Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETEGANGAN pelaku pasar yang menjalar dalam enam bulan terakhir mencapai puncaknya, Jumat pekan lalu. Harga minyak mentah untuk pengiriman April di New York Mercantile Exchange menyentuh US$ 106,42 per barel. Inilah rekor tertinggi sepanjang sejarah perdagangan minyak mentah dunia.
Rekor sebelumnya terjadi pada April 1980. Ketika itu, harga minyak mentah melambung ke level US$ 38 per barel. Jika dikalkulasi dengan kenaikan inflasi yang terjadi, harga itu setara dengan US$ 103 saat ini. Nilai emas hitam saat itu melejit gara-gara gejolak politik di Timur Tengah dan penyanderaan warga Amerika di Iran.
Kali ini, lonjakan harga dipicu anjloknya pasokan minyak secara mengejutkan di Amerika Serikat dua pekan lalu. Banyak analis menyangka Departemen Energi Amerika akan mengumumkan naiknya cadangan minyak negeri itu hingga delapan kali lipat. Nyatanya, mereka salah sangka: cadangan minyak justru melorot 3,1 juta barel. ”Ini membuat para pedagang minyak bereaksi berlebihan,” kata Victor Shum, analis energi Purvin & Gertz, seperti dikutip Associated Press.
Kegundahan pelaku pasar kian menjadi-jadi setelah eskalasi ketegangan di antara negara-negara Amerika Latin penghasil minyak semakin memuncak. Krisis ini dipicu oleh serangan darat dan udara pasukan Kolombia di wilayah Ekuador dua pekan lalu. Pasukan itu menghancurkan kamp pemberontak Angkatan Bersenjata Revolusi Kolombia (FARC) yang bersembunyi di sana.
Kolombia menuding Ekuador dan Venezuela memberi dukungan kepada gerilyawan pemberontak. Tudingan tadi dibalas oleh dua negara itu dengan mengirimkan tentara dan tank ke perbatasan Kolombia. ”Faktor geopolitik ini membuat harga minyak naik turun,” kata Anton Gunawan, Kepala Ekonom Citigroup Indonesia.
Tak mengherankan, kontrak pembelian minyak di bursa berjangka New York pun langsung naik US$ 5 per barel di awal pekan lalu—sebelum ditutup di angka US$ 103,76 per barel. Kenaikan itu berlanjut hingga mencapai puncaknya, Jumat pekan lalu. Kenaikan tertinggi sepanjang sejarah itu hanya dua hari setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menyatakan tidak akan menaikkan produksinya.
Namun, kenaikan di awal pekan lalu itu bukan tidak mengundang kecurigaan. ”Kenaikan lima dolar itu sulit dipercaya,” ujar Shum. Menurut dia, dari sisi fundamental, harga yang melambung di pasar minyak dunia pada dasarnya bisa dimaklumi. ”Tapi tidak pada level ini,” katanya.
Itu sebabnya ia mensinyalir telah terjadi aksi ambil untung (profit taking) oleh para spekulan di tengah gonjang-ganjing harga minyak mentah. Apalagi, kepanikan sudah menjangkiti pelaku pasar sejak harga minyak menyerempet level US$ 80 per barel pada akhir September tahun lalu.
Pengamat perminyakan Kurtubi menguatkan dugaan itu. ”Banyak yang beli minyak hari ini, besok dijual lagi,” katanya. Yang diperjualbelikan secarik kertas yang menunjukkan seseorang memiliki minyak dalam jumlah tertentu. Dalam satu hari, penjualan lewat paper market itu bisa mencapai puluhan kali lipat ketimbang perdagangan riil. ”Kertasnya sudah berulang kali diperjualbelikan, barangnya masih ngendon di pelabuhan minyak,” katanya.
Ini terjadi karena kondisi pasar minyak dunia kini sangat ketat. Rentang antara pasokan dan permintaan kian menipis. Bahkan acap kali pasokan terganggu, sementara konsumsi terus meningkat. Permintaan minyak dunia kini menembus 88 juta barel per hari, dan ditaksir menembus 100 juta barel pada 2015.
Kalaupun berkurang pada kuartal kedua nanti—akibat berakhirnya musim dingin—penurunannya hanya dua juta barel per hari. Amerika masih menjadi ”peminum” minyak paling rakus di dunia, sekitar 22 juta barel per hari. Disusul oleh Cina dan India, sebesar 8 juta barel per hari dan 3,5 juta barel per hari.
Padahal, jumlah pasokan produksi dari negara-negara OPEC hanya 32 juta barel per hari atau 40 persen dari kebutuhan minyak dunia. Sedangkan negara non-OPEC, seperti Rusia, Inggris, atau Australia, sudah tidak bisa menambah produksinya. ”Karena mereka sudah berproduksi penuh,” kata Kurtubi.
Untuk menekan harga minyak, Presiden Amerika Serikat George W. Bush sudah meminta OPEC meningkatkan kuota produksi. Namun, ya itu tadi, anggota OPEC yang bertemu di Wina, Austria, Rabu pekan lalu, emoh melakukannya meski mereka memiliki surplus dua juta barel per hari.
Alasannya, kata Presiden OPEC Chakib Khelil, pasokan akan berlebih karena permintaan minyak akan berkurang pada kuartal kedua nanti. Lagi pula, kata Khelil, naiknya harga minyak kali ini terjadi karena kesalahan manajemen pada perekonomian Amerika. Ini yang membuat OPEC memutuskan tidak melakukan aksi apa pun. ”Bila harga naik, sudah pasti itu bukan karena kurangnya pasokan,” kata Khelil.
Kondisi ekonomi Amerika memang lagi morat-marit. Nilai tukar dolar jeblok. Pasar keuangannya yang tercabik-cabik oleh krisis kredit hipotek di sektor perumahan seperti tak berujung. Ini membuat investor berbondong-bondong mengalihkan dananya ke pasar komoditas, termasuk minyak. ”Aliran dana yang masuk ke minyak itu sangat signifikan,” kata Khelil. Ini yang, menurut dia, membuat harga minyak melonjak.
Sikap OPEC membuat Bush geram. ”Membiarkan kami sebagai konsumen terbesar mengalami perlambatan ekonomi gara-gara tingginya harga energi adalah sebuah kesalahan,” katanya.
Keputusan OPEC itu pun langsung memercikkan berbagai spekulasi. Ada yang menduga, negara-negara jazirah Arab yang tergabung dalam OPEC tampaknya happy dengan harga minyak saat ini. Ada juga yang mensinyalir, OPEC justru punya agenda memangkas produksi agar harga minyak lebih tinggi lagi. ”Dengan menjaga harga di atas US$ 100 per barel, OPEC sepertinya akan menjual minyak lebih sedikit pada harga tinggi,” kata Phil Flynn, analis dari Alaron Trading.
Khelil menampik sinyalemen itu. Menurut dia, pemotongan produksi tidak dibahas dalam pertemuan Rabu lalu. Para anggota OPEC juga tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat hingga September nanti.
Apa pun dalihnya, kenaikan harga minyak ini akan membuat APBN Indonesia—pengimpor BBM dan minyak mentah 800 ribu barel per hari—kian tertekan. Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memastikan tidak akan menaikkan harga tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak.
Konsekuensinya, pemerintah harus siap bekerja dengan beban sangat berat. Rencana pemotongan anggaran 15 persen di setiap departemen pun, kata Kurtubi, tidak akan cukup menutup biaya subsidi. Sebab, dengan kenaikan harga minyak di atas US$ 100 per barel, besaran subsidi minyak yang harus ditanggung pemerintah membengkak dari semula Rp 106,2 triliun—dengan asumsi harga minyak US$ 85 per barel di RAPBN Perubahan 2008—menjadi Rp 115 triliun.
Kurtubi menaksir, harga minyak dunia tahun ini bisa menyentuh US$ 110-115 per barel. ”Begitu banyak faktor geopolitik yang bisa mendorong harga minyak ke arah itu,” katanya. Mulai dari gejolak politik Nigeria, Venezuela, hingga sanksi PBB atas nuklir Iran.
Jika itu terjadi, kata Anton Gunawan, neraca perdagangan bisa negatif, industri manufaktur terpukul, dan daya dorong pertumbuhan melemah—terlebih bila target produksi minyak tidak tercapai. Efek rantainya, penerimaan pajak buat pemerintah menurun. Ujung-ujungnya, kata Anton, target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen sulit digapai.
Lebih celaka lagi jika produksi minyak tidak naik tapi konsumsi terus menggelembung. Ini akan membuat defisit anggaran yang kini sekitar 2,2 persen terhadap produk domestik bruto bakal melonjak jadi 3-4 persen. Defisit bahkan bisa sampai 4,2 persen bila pemerintah tidak melakukan langkah pengamanan apa-apa.
Kuncinya, kata Kurtubi, terletak pada berhasil-tidaknya pemerintah menekan pemakaian BBM bersubsidi, konversi minyak tanah ke elpiji, dan pengalihan premium ke bahan bakar gas.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo