Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pertemuan G-20</B></font><BR />Hanya Penjelmaan IMF

Pertemuan G-20 memberikan mandat reformasi IMF dan Bank Dunia. Kuota suara Eropa digugat. Jepang dan Cina berpotensi naik.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERMACAM menu istimewa dihidangkan apik di meja makan di Gedung Putih, Amerika Serikat, Jumat dua pekan lalu. Tuan rumah, Presiden George Walker Bush, tengah menjamu para kepala negara maju, negara berkembang, plus petinggi empat lembaga internasional. Santap malam tersebut mengawali pembukaan konferensi tingkat tinggi G-20 yang berlangsung dua hari.

Perdana Menteri Jepang Taro Aso menyampaikan kabar menarik malam itu. Pemerintah Negeri Sakura siap menggelontorkan US$ 100 miliar untuk memperkuat modal Dana Moneter Internasional (IMF). ”Untuk menangani krisis keuangan, kami harus membuat peran IMF layak untuk sebuah era baru,” kata dia, seperti dikutip The Straits Times.

Kocek IMF memang sedang tipis. Dengan cadangan yang bisa dipinjamkan hanya US$ 210 miliar, diperkirakan sulit bagi lembaga itu untuk menangani krisis keuangan global yang menguapkan US$ 960-an miliar. ”Dokter krisis” yang pernah merawat Indonesia itu kini memiliki pasien antara lain Hungaria, Ukraina, dan Islandia. Mereka mendapat kucuran utang masing-masing US$ 15,7 miliar, US$ 16,5 miliar, dan US$ 2,1 miliar.

Cekaknya modal IMF tak lepas dari kebijakan beberapa negara yang mempercepat pembayaran utang dan menyusutnya jumlah negara peminjam. Indonesia salah satunya, yang melunasi US$ 3,2 miliar sisa utang pada Oktober 2006. Hal serupa dilakukan Thailand, Argentina, Brasil, dan Uruguay.

Kebijakan itu berdampak pada penerimaan bunga pinjaman lembaga keuangan multilateral tersebut, yang merosot drastis dari US$ 3,19 miliar pada 2003 menjadi US$ 1,39 miliar pada 2006. Akibatnya, terjadi defisit keuangan yang diperkirakan mencapai US$ 88 juta pada 2006.

Maka, G-20 berniat meninjau kembali kecukupan dana IMF, juga Bank Dunia. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown meminta negara yang memiliki cadangan devisa besar, seperti Cina, Jepang, dan Arab Saudi, menambah dana di lembaga multilateral itu. Namun sejumlah negara berkembang enggan menambah kontribusi jika IMF tak menjelaskan secara transparan cara kerjanya.

Rencananya, Jepang akan mengambil dana dari Foreign Exchange Fund Special Account negara tersebut. Tidak hanya kepada IMF, Jepang juga akan berinvestasi sekitar US$ 2 miliar di Bank Dunia. Dana tersebut akan dipakai untuk menyuntikkan modal ke bank-bank di negara berkembang. Ini adalah kontribusi pertama negara ini di Bank Dunia, yang akan direalisasikan melalui Japan Bank for International Corporation.

Menyuplai duit sebesar itu adalah perkara mudah bagi mereka. Cadangan devisa yang mencapai US$ 980 miliar menempatkan Negeri Matahari Terbit sebagai negara berkantong tebal kedua di dunia setelah Cina. Negeri Panda mengukuhkan diri sebagai pemegang cadangan devisa terbesar, yakni US$ 1,9 triliun, per September 2008.

l l l

Reformasi IMF sekaligus memperkuat pendanaannya merupakan salah satu hasil pertemuan G-20. Selain soal itu, ada 46 butir tindakan yang dituangkan dalam sebuah dokumen. Pendanaan itu akan digunakan untuk membantu negara berkembang. Untuk jangka menengah, yang mesti dilakukan antara lain mereformasi IMF dan Bank Dunia secara menyeluruh. Negara berkembang juga harus diberi hak suara yang lebih besar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan koreksi yang tajam atas hak suara negara berkembang. Sehingga keputusan lebih adil di antara ekonomi dunia tidak lagi didominasi Amerika dan Eropa. Validitas hak veto negara tertentu—Amerika Serikat, misalnya, yang memegang 16,73 persen suara—patut dipertanyakan pada era kini. ”Selama ini, kalau AS bilang tidak, ya pasti tidak akan bisa karena persentase suaranya yang besar.”

Sri Mulyani menambahkan, dalam pertemuan G-20 kemarin tergambar bahwa format IMF yang ada sekarang mandek. Artinya, warisan Konferensi Bretton Woods yang menghasilkan IMF dan Bank Dunia tidak lagi mencerminkan konstelasi pelaku ekonomi dunia saat ini. ”Makanya forum G-20 menjadi alternatif,” kata Menteri Sri Mulyani pekan lalu.

Bretton Woods adalah kota kecil di Negara Bagian New Hampshire, Amerika Serikat, di dekat White Mountain National Forest. Di Hotel Mount Washington, 730 delegasi dari 44 negara Sekutu pada Juli 1944 menggelar konferensi, mencari obat krisis dunia yang diawali pada 1920 sampai 1930-an. Hasilnya, kesepakatan tentang aturan, institusi, dan prosedur sistem moneter internasional. Lantas, lahirlah Bank Dunia dan IMF.

Agenda reformasi IMF sejatinya telah didengungkan sejak pertemuan di Singapura pada September 2006. Saat itu para petinggi IMF mengumumkan paket reformasi, terutama untuk empat negara yang merasa kurang terwakili padahal memiliki kekuatan ekonomi yang besar. Reformasi juga akan meningkatkan partisipasi dan suara negara berpenghasilan rendah di IMF.

Dengan rencana ini, Cina akan naik hak suaranya dari 2,94 menjadi 3,81 persen. Korea Selatan dari 0,76 menjadi 1,36 persen, Meksiko dari 1,2 persen menjadi 1,47 persen, India naik menjadi 2,34 persen, Brasil menjadi 1,72 persen. Indonesia sendiri memiliki kuota 0,97 persen. Ketua Komite IMF Gordon Brown, saat itu, berharap persoalan ini akan kelar sebelum pertemuan di Washington pada 2008.

Nyatanya, hingga pertemuan Washington berakhir, masalah kuota suara masih mengganjal. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan, persoalan ketidakberpihakan IMF dan Bank Dunia terhadap negara berkembang mutlak diperjuangkan. Saat ini komite reformasi tengah menghitung formula untuk menentukan persentase suara.

Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan sepakat, kuota suara Eropa dan Amerika harus dirombak. Apalagi, kata Aviliani, ekonom Institute for Development of Economics and Finance, pada saat negara maju kolaps terserang krisis, Asia memberikan pertumbuhan bagi dunia, terutama sektor riil. Asia juga mempunyai keyakinan yang sama bahwa pertumbuhan akan terus meningkat.

Tak bisa dimungkiri, Cina dan India merupakan dua negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia. Sudah sewajarnya jika mereka mendapat hak suara lebih besar. Begitu pula Jepang, yang selama ini menjadi donatur kedua terbesar IMF setelah Amerika Serikat. Bukan tidak mungkin, setelah krisis finansial global ini, posisi Jepang akan berada di urutan pertama.

Kendati begitu, jika disetujui, toh suara Jepang hanya akan naik 0,12 persen menjadi 6,23 persen, sedangkan Amerika hanya berkurang 0,3 menjadi 16,73 persen. Eropa, meskipun perekonomiannya terus menyusut, toh masih punya suara yang besar. Apalagi setelah mereka bergabung menjadi Uni Eropa.

Kini, setelah krisis finansial memporak-porandakan banyak institusi keuangan di Amerika dan Eropa, mestinya reformasi IMF menjadi sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi. Jepang menjadi salah satu contoh. Pada saat semua negara maju tiarap dan sibuk mengurus dirinya sendiri, Jepang justru bersedia menyuntikkan US$ 100 miliar. Di sinilah peran Group 20 layak dipertanyakan. Jika G-20 hanya menjadi bentuk lain dari IMF, pertemuan Washington boleh jadi tidak ada gunanya.

Retno Sulistyowati, Ismi Wahid, Gunanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus