Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1>Vietnam</font><br />Kereta Cepat dari Tenggara

Perekonomian Vietnam melaju dengan cepat. Masalah pemanasan ekonomi mulai menghadang.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan mobil pribadi dan umum serta sepeda motor merayap melewati Jalan Nguyen Van Troi, Kota Ho Chi Minh, Vietnam, Selasa pagi dua pekan lalu. Mobil yang ditumpangi Tempo pun terpaksa melaju bak siput karena lalu lintas macet panjang. Kemacetan tak terhindarkan karena di beberapa ruas jalan di kota yang dulu bernama Saigon ini sedang dibangun proyek jalan bawah tanah (underpass).

Kondisi itu sangat berbeda dengan saat Tempo menyambangi negeri ini pada 2005. Dulu dari Bandar Udara Tan Son Nhat menuju Kota Ho Chi Minh hanya butuh waktu sekitar 20 menit menggunakan taksi. Tapi sekarang minimal butuh 45 menit pada jam-jam kerja.

Pembangunan proyek infrastruktur di Vietnam memang marak dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya di Ho Chi Minh, tapi juga di kota lain. Di Can Tho, sekitar 200 kilometer dari Ho Chi Minh, misalnya, terlihat beberapa proyek pembangunan jembatan sepanjang 300 meter yang memotong Sungai Mekong—sungai yang melewati Tibet, Cina, Burma, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam sepanjang 5.000 kilometer. Di utara, pemerintah juga sedang merehabilitasi jalur kereta dari Hanoi menuju Provinsi Lao Cai dan membangun jalan bebas hambatan dari Hanoi menuju Lang Son.

Maraknya pembangunan proyek infrastruktur itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Vietnam yang pesat. Setelah negeri ini dilanda perang saudara pada 1957-1975, pemerintah Vietnam yang menganut paham sosialis-komunis itu terus membenahi perekonomian. Hasilnya sangat mengejutkan. Pada 1989-2008, rata-rata pertumbuhan ekonomi Vietnam menembus 7,4 persen, di atas pertumbuhan negara-negara Asia, kecuali Cina. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi negara ini agak sedikit melambat menjadi 6,23 persen, sedikit di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia (6,1 persen).

Menurut Country Director Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk Vietnam Ayumi Konishi, pesatnya pertumbuhan ekonomi Vietnam tak lepas dari adanya reformasi dalam sistem pemerintahan dan perekonomian. Pemerintah Vietnam memang berhaluan sosialis yang berkiblat ke Cina. Tapi pemimpin negeri ini rela meliberalisasi pasarnya. Pemerintah Vietnam juga memprivatisasi secara parsial beberapa perusahaan milik negara. ”Pesatnya pertumbuhan ekonomi juga karena tingginya investasi asing langsung di negeri ini,” kata Konishi kepada sejumlah wartawan Indonesia di Vietnam dua pekan lalu.

Tahun lalu, investasi asing langsung (foreign direct investment) ke Vietnam mencapai US$ 64 miliar atau sekitar Rp 704 triliun. Perinciannya: investasi baru US$ 60,3 miliar dan penambahan modal proyek berjalan US$ 3,7 miliar.

Duta Besar Indonesia untuk Vietnam Pitono Purnomo menilai tingginya investasi di Vietnam itu karena keamanan yang kondusif dan sistem perburuhan yang relatif menguntungkan pengusaha. ”Tidak ada pemogokan buruh di sini,” ujarnya dalam konferensi jarak jauh dengan wartawan. ”Izin investasi juga sangat mudah,” dia menambahkan.

Komisaris PT Dynaplast Tbk. Gunawan Tjokro mengiyakan. Kurang dari dua bulan, investor sudah bisa memulai bisnis atau investasinya. ”Pelayanannya pun satu atap meski itu hanya di provinsi tertentu,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta. Investor juga, kata Gunawan, mendapatkan insentif berupa pemotongan pajak selama 3-4 tahun. Pada 2004, Dynaplast membangun pabrik pengepakan botol plastik di Provinsi Binh Duong.

Tapi itu bukan berarti negara di kawasan Asia Tenggara ini tanpa masalah sama sekali. Ekonomi Vietnam mulai kepanasan (overheating). Inflasi tahun lalu melonjak hingga 22,8 persen—Indonesia hanya 11 persen. Kenaikan harga barang dan jasa ini memukul penduduk miskin Vietnam, yang mencapai 9 juta orang (13 persen dari total penduduk). ”Belakangan hidup semakin susah,” kata Hoang Viet, 23 tahun, seperti dilansir AFP.

Resesi global, kata Konishi, juga berpotensi memukul Vietnam. Terlebih lagi ekspor negeri ini kebanyakan ke Amerika Serikat (19 persen), Eropa (17 persen), Jepang (14 persen), dan Cina (7 persen). Empat negara itu termasuk negara yang terkena imbas krisis paling dalam. ”Ekspor, remitansi (penerimaan devisa dari luar negeri), dan investasi langsung mungkin akan terpengaruh,” ujarnya. Daya tahan Vietnam memang sedang diuji.

Padjar Iswara (Ho Chi Minh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus