Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tsunami di Situ Gintung

Tanggul tua itu jebol, air bah bergulung-gulung. Cuma tersisa sebuah masjid.­

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINI HARI Jumat itu, gelap masih mendekap Kampung Gintung di sekitar kawasan Situ Gintung di Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, Banten. Wawan Sopandi, 50 tahun, belum juga memejamkan mata. Padahal istri, dua anak perempuan, dan menantunya sudah lelap diayun mimpi.

Dia gelisah: hujan deras melanda perkampungan itu sejak Kamis sore hingga menjelang tengah malam. Bahkan, ”Malam sebelumnya sudah banjir, airnya selutut,” kata Wawan.

Ketika azan subuh berkumandang, Wawan mendengar pekik minta tolong dari arah permukiman dekat tanggul Situ Gintung. Menyangka ada yang kemalingan, Wawan membuka kunci pintu rumahnya. Tapi, pada putaran terakhir kunci itu, air bergulung-gulung menyerbu rumah.

Tanggul Situ Gintung sebelah utara jebol sekitar pukul 04.30. Air tumpah berkubah-kubah, melibas permukiman di bagian bawah tanggul. Menurut pengakuan penduduk, air danau setinggi enam meter itu menyeret pohon dan bangunan sekitar 1,5 kilometer ke arah Sungai Cireundeu dan Sungai Pesanggrahan.

Hingga Sabtu sore, jumlah korban tewas 82 orang. Mereka dievakuasi ke dua kampus terdekat, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta Rumah Sakit Fatmawati. Seratusan orang masih dinyatakan hilang.

Sekitar 250 bangunan diperkirakan binasa. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menyatakan pemerintah akan memberikan bantuan tunai Rp 5 juta hingga Rp 30 juta kepada para korban.

Banjir itu menghanyutkan Wawan sekeluarga, bahkan sempat memburaikan mereka. Wawan berkali-kali mencoba meraih apa saja, dari pohon nangka hingga pohon kelapa. Setelah terseret sekitar 400 meter, dia akhirnya bertahan di atap sebuah taman kanak-kanak. Selama dua jam, Wawan bersama dua anaknya di atap itu. ”Jam tujuh pagi air mulai surut, barulah kami bisa turun,” katanya.

Rumah Wawan rata tanah. Tak ada harta yang tersisa, kecuali sepeda motor Kymco kuning yang dapat diselamatkan tim SAR. Seluruh keluarganya selamat, kecuali Agus, menantunya, yang ditemukan tersangkut di reruntuhan bangunan—tewas.

Permukiman di sepanjang kurang-lebih 1,5 kilometer aliran sungai itu nyaris habis. Pohon bertumbangan. Berbagai benda berserakan, termasuk mobil dan komputer.

”Tidak ada peringatan sebelumnya kalau tanggul di sana jebol,” kata Wawan. ”Air mengalir sangat cepat menuju sungai.” Permukiman yang berada di dekat tanggul agaknya sedikit-banyak tertolong karena informasi lebih cepat. Supriyanto, 30 tahun, warga Kelurahan Ciputat Timur, menyaksikan bagaimana tanggul itu mulai jebol ketika dia sedang asyik memancing bersama tiga rekannya di dekat bibir tanggul.

Ketika air danau mulai meluber dan menggerus batu-batu penyangga dinding tanggul, dia segera memperingatkan warga. ”Kepada warga di bawah, harap naik ke atas!” ia berteriak ke arah perkampungan penduduk yang terletak sekitar sepuluh meter di bawah.

Sekitar 50 keluarga di sana segera mengungsi ke tempat lebih tinggi. Ketika tanggul akhirnya jebol, Supriyanto melihat semua rumah lenyap. Hanya kubah Masjid Jabalul Rohmah yang tampak: tingginya sepuluh meter.

Kepala Balai Besar Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio menuturkan Situ Gintung sebenarnya bendungan kecil yang dibangun Belanda pada 1933 untuk irigasi. Bendungan seluas 21 hektare itu memiliki satu lubang pelimpah air selebar lima meter dan pintu air kecil. ”Pintunya kecil dan sekarang sudah tidak ada irigasinya karena sudah jadi rumah penduduk,” katanya.

Menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, saluran limpasan air itu memang tidak dirancang untuk perilaku banjir yang tak normal atau tak terduga. Ketika hujan lebat dan bendungan berkapasitas sekitar 1,5 juta kubik air itu tak mampu menampungnya, air luber dan menjebol dinding bendungan. ”Begitu jebol, air dan lumpur menggelontor kampung, yang jadinya seperti tsunami,” ujar Djoko. Dia membantah kabar bendungan itu sudah rusak. ”Kalau dari segi hidrolis, belum,” katanya.

Namun penduduk setempat mengklaim bendungan itu sudah lama rusak. Mulyadi, warga Kelurahan Cireundeu, menyatakan dua tahun lalu penduduk telah melapor ke Dinas Tata Air, yang kantornya tak jauh dari lokasi tanggul, bahwa bagian bawah pintu air tergerus air danau.

”Sampai sekarang laporan itu tidak pernah direspons,” ujar Mulyadi, yang kehilangan tiga rumahnya yang hanya berjarak dua meter dari bibir tanggul.

Kurniawan, Ismi Wahid, Riky Ferdianto, Dian Yuliastuti, Ninin Damayanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus