Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat pria berseragam dan bertopi biru tetap awas memantau dua mesin pembuat dan penggulung benang plastik. Di pojok lain, dua mesin teronggok belum terpakai. Kamis pekan lalu, suasana pabrik seluas separuh lapangan bola itu memang sudah kembali sibuk. Bahan baku plastik, polipropilena, tak lagi langka. ”Kami sudah berproduksi 60 persen,” kata manajer pabrik tenun plastik PT Marsol Abadi Indonesia, Sukamto E.P.
Akhir tahun lalu, polipropilena tiba-tiba menghilang dari pasar. Marsol biasa mengimpor bahan baku plastik itu sampai 70 persen dari kebutuhan pabrik sebanyak 200 ton per bulan. Tapi saat itu pesanan mereka tak bisa dipenuhi pemasoknya. Marsol pun mencarinya ke pabrik lokal, yakni PT Polytama Propindo dan PT Tripolyta Indonesia. Ternyata keduanya sedang stop produksi. Rupanya, biang masalahnya adalah bahan baku bijih plastik itu, yakni propilena, langka di pasar.
Kondisi yang sama dihadapi perusahaan tenun plastik lainnya, PT Murni Mapan Mandiri, di Serang, Banten. Selama Februari-Maret ini, kata Direktur Utama Budi Susetyo, lesunya pasar polipropilena di dalam negeri sudah mengerek harga produk impor jadi lebih mahal. ”Untungnya, permintaan tidak banyak,” katanya. Permintaan akan karung plastik biasanya tinggi pada saat panen, yang jatuh pada April-Juni.
Salah satu produsen polipropilena, PT Polytama Propindo, mengaku sejak November hingga Februari lalu tidak dipasok propilena dari PT Pertamina. ”Hitung saja berapa potential loss selama empat bulan berhenti, padahal per bulan kami memproduksi 140 ribu ton polipropilena, yang harganya kini US$ 1.000 per ton,” kata Presiden Direktur PT Tuban Petrochemical Industries, induk perusahaan Polytama, Amir Sambodo.
Tapi Pertamina berkukuh kilang Balongan tidak sedang bermasalah. Sekretaris Perusahaan Pertamina Toharso menegaskan hanya ada jadwal maintenance untuk Balongan, yang rutin dilaksanakan setiap tiga tahun. Ini pun sudah diinformasikan ke pelanggan. ”Balongan lancar sejak Januari. Kalaupun ada masalah, mestinya pelanggan langsung berbicara dengan kami” ucapnya.
Produsen polipropilena lainnya—Tripolyta—ternyata juga menghadapi kesulitan bahan baku. Pemasok Tripolyta memang bukan Pertamina, melainkan PT Chandra Asri. Rupanya, berbarengan dengan Balongan, mesin produksi Chandra Asri juga menjalani overhaul pada Februari lalu. ”Ini juga memicu panic buying,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia Budi Susanto Sadiman.
Industri pengemasan lain juga berteriak kekurangan bahan baku. Tak jarang pabrik berhenti total. Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia Willy Sidharta bahkan menurunkan target pertumbuhan penjualan tahun ini dari 15 persen menjadi 10 persen. Ini terjadi karena harga bahan baku plastiknya naik dan, sebaliknya, mereka tidak bisa menaikkan harga karena daya beli konsumen sedang rendah.
Willy, pemilik PT Mitra Sentosa Pasifik—produsen kemasan Club dan 2 Tang—menyebutkan, dari kebutuhan polipropilena 7.200 ribu ton, hanya dipasok 6.000 ton per bulan. Untungnya, pada Desember-Maret ini penjualan umumnya sepi karena demand turun di musim hujan. ”Yang gawat kalau bahan baku langka di Agustus-September.”
Susahnya, kalau mereka membelinya di pasar internasional, harganya lebih mahal. Selain faktor nilai tukar rupiah yang terus melemah, ada bea masuk 15 persen untuk produk polipropilena impor. ”Akhirnya kami harus mengalokasikan dana pembelian bahan baku yang lebih besar,” kata Henky Wibawa, Applications Development Head PT Argha Karya Prima Industry Tbk.
Mujur untuk sebagian produsen karena lonjakan harga bahan baku hingga 25 persen itu bisa dibebankan ke harga jual produk, yang naik 10-12 persen. Contohnya, harga plastik film untuk kemasan mi instan pada Februari Rp 300 per meter persegi, naik 10 persen dibanding bulan sebelumnya. Tapi tak semua bisa mengambil langkah yang sama. ”Itu pilihan terakhir,” kata General Manager Pemasaran dan Komunikasi Garudafood Budiman.
Kini kondisi berangsur normal karena pasokan Pertamina membaik sejak akhir bulan lalu. Kapasitas produksi Polytama sudah 70 persen. Akhir Maret ini, produksi Polytama akan kembali full capacity. Masa pemeliharaan Chandra Asri juga segera rampung. Industri plastik dan turunannya kini bisa bernapas lega. Ini penting karena, walau terjadi krisis global, permintaan kemasan plastik terus naik seiring dengan meningkatnya kebutuhan produk higienis.
R.R. Ariyani, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo