Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wangi Indriya hampir tak bisa menjawab pertanyaan anak didiknya setelah berlatih tari topeng di Sanggar Mulya Bhakti, Indramayu, Ahad pekan lalu. Murid yang sebagian besar masih duduk di sekolah dasar itu menagih rencana pentas keliling desa—seharusnya April lalu. Wangi akhirnya menyampaikan jawaban yang sudah disimpannya, "Ibu belum ada donatur."
Sejak awal tahun, wanita yang tahun ini genap 50 tahun itu menyiapkan beberapa pementasan sebagai iming-iming kepada 40-an muridnya agar rajin berlatih. Hanya yang rajin yang akan diajak. Maklum, jumlahnya berkurang terus setiap tahun. Dua tahun lalu, sanggar yang didirikan 29 tahun lalu itu masih mengajar lebih dari seratus siswa.
Rencana pentas keliling desa akan dilakukan dalam hajatan mapag sri, pesta rakyat menyambut musim panen, yang di Indramayu biasanya digelar sekitar April-Mei. Ada juga rencana mengunjungi sekaligus menari di Keraton Kasepuhan, Cirebon, dan Astana Gunung Jati, kompleks makam Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati. "Agar mereka mengenal sejarah dan tradisi daerahnya, karena kondisinya kini sangat memprihatinkan," kata Wangi, Kamis pekan lalu.
Tapi, apa daya, dana tiada. Wangi, yang biasa merogoh kocek pribadi untuk kelangsungan sanggarnya, tak mampu menanggung biaya pementasan, meliputi transportasi, konsumsi, dan honor seadanya bagi pengiring musik. Duit Rp 7.000 yang disetorkan murid-muridnya setiap pertemuan juga tak tersisa karena selalu habis untuk honor enam pengajar.
Niat meminta sumbangan kepada orang tua murid pun urung karena, setelah dikalkulasi, diperlukan sumbangan dari setiap wali murid sebesar Rp 100 ribu untuk setiap pementasan. "Itu besar sekali nilainya bagi masyarakat di sini," kata Wangi.
Sebetulnya ada satu sumber dana yang bisa digali: sumbangan dari perorangan dan perusahaan yang memiliki dana berlebih. Tapi Wangi kapok. Beberapa kali permohonan bantuan ke beberapa perusahaan ditolak. "Saya sudah malas meminta."
Public Interest Riset and Advocacy Center (PIRAC), organisasi nirlaba di bidang filantropi, yakin masalah di Sanggar Mulya Bhakti juga dialami ribuan seniman individual ataupun berkelompok di Indonesia. Kegiatan seni dan budaya belum menarik perhatian penyokong dana individu, lembaga amal, ataupun swasta.
Terasa ironis karena kinerja korporasi di Indonesia kini sedang moncer-moncernya. Di Bursa Efek Jakarta saja, 400 lebih perusahaan dengan kapitalisasi pasar lebih dari Rp 2.400 triliun wajib menyisihkan sebagian pendapatannya sebagai pertanggungjawaban sosial (corporate social responsibility).
Perusahaan-perusahaan milik negara juga menyisihkan dana serupa dari laba untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), dana pembinaan usaha kecil-menengah dan pemberdayaan masyarakat. Tahun lalu PKBL mencapai Rp 17,7 triliun, dan tahun ini ditargetkan Rp 18,4 triliun. "Sebetulnya dana yang bisa digali dari swasta dalam negeri sangat besar," kata Koordinator Pengembangan Kapasitas PIRAC Hamid Abidin.
Masalahnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia belum bisa membedakan sumbangan dengan sponsor untuk kegiatan promosi. Akibatnya, dana bantuan hanya dikucurkan dengan berbagai syarat, misalnya karya seni yang dibantu harus bisa menarik banyak pengunjung.
Model seperti ini tak akan bisa diakses pekerja-pekerja seni dan budaya yang memfokuskan kegiatannya pada pembinaan dan pelestarian. Apalagi jika kelompok seni itu tak terkenal. "Pengusaha selalu saja mencari imbalan," kata Hamid.
Kabar baik datang akhir tahun lalu. Pemerintah menetapkan sumbangan dana penelitian, pengembangan, serta program pendidikan bidang seni dan budaya nasional bisa menjadi pengurang pajak (tax deduction). Artinya, seseorang atau badan hukum boleh mengurangi penghasilannya sebesar sumbangan dana bidang seni dan budaya yang digelontorkannya sebelum dipotong pajak.
Beleid baru berupa Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 ini merupakan turunan Undang-Undang Pajak Penghasilan 2008. Sejak undang-undang itu keluar, beberapa seniman dan budayawan, bersama PIRAC dan Yayasan Kelola—lembaga nirlaba di bidang pembiayaan kesenian—aktif melobi pemerintah, terutama Kementerian Keuangan.
Undang-undang itu sama sekali tak menyebutkan bidang seni dan budaya yang bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak. "Dengan diberikannya insentif seperti itu, kami berharap swasta dalam negeri lebih mudah mengucurkan dana untuk seni dan budaya," kata Ketua Yayasan Kelola Linda Hoemar Abidin.
Awal April lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga menandatangani peraturan Menteri Keuangan tentang tata cara pelaporan sumbangan yang bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Sumbangan yang bisa diklaim kepada Direktorat Jenderal Pajak maksimal hanya lima persen dari penghasilan bersih donatur.
Lembaga penerimanya harus memiliki nomor pokok wajib pajak, dan tak boleh mempunyai hubungan istimewa dengan penyumbang. "Harus kami pagari agar tak terjadi penyalahgunaan," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, Kamis pekan lalu.
Meski demikian, kalangan seniman dan budayawan tak boleh cepat puas diri. Masih banyak celah aturan yang bisa menimbulkan persoalan. Sumbangan penelitian dan pengembangan yang bisa dijadikan pengurang pajak, misalnya, adalah yang diberikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan.
Begitu pula dengan sumbangan pendidikan, yang disampaikan melalui lembaga pendidikan yang terdaftar pada dinas pendidikan atau perguruan tinggi terakreditasi. Padahal sebagian besar seniman atau kelompok seni masih berupa paguyuban.
Ancaman lainnya berupa pelanggaran perpajakan bermotif mengurangi penghasilan yang akan dipajaki. Bisa saja sebuah perusahaan mengklaim menyumbang kegiatan seni dan budaya dengan beraneka ragam manipulasi dokumen, misalnya penerima dana adalah kelompok seni fiktif atau besaran sumbangan lebih kecil dari yang diklaim. "Karena itu, harus dibuat model penyalurannya," kata budayawan Taufik Rahzen, yang beberapa tahun terakhir mempelajari model-model pembiayaan seni dan budaya.
Amerika Serikat, misalnya, juga mendukung masyarakat seni dan budaya dengan tax deduction. Sumbangan dari perorangan ataupun swasta harus disetorkan ke lembaga kesenian yang teregistrasi asosiasi masing-masing jenis kesenian. Ada juga badan kesenian, National Endowment of Arts, yang menyokong pembiayaan misi seni dan budaya.
Dukungan pembiayaan serupa juga dilakukan pemerintah Singapura, Korea Selatan, Australia, dan negara-negara Eropa. Banyak pula negara yang mengecualikan kegiatan seni dan budaya yang nirlaba dari pungutan pajak.
Di Indonesia, yayasan-yayasan penggelar pertunjukan kesenian masih dipotong pajak lewat pajak tontonan, yang besarnya bergantung pada daerah. "Padahal pendapatan dari tiket saja tak akan pernah bisa menutup biaya operasional," kata Manajer Pemasaran Komunitas Salihara Rama Thaharani. Dia berharap kegiatan seni dan budaya yang menjadi muara industri kreatif ini bisa dibebaskan dari pajak (tax exemption).
Fuad siap menampung masukan untuk memperbaiki kebijakan perpajakan yang bisa mendukung lancarnya pembiayaan seni dan budaya. "Ini baru tahap awal," katanya. Toh, orang seperti Wangi tak ambil pusing. Meski ikut gembira dengan kebijakan baru, wanita yang sudah menari di banyak negara ini tak banyak berharap. "Kalaupun tidak ada dana, saya akan tetap mengajar," katanya.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo