Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di Balik Hilangnya Si Hitam

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pergantian direksi PT PLN seperti pasukan yang bubar tanpa komando. Direktur Utama Eddie Widiono Suwondho dan Direktur Keuangan Parno Isworo mengakhiri jabatannya yang habis Kamis pekan lalu. Direksi yang lain diperpanjang maksimal 30 hari. Satu lagi, Direktur Pembangkitan dan Energi Primer Ali Herman Ibrahim, malah sudah dipecat pada Januari lalu.

Kondisi itu seakan menggambarkan kekacauan dalam penyediaan listrik beberapa pekan terakhir. Di luar Jawa, sudah lama konsumen mengeluhkan pemadaman bergilir. Selasa pekan lalu, Forum Gubernur se-Sumatera mengadukan hal itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Berbagai proyek pembangunan ekonomi telantar dan tertunda gara-gara listrik,” ujar Ketua Forum yang juga Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah.

Indonesia memang menghadapi krisis listrik. Kekurangan pasokan nyaris terjadi di seluruh Indonesia. Meskipun sistem kelistrikan Jawa-Bali aman, kondisinya rawan jika terjadi gangguan atau pada saat PLN melakukan perawatan. Itulah yang terjadi pada Februari lalu ketika sejumlah pembangkit utama di Jawa seperti Tanjung Jati B, Cilacap, dan Paiton kekurangan pasokan batu bara.

Kekurangan batu bara inilah yang membuat Ali Herman dilengserkan sebelum waktunya. Kasusnya berawal dari matinya satu dari dua pembangkit Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah. Ali Herman dipecat pada Januari lalu karena Dewan Komisaris PLN menganggap dia tidak cakap mengatur pasokan batu bara untuk Tanjung Jati B.

Telatnya pasokan rawan untuk PLN. Selain pembangkit padam, perusahaan juga tekor. ”Kesalahannya karena keterlambatan pasokan batu bara di Tanjung Jati B dan Cilacap. Akibatnya, kita dirugikan Rp 32 miliar per hari,” kata Alhilal Hamdi, Komisaris Utama PLN, 8 Januari lalu. Menurut Alhilal, mestinya pembangkit menyimpan stok sebelum akhir tahun. ”Setiap akhir tahun selalu terjadi cuaca buruk,” katanya.

Nah, Tanjung Jati B, meski hanya menyumbang 10 persen listrik untuk Jawa, jadi andalan karena memakai batu bara yang murah. Jika pembangkit ini padam, PLN harus mengandalkan pembangkit terdekat, yakni PLTGU Tambak Lorok di Semarang. Pembangkit berkapasitas 520 Megawatt itu memerlukan Rp 24,2 miliar per hari untuk membeli solar, sementara Tanjung Jati cuma butuh Rp 2,7 miliar.

Sumber Tempo mengatakan, kesalahan itu tak bisa dibebankan pada Ali Herman seorang. Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan, pada 22 November 2007, Direktur Utama PLN Eddie Widiono sebetulnya telah mengirimkan surat kepada Dewan Komisaris PLN. Isinya meminta persetujuan kontrak pasokan batu bara dan tambahan kapal pengangkut baru dari PT Arpeni Pratama Ocean Lines.

Permohonan itu tak kunjung dijawab Dewan Komisaris. ”Jika waktu itu segera disetujui, pemadaman tidak akan separah ini,” kata Hamdan Zoelva, kuasa hukum Ali Herman. ”Dalam Anggaran Dasar PLN disebutkan, mereka harus mendapatkan izin dari Komisaris untuk pembiayaan skala besar,” tutur Hamdan. Total nilai kontrak setahun untuk penambahan itu mencapai Rp 3 triliun.

Ternyata, hanya Ali Herman yang disalahkan. Menurut sumber Tempo di PLN, ada agenda lain di balik pemecatan Ali Herman. ”Yang harus bertanggung jawab sebenarnya pejabat di bagian Energi Primer,” ujarnya. Lebih aneh lagi, ketika pemadaman makin menghebat, tak ada pejabat PLN yang ikut dipecat. ”Ada kesengajaan memperlambat untuk menyalahkan direksi,” kata orang dalam PLN tersebut.

Menurut Hamdan, sikap para komisaris memang cenderung aneh. ”Mereka tahu pasokan batu bara sensitif, mestinya mereka tidak menunda persetujuan,” katanya. Kebijakan soal pasokan batu bara adalah kebijakan bersama direksi dan komisaris.

Hal itu dibantah Alhilal. ”Memang ada proses di komite manajemen risiko untuk setiap usulan direksi, tapi itu tidak butuh waktu lama,” katanya. Persetujuan dewan komisaris akhirnya diberikan pada pertengahan Februari lalu. ”Itu prosedur baku. Kalau tidak kan bisa dodol...,” katanya. Faktanya, sistem kelistrikan Jawa-Bali tetap saja ambrol.

Arif A.K, Fanny Febiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus