Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR yang dibawa Menteri Keuangan Amerika Serikat Timothy F. Geithner dari Washington, DC, Senin pekan lalu menggegerkan. Memasuki triwulan keempat tahun anggaran 2009, Negeri Abang Sam mengalami defisit hingga 12 persen dari produk domestik bruto. Pemerintah tekor US$ 1,09 triliun (Rp 10 ribu triliun lebih), sepuluh kali lipat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia tahun ini.
Ini pertama kalinya gap melampaui US$ 1 triliun—selama tahun fiskal yang dimulai 1 Oktober 2008 dan akan berakhir 30 September 2009. Malah, menurut Dinas Pengelolaan dan Anggaran Amerika, menutup buku kuartal keempat nanti, gap akan menyentuh US$ 1,84 triliun. Bandingkan dengan defisit tahun lalu, yang tak sampai seperempatnya, ”cuma” US$ 459 miliar.
Penyebabnya: besar pasak daripada tiang. Selisih pengeluaran dengan pendapatan bulan Juni saja mencapai US$ 94,3 miliar. Biasanya, Juni merupakan bulan surplus. Juni tahun lalu, Amerika mengalami surplus US$ 33,5 miliar. Belanja pemerintah bulan lalu memang gencar, naik 37 persen menjadi US$ 309,7 miliar. Bila dihitung sembilan bulan selama tahun anggaran ini, pengeluaran tercatat US$ 2,67 triliun, meningkat 20,5 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Ini merupakan dampak dari program stimulus US$ 787 miliar yang diteken Presiden Barack Obama menjadi undang-undang pada Februari lalu. Itu belum termasuk dana talangan yang telah diputuskan pemerintahan terdahulu sebesar US$ 700 miliar untuk menyelamatkan keuangan—dikenal dengan Troubled Asset Relief Program—yang salah satunya membantu raksasa otomotif Amerika, General Motors Corp.
Direktur Riset Ekonomi Argus Research Corp., New York, Richard Yamarone, mengatakan perekonomian dan sistem perbankan memerlukan suntikan dana untuk pemulihan. Memang itu tampak jahat karena akan menguras dompet pemerintah. ”Sulit menelan pil ini,” katanya.
Pemerintah juga mesti membayar biaya bunga utang US$ 320,7 miliar dari outstanding utang publik US$ 11,5 triliun lebih. Belanja beberapa badan pemerintah juga meningkat selama tiga kuartal tersebut. Pengeluaran lembaga jaminan sosial, misalnya, meningkat dari US$ 491,7 miliar menjadi US$ 544,7 miliar, sementara Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat dari US$ 520,4 miliar menjadi US$ 588,7 miliar. Juga Departemen Pertahanan, dari US$ 439,5 miliar menjadi US$ 472,8 miliar.
Sebaliknya, pendapatan mengkerut. Departemen Keuangan Amerika merilis duit yang masuk kantong selama Juni turun 17 persen menjadi US$ 236,5 miliar. Ini lantaran penerimaan dari pajak perorangan dan korporasi susut. Setoran perusahaan pada Juni hanya US$ 101,9 miliar, turun 57 persen. Industri belum melihat tanda-tanda peningkatan permintaan.
Tingkat pengangguran yang mencapai 9,5 persen menyebabkan pajak perseorangan turun 22 persen selama sembilan bulan ini menjadi US$ 685,5 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu terkumpul US$ 877,8 miliar.
Lima hari sebelum Departemen Keuangan merilis perekonomian Amerika, The Congressional Budget Office—lembaga nonpartisan yang menganalisis anggaran untuk Kongres—mengeluarkan ramalan angka defisit yang sama dengan pemerintah. Pasar langsung merespons. Sejumlah obligasi jatuh ke level rendah sehari setelah pengumuman tersebut. Imbal hasil surat utang bertempo sepuluh tahun naik dari 3,3 menjadi 3,35 persen.
Angka defisit tersebut memang di luar perkiraan para analis, yang menduga defisit tak tembus 10 persen. Tiga puluh ekonom yang disurvei kantor berita Bloomberg, misalnya, meramalkan defisit Juni US$ 97 miliar—berkisar US$ 70-109,3 miliar.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan realisasi gap yang berlebihan tersebut tentu tidak jamak. Berdasarkan pakem internasional, fiskal suatu negara dianggap sustainable antara lain bila defisit tidak lebih dari tiga persen dari produk domestik bruto. Sedangkan utang maksimum 60 persen. Nyatanya, ”Banyak negara, termasuk Amerika, menerabas rambu tersebut,” kata Yudhi.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pengucuran stimulus fiskal yang terlalu agresif menimbulkan masalah keberlangsungan anggaran. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, kedodoran. Defisit membengkak; di Indonesia dari 1,0 menjadi 2,5 persen. ”Tapi angka itu tetap jauh lebih rendah ketimbang negara-negara lain,” katanya di Jakarta, Selasa pekan lalu. Perekonomian dunia, Sri Mulyani menambahkan, juga menghadapi masalah eskalasi penerbitan obligasi negara, pencetakan uang, dan lonjakan inflasi yang mematikan usaha.
Toh, kata Yudhi, Amerika belum bangkrut. Selama investor asing masih percaya terhadap surat utang yang diterbitkan, Amerika selamat. Mereka bisa mencari pendanaan dengan mengeluarkan obligasi. Kekhawatiran crowding out bisa dihindari. Bank sentral—The Federal Reserve—bisa menjaga dengan membeli obligasi di pasar sekunder.
Wakil Presiden Jusuf Kalla melihat celah positif bagi Indonesia. Nilai tukar rupiah akan menguat seiring dengan pelemahan dolar. ”Tapi itu semua asumsi. Kita lihat saja nanti.” Menurut Yudhi, dampak terhadap pergerakan nilai tukar tidak sejelas perkiraan, tergantung intervensi bank sentral. Bisa jadi sebaliknya: defisit membengkak, maka dolar akan dipaksa pulang kandang. Misalnya dengan menaikkan suku bunga. Ini yang membikin Indonesia bisa kekeringan dolar.
Bank sentral juga bisa bergerak untuk tidak menaikkan bunga bila menganggap perekonomian masih memerlukan suku bunga rendah. Caranya: membeli obligasi di pasar sekunder. Itu akan menyuplai uang baru ke sistem.
Kuncinya, kata Yudhi, ada pada investor asing pemegang obligasi Amerika. Cina saat ini adalah kreditor terbesar Amerika. Per Maret 2009, Negeri Panda memegang US$ 768 miliar obligasi, 10 persen dari utang yang diperdagangkan. Jepang juga investor besar Amerika. Artinya, ada kepentingan bersama untuk menjaga agar harga bond tidak jeblok.
Apalagi, menurut Yudhi, investor tak punya banyak pilihan. Bermain komoditas terlalu riskan, mengingat permintaan masih minim. ”Artinya lagi, mereka akan tetap membeli bond.” Kendati utang Amerika mencapai 66 persen dari produk domestik bruto, itu masih di bawah Jepang, yang nyaris menyentuh 200 persen. Toh, rating negara-negara tersebut masih bagus, AAA. ”Katanya, karena kemauan dan kemampuan membayar mereka pasti.”
Bandingkan dengan Indonesia. Menurut Yudhi, perekonomian dalam negeri membaik, ekonomi tumbuh, tapi rating Indonesia tetap lebih rendah ketimbang negara-negara maju. Ini karena mereka khawatir Indonesia gagal bayar, kendati tidak pernah ada record semacam itu.
Perdana Menteri Cina Wen Jiabao sebenarnya sempat khawatir atas aset dolarnya. Tapi buru-buru pemerintah Barack Obama meredam keraguan itu. Geithner, akhir Mei lalu, terbang ke Beijing. Ia menjamin investasi Cina tidak akan menyusut hanya gara-gara kenaikan defisit Amerika. ”Very safe,” kata Geithner cepat dalam sebuah dialog di Peking University.
Retno Sulistyowati (Bloomberg, Reuters, Time, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo