Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUNIEK tak ingat kapan harga elpiji pernah murah. Pemilik rumah makan di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, itu sudah lama mengeluarkan uang jutaan rupiah per minggu untuk membeli si api biru.
Lain cerita di negeri tetangga. Tengoklah Filipina. Pekan lalu, perusahaan minyak dan gas Pilipinas Shell Petroleum Corporation menurunkan harga elpijinya 11 persen. Harga elpiji dalam tabung ukuran 11 kilogram dibanderol 561 peso (Rp 112 ribu) dari semula 627 peso (Rp 125 ribu) atau turun 6 peso per kilogram. ”Harganya sebetulnya bisa turun hingga 7 peso per kilogram, bahkan lebih,” kata Menteri Energi Filipina Angelo Reyes, seperti dikutip Sunstar, Kamis pekan lalu.
Ini berkah dari harga elpiji dunia yang melorot, setelah Saudi Aramco (CP Aramco)—yang menjadi referensi harga internasional—menurunkan harga kontrak penjualan gasnya. Banderol gas propana, misalnya, kini US$ 490 (Rp 5,9 juta) per ton, anjlok 37,9 persen ketimbang Oktober. Harga gas butana juga turun 39,5 persen dari US$ 810 (Rp 9,7 juta) menjadi US$ 490 per ton. Penurunan harga ini mengikuti longsornya harga minyak dunia. Pekan lalu, harga minyak jenis light sweet jatuh sampai di bawah US$ 50 per barel.
Tapi lain ladang lain belalangnya. Pertamina—pemain terbesar di bisnis elpiji dalam negeri—memastikan tak bakal menurunkan harga elpijinya. Karena Pertamina tak menurunkan harga elpijinya, apalagi pemasok lain seperti My Gas. Ini karena, seperti diungkapkan Direktur Utama PT My Gas, Aditya Harimurti, sejak dua tahun lalu seluruh elpiji yang dijual perusahaannya berasal dari Pertamina. ”Otomatis harganya mengikuti harga agen Pertamina,” katanya.
Pertamina berkilah, dengan banderol sekarang—Rp 7.255 per kilogram untuk tabung ukuran 50 kilogram dan Rp 5.750 per kilogram untuk tabung 12 kilogram—perusahaan ini masih rugi. ”Kami rugi Rp 1.800 per kilogram,” ujar Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Faisal.
Saat ini, harga keekonomian elpiji Pertamina bertengger di Rp 8.000 per kilogram. Itu sudah termasuk eks kilang, pabrikasi, pemasaran, keuntungan agen, dan pajak pertambahan nilai sebesar 45 persen dari Aramco. ”Jadi, harga baru turun jika harga Aramco US$ 300 (Rp 3,6 juta) per ton,” ujar Wakil Presiden Gas Domestik Pertamina Wahyudin Akbar.
Kalkulasi Pertamina dibenarkan Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Saryono Hadiwidjoyo. Tapi, menurut pengamat energi Kurtubi, harga elpiji lokal mestinya otomatis turun 10-15 persen dari harga sekarang—jadi Rp 6.000-an per kilogram. Soalnya, bahan baku elpiji lokal dan impor sama. ”Proses pengolahannya pun tidak berbeda,” ujar Kurtubi.
Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Tjatur Sapto Edy, bahkan menuding Pertamina salah memencet kalkulator. Dengan komponen biaya alpha infrastruktur yang wajar sekitar 15 persen dari harga Aramco, harga keekonomian elpiji Pertamina seharusnya Rp 6.480. ”Pertamina ngawur kalau menyebut biaya lain-lain mencapai 45 persen,” katanya.
Toh, Tjatur mengakui minimnya infrastruktur gas ketimbang minyak memang menaikkan biaya ekonomi bisnis elpiji. ”Tangki penampung elpiji hanya di Balongan dan Plumpang. Tangki ini sering kali overload. Stasiun pengangkutan dan pengisian bulk elpiji juga kurang,” ujarnya.
Celakanya, adanya pemain baru dengan infrastruktur yang lebih andal di bisnis ini sulit diharapkan. Petronas, misalnya, belum berani menjual elpiji di Indonesia karena harus ”melawan” Pertamina, yang memiliki jaringan sangat luas. ”Open access juga tidak bakal jalan karena Pertamina tidak akan mau barangnya diutak-atik,” ujar Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas, Mohamad Nur Adib. Apa boleh buat, harga elpiji baru turun di negeri tetangga.
R.R. Ariyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo