Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gonjang-ganjing harga minyak mentah dunia rupanya belum juga berakhir. Pada perdagangan Kamis lalu, harga minyak untuk pengiriman November di New York Mercantile Exchange sempat melewati US$ 90 per barel, sebelum akhirnya ditutup pada US$ 89,49 per barel. Ini harga tertinggi sejak minyak mentah diperdagangkan di bursa berjangka itu mulai 1983.
Lonjakan harga ini terjadi karena pasar khawatir tentara Turki akan menyerang balik kelompok separatis Kurdi. Sepekan sebelum Lebaran, kaum militan Kurdi yang bermarkas di perbatasan Irak bagian utara menyerang pasukan Turki. Akibatnya, 13 tentara Turki tewas. Pasar khawatir serangan Turki akan mengganggu produksi minyak Irak. Negara itu merupakan produsen minyak terbesar ketiga dunia setelah Arab Saudi dan Iran.
Tak hanya itu. Melemahnya nilai tukar dolar juga membuat sebagian pemilik uang melirik minyak mentah sebagai salah satu alternatif investasi. Maklumlah, dalam dua pekan terakhir, harga minyak mentah dunia sudah naik 13 persen. Jika dibandingkan dengan kondisi 2002, harga minyak dunia malah sudah naik empat kali lipat. Menurut para analis, investor beralih ke minyak untuk menutup kerugian akibat melemahnya dolar.
Banyak pihak berharap kenaikan harga minyak ini tidak akan berlanjut. Juru bicara Gedung Putih, Tony Fratto, misalnya, mengatakan bahwa Presiden Bush berharap harga minyak bisa lebih rendah dari US$ 90 per barel. Begitu pula kalangan industri yang mengkhawatirkan tingginya harga minyak akan membuat biaya produksi meningkat dan, ujung-ujungnya, akan mengakibatkan inflasi juga meningkat.
Para analis pun berharap kenaikan harga minyak kali ini tidak akan berumur panjang karena penyebabnya bukan bersifat fundamental. Kendati permintaan naik, produsen minyak masih mampu memasok hingga 85,7 juta barel per hari. ”Dari sisi fundamental, pasar sudah berimbang,” kata Gubernur Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk Indonesia, Maizar Rahman. Analis Oil Price Information Service, Tom Kloza, sepakat bahwa kenaikan kali ini tidak ada sangkut pautnya dengan pasar, tapi lebih karena penyebab yang tak masuk akal.
Masalahnya, kenaikan harga saat ini sulit diprediksi. Bahkan para analis tampaknya lebih cenderung memperkirakan harga akan naik lebih tinggi lagi. Kloza, misalnya, memperkirakan harga bisa menyentuh US$ 100 per barel. ”Dengan banyaknya investasi di sektor energi dan terus melemahnya dolar, level itu bisa tercapai,” katanya. Konsultan energi Stephen Schork juga memprediksi harga minyak bisa melewati US$ 90 per barel. ”Kita sudah sangat dekat ke level US$ 100,” ujar Schork.
Fundamental atau bukan, tak bisa dipungkiri bahwa rentang antara pasokan dan permintaan pasar minyak dunia memang tipis. Konsumsi terus meningkat, sementara pasokan acap terganggu. Tiga negara kini menjadi ”peminum” bahan bakar minyak terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat, Cina, dan India. Amerika membutuhkan 20 juta barel per hari. Pertumbuhan permintaan minyak Cina dan India kini 7,5 persen dan 5,5 persen, jauh lebih tinggi dari negara-negara industri yang hanya 1 persen.
Di sisi pasokan, gangguan datang silih berganti. Jika bukan faktor geopolitik, cuaca bisa menjadi ganjalan. Faktor geopolitik pun merentang jauh dari Nigeria hingga Venezuela. Ada ketegangan antara Turki dan Kurdi, Iran dan Amerika Serikat, juga ketegangan di dalam negeri seperti di Irak dan Nigeria. Di antara itu, badai juga mengancam Amerika dan Meksiko. ”Begitu berbagai faktor tadi muncul, harga langsung melonjak,” katanya.
Kini, masalah lain muncul. Melemahnya dolar pun ternyata bisa memicu kenaikan harga minyak. Jika kondisinya terus seperti sekarang, harga US$ 100 per barel memang hanya soal waktu.
MTQ, Grace S Gandhi, Gunanto E.S. (Bloomberg, BusinessWeek, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo