 dan 1,7 juta barel sehari. Mengingat Subroto tak lagi Ketua O,PEC, dan kepentingan di dalam negeri semakin terasa membutuhkan perhatian yang lebih, bisa saja produksi yang 1,3 juta barel lebih itu ditambah lagi. Misalnya dengan seratus atau dua ratus ribu barel lagi. Jalan lain untuk berjaga-jaga terhadap harga minyak yang mungkin turun terpulang pada kebolehan departemennya Menteri Radius Prawiro mengotak-atik angka. Dalam tahun anggaran yang masih berjalan, misalnya, nilai lawan rupiah terhadap satu dolar ditentukan 1.093,5. Jadinya, ternyata Rp 1.112, sehingga ada kelebihan 18,5 point. Lalu kurs dolar yang sekarang lagi turun, Juga membantu perhitungan, mengingat mata uang itulah merupakan bagian terpenting dari sejumlah mata uang asing kuat lainnya, yang merupakan pegangan untuk perhitungan kurs rupiah. Lantas bagaimana dengan harga BBM di dalam negeri ? Ada yang khawatir harga bensin dan komponen BBM lainnya akan naik, melihat pos subsidi BBM dalam tahun anggaran yang akan datang dapat ditekan sekali, sebesar 73,3 persen, atau dari Rp 523,3 menjadi hanya Rp 142,4. Di tahun-tahun lalu, ketika jumlah total anggaran setiap tahun biasanya ditetapkan lebih besar dari sebelumnya pos subsidi BBM ini yang antara lain menjadi ukuran naik tidaknya harga bahan bakar minyak. Kini, menurut Menteri Radius Prawiro pengurangan itu tak berarti harga bensin akan naik lagi. "BBM di tahun 1986 tak akan naik," katanya. Ia mengharapkan hal tersebut bisa menjadi pegangan bagi kaum usahawan untuk menetapkan kalkulasinya secara lebih tenang. Turunnya subsidi minyak secara mencolok itu dimungkinkan karena harga minyak dunia yang memang menurun, sehingga minyak berat dari Arab Saudi yang diimpor ke Indonesia untuk diolah menjadi BBM juga bisa dibeli dengan lebih murah, di pasar spot. Selain itu, menurut Menteri Radius Prawiro, turunnya subsidi BBM disebabkan penghematan yang timbul karena sudah bekerjanya kilang-kilang minyak yang diperluas, seperti di Cilacap itu. Tentang seberapa jauh berfungsinya kilang-kilang minyak di Indonesia, orang agaknya masih bisa bicara panjang. Tapi yang pasti, jumlah anggaran yang turun dengan 7 persen atau sekitar Rp 1,6 trilyun, menunjukkan bahwa pemerintah kali ini lebih banyak menggunakan pertimbangan ekonomi - seperti kenyataan tentang pasaran minyak dunia yang semakin mendung - ketimbang pertimbangan yang sifatnya lebih politis. Ini, sedikit banyak, akan bisa mengerem pemerintah untuk menempuh tindakan yang membuat kaget orang di tengah jalannya anggaran baru nanti. Fikri Jufri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus