Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KODRADI, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara, akhirnya meluap. ”Justru dari kalian saya baru tahu,” katanya dengan nada tinggi, Jumat 5 Oktober lalu. Rupanya perkara yang mengganggu Kodradi sangat serius: rencana pemerintah menjual bank yang dipimpinnya. Ia kesal lantaran tidak diajak be rembuk oleh Menteri Negara BUMN Sof yan Djalil. Kodradi tak menyangka pe merintah mau melepas bank yang sela ma ini menjadi tumpuan harapan rakyat kecil akan kredit rumah sederhana ini.
Yang ia tahu, rapat pemegang saham BTN beberapa waktu lalu sepakat melun curkan BTN ke lantai bursa. Seluruh saham BTN dimiliki pemerintah. Tak ada pembicaraan menjual BTN ketika itu. Perseroan akan menawarkan saham perdana ke publik alias initial public offering. Revaluasi aset pun sudah dilakukan.
Dari aksi itu, BTN berharap bisa menyedot Rp 600 miliar. Ini akan mendongkrak pundi BTN dari Rp 1,9 triliun sekarang menjadi Rp 2,5 triliun. Tapi angan-angan itu kandas setelah Pak Menteri BUMN melontarkan niatnya menjual kepemilikan saham pemerintah.
Menurut Sofyan, ada persoalan mismatch atau ketimpangan di BTN. Sumber dana bank bersifat jangka pendek, seperti tabungan dan deposito, dipakai untuk membiayai kredit perumahan yang jangka waktunya bisa 10-20 tahun. Persoalan modal itu tak bisa diatasi pemerintah dengan cara menginjeksikan dana segar.
Padahal, sejumlah bank swasta maupun bank BUMN sedang bertempur di lahan bisnis yang sama. Bila kondisinya terus seperti ini, Sofyan Djalil khawatir pangsa pasar BTN kian tergerus. Karenanya pemerintah harus mengambil tindakan penyelamatan.
Ia pun membuka opsi pengambilalihan atau penggabungan dengan bank pelat merah lain seperti BNI dan BRI. ”Bisa di-take over atau di-share swap, diambil alih menjadi subsidiari atau dikonsolidasikan. Tapi paling rasio nal dijadikan subsidiari,” kata Sofyan Djalil, akhir bulan lalu.
Alasannya, masuk lantai bursa belum tentu memecahkan masalah lantaran nilainya yang kecil. Maka ia memutuskan menunda go public sambil menunggu perkembangan ekonomi. Belakangan Menteri Sofyan melempar alternatif lain. Ia ingin melibatkan BUMN nonbank, misalnya PT Taspen dan PT Jamsostek. Kedua perusahaan yang menghimpun dana jangka panjang itu dinilai cocok dengan pola pembiayaan BTN.
Tentu saja Kodradi mencak-mencak. Kalau alasannya ketimpangan, kata dia, semua bank juga mengalaminya. ”Gimana nggak mismatch, sumber duitnya hanya dari deposito, tabungan, dan giro,” ujarnya. Tapi, kalau memang harus memilih, ia cenderung BTN dipinang BUMN nonbank.
Toh bukan hanya Kodradi yang belum diajak berembuk oleh Pak Menteri. Direksi sejumlah BUMN yang disebutkan pun hanya melongo ketika dimintai konfirmasi. Direktur Utama PT BRI (Persero), Sofyan Basir, misalnya, yang mengaku belum menerima tawaran resmi ataupun tidak resmi untuk mengakuisisi BTN. ”Aku nggak berani jawab,” kata Sofyan Basir, ketika ditanya kesediaan banknya mengambil alih BTN kalau diminta pemerintah.
Menurut Sofyan Basir, BTN masih memikat untuk diambil alih atau digandeng sebagai mitra. BTN dianggap memiliki produk yang spesifik, yakni kredit perumahan rakyat. Kredit jenis ini dinilai aman bagi perbankan karena risikonya relatif lebih kecil.
Seandainya BRI mengakuisisi BTN, Sofyan Basir menambahkan, itu menjadikan produk banknya lebih komplet. BRI sebenarnya juga memiliki kredit perumahan, tapi itu termasuk dalam kredit konsumsi. Soal kesiapan duit untuk ambil alih, ia tak ragu. Di kantong BRI saat ini tersedia ekuitas Rp 18,3 triliun dengan rasio kecukupan modal (CAR) 18,4 persen. ”Masih banyak ruang untuk bergerak,” ujarnya optimistis.
Direktur Utama PT BNI Tbk. Sigit Pramono semula malah pilih menghindar. ”Saya tidak mau masuk ke polemik kontroversial itu,” katanya.
Tapi Sigit mengatakan tak akan menampik bila pemerintah meminta BNI beraksi. Sebab, menurut Sigit, sejak dua tahun lalu BNI sudah mengajukan rencana serupa dengan sejumlah pertimbangan detail.
Pada Agustus 2005, Sugiharto, Menteri Negara BUMN sebelum Sofyan Djalil, memastikan rencana akuisisi BTN oleh BNI. Malah, BNI telah melakukan uji tuntas (due diligence) dan menyampaikan presentasi ke Bank Indonesia. ”Diusahakan merger tetap tahun ini,” kata Sugiharto yakin ketika itu. Menteri berganti, kebijakan baru pun diambil.
Menteri baru melirik juga kemungkinan BTN bergandengan dengan BUMN nonbank. Namun PT Jamsostek, umpamanya, memilih berhati-hati melangkah. Direktur Utama Hot Bonar Sinaga punya sejumlah pertimbangan. Selain riskan, bisnis bank tidak se suai dengan bisnis inti Jamsostek secara komersial.
Penyertaan secara langsung alias menjadi pemegang saham pun dikhawatirkan melampaui batas kas perusahaan. ”Bisa-bisa direksi kena semprit karena melanggar aturan investasi,” ujar Hot Bonar. Aturan itu memberikan batas, Jamsostek hanya boleh membeli lima persen dari total investasi untuk satu emiten yang terdaftar di bursa. Pembelian keseluruhan tidak boleh lebih dari 50 persen dari total investasi. Maka Jamsostek tidak akan mengambil langkah akuisisi. Bila harus masuk BTN, Hot Bonar menjelaskan langkah itu mungkin dilakukan bila BTN masuk bursa saham. Itu pun dengan pembelian sangat terbatas.
Pengamat perbankan Fauzi Ihsan menilai rencana penjualan BTN itu untuk menambal anggaran pemerintah. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008 mencapai Rp 75 triliun dan tak bisa ditutup melalui pinjaman luar negeri. Menerbitkan surat utang negara tak mudah karena pemerintah harus mematok bunga lebih tinggi ketimbang utang dolar. Pilihan terakhir adalah privatisasi. ”Alasan mismatch di BTN itu tidak ada relevansinya,” kata dia. Namun Fauzi yakin, privatisasi bagus untuk masa depan BTN. Dengan masuknya investor swasta, pengelolaan bank itu akan lebih profesional dan transparan.
Keinginan pemerintah untuk menga winkan BTN dengan sesama BUMN, menurut Fauzi, bisa dimaklumi. Asalkan BUMN yang digandeng lebih sehat. BRI, misalnya, punya alasan kuat untuk mengambil alih BTN, yakni untuk melengkapi produk perbankannya. Bank BUMN lain mungkin saja berhasil menggaet BTN, bila lobi tingkat atas bisa digalang.
Yang paling pas, menurut Fauzi, pemerintah melepas sahamnya di BTN melalui lantai bursa. Selain memberi angin segar pada bursa, publik berkesempatan memiliki saham BTN.
Cara itu lebih menarik dibanding menjual ke investor strategis—yang biasanya prosesnya tak bebas dari tekanan politik dan lobi. ”Unsur ketidaktransparanannya bisa tinggi,” kata Fauzi. Namun divestasi kepada investor strategis perlu tetap terbuka sepanjang prosesnya terang-benderang. Artinya, kriteria pemenang harus jelas, termasuk harga dan rencana bisnis serta rekam jejak investor dalam bisnisnya, demikian Fauzi.
Proses tertutup di masa lalu, yang banyak melahirkan kampiun korupsi, harusnya sudah berakhir.
Retno Sulistyowati, Agoeng Wijaya, Sahala Lumbanraja
Kinerja Keuangan BTN (per Agustus 2007) | |
Total aktiva | Rp 33,368 triliun |
Total kredit | Rp 20,292 triliun |
Total dana pihak ketiga | Rp 21,873 triliun |
Rasio kecukupan modal (CAR) | 18,10% |
Kredit seret (NPL) netto | 3,19% |
Pelampauan BMPK | 0,00% |
Sumber: BTN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo