Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SISA-SISA bekas restoran McDonald’s masih terlihat di area yang sudah bersalin fungsi menjadi kantor pengembang properti itu. Di sudut ruangan, meja dan kursi makan bertumpukan. Dua patung Ronald McDonald, yang lebih dari empat dekade menjadi ikon restoran cepat saji tersebut, tampak kumal dan somplak di beberapa bagian. Patung itu dibiarkan teronggok di belakang bangunan utama yang terletak di Jalan Terogong Raya, Jakarta Selatan, tersebut.
Di pojok kanan bekas area restoran itulah berdiri kantor properti. Perusahaan tersebut menempati bangunan minimalis dua lantai yang didominasi kaca. Tidak banyak aktivitas di situ. Ruangan di dalamnya ”sepisau” sepi. Dihubungi berkali-kali, tak seorang pun mengangkat gagang telepon. ”Mereka sedang ke luar kantor,” ujar seorang pesuruh, yang buru-buru menghindar saat ditemui, Jumat pekan lalu.
Itulah PT Wismamas Citraraya, perusahaan milik keluarga Bambang N. Rachmadi—bekas pemegang lisensi McDonald’s di Indonesia, dan mantan pemilik Bank Indonesian Finance & Investment (IFI). Pekan lalu tersiar kabar, saham Wismamas, bangunan, serta tanah dengan kontur berbukit di area itu dijadikan jaminan kepada PT Kutai Timur Energi. Kesepakatan itu dibuat gara-gara bilyet deposito berjangka Kutai Energi senilai Rp 72 miliar di Bank IFI terancam amblas setelah bank itu dilikuidasi, pertengahan April tahun lalu. Bank itu dicabut izinnya karena rasio kredit bermasalahnya menyala merah, sekitar 24 persen.
Penempatan dana di Bank IFI terungkap setelah Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit terhadap laporan keuangan Kutai Timur Investama, induk Kutai Energi. Lembaga audit tertinggi itu turun tangan sejak sebulan lalu, setelah Kutai Timur Investama mencadangkan kerugian Rp 70 miliar dalam neraca keuangannya. Adapun sisa dana Rp 2 miliar diyakini Kutai Investama bakal dibayar oleh Lembaga Penjamin Simpanan. ”Dari cadangan kerugian itu, kita telusuri ada apa di balik itu semua?” kata Rizal Djalil, anggota Badan Pemeriksa.
Dana investasi badan usaha milik Pemerintah Kabupaten Kutai Timur itu ternyata nyangkut di Bank IFI. Rizal menengarai penempatan dana itu bermasalah karena tidak pernah mengantongi persetujuan dari dewan perwakilan rakyat daerah setempat. Penempatan dana itu juga dilakukan tidak hati-hati dan tidak profesional. Salah satu buktinya, dana itu ditempatkan pada awal Desember 2008. Padahal tiga bulan sebelumnya, Bank Indonesia sudah menetapkan Bank IFI masuk dalam pengawasan khusus. Kala itu, giro wajib minimum bank gurem itu di bawah lima persen. Artinya, Bank IFI megap-megap kesulitan likuiditas.
Kutai Timur tergiur iming-iming bunga jumbo 17 persen. ”Bank yang menetapkan suku bunga di atas normal pasti lagi terganggu likuiditasnya,” kata Rizal. Padahal suku bunga bank yang ditetapkan Bank Indonesia pada periode itu berkisar 9 persen. Sejak itu, Kutai Timur menjadi deposan terbesar di Bank IFI. Menilik jumlah dana yang ditanam dan bunga yang jauh di atas penjaminan LPS, Rizal sangsi dana itu bisa kembali ke brankas Kutai Timur.
LPS hanya boleh menjamin saldo nasabah maksimal Rp 2 miliar, dengan suku bunga acuan yang dipatok bank sentral. Dana nasabah yang tidak dijamin akan diselesaikan oleh Tim Likuidasi Bank IFI. Itu pun masih harus menunggu seluruh proses inventarisasi aset Bank IFI dan rampungnya penagihan piutang kepada debitor. Dari hasil pencairan aset dan penagihan piutang, dana itu dibayarkan kepada kreditor sesuai dengan urut-urutan yang tertera dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 24 Tahun 2004.
Dari ”urut kancing” itu, dana nasabah yang tidak masuk dalam penjaminan masuk urutan keenam. Ini berarti, Kutai Timur Energi masih harus menunggu giliran setelah segala urusan pembayaran: gaji dan pesangon pegawai, biaya perkara pengadilan, lelang terutang, operasional kantor, klaim terhadap dana nasabah di bawah Rp 2 miliar yang sudah dibayar Lembaga Penjamin, serta pajak terutang, dilunasi. Itu pun kalau dananya masih cukup.
Apa boleh buat, memang. ”Kutai Timur harus menunggu sampai aset bank terjual dan telah dikurangi kewajiban prioritasnya,” kata Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi Johansyah. ”Kalau tidak cukup, ya tidak akan dibayar,” ujar M. Chaidir, anggota Tim Likuidasi. Sebagai pihak yang tidak dijamin dananya oleh Lembaga Penjamin, Kutai Timur tidak masuk daftar antrean prioritas.
Jika seluruh aset Bank IFI habis di tengah proses likuidasi, sisa kewajiban bank terhadap pihak lain dilunasi oleh pemegang saham lama yang menyebabkan bank tersebut menjadi bank gagal. Salah atau tidaknya pemegang saham dalam mengelola bank masih harus menunggu hasil audit yang tengah dikerjakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Lalu kapan seluruh proses inventarisasi aset oleh Tim Likuidasi berakhir? ”Saya belum bisa memastikan,” ucap Ketua Tim Likuidasi Bank IFI Bagyo Setiawan.
Bila dana investasi itu amblas, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur akan merugi. Apalagi dana yang ditempatkan di deposito itu berasal dari divestasi lima persen saham Kutai Timur di PT Kaltim Prima Coal, perusahaan tambang batu bara terkemuka, pada Juli 2008. Dari penjualan saham itu, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur kecipratan dana jumbo US$ 62 juta atau setara dengan Rp 576 miliar sesuai dengan nilai kurs pada waktu itu. Dana itu kemudian dikelola oleh Kutai Timur Energi. Nyatanya, dalam laporan keuangan konsolidasi 2007 dan 2008, hasil penjualan saham tadi tidak pernah tecermin di pembukuan Kutai Timur Investama. Ternyata dana itu ditempatkan di Samuel Sekuritas Rp 483 miliar, Bank Mandiri Rp 21 miliar, dan Bank IFI Rp 72 miliar.
Anung Nugroho, Direktur Utama Kutai Timur Energi, mengaku tidak tahu pada saat itu Bank IFI masuk kategori bank bermasalah. Ia baru mafhum setelah Bank Indonesia melikuidasi Bank IFI, empat bulan setelah duit itu ditanam. Kutai Timur sempat bertemu dengan Lembaga Penjamin dan manajemen lama Bank IFI di Plaza ABDA, di kawasan Sudirman, Jakarta, tiga hari setelah izin usaha bank itu ditarik. Nasib dan prosedur pengembalian dana milik Kutai Timur dibahas di situ.
Sebulan kemudian, perusahaan itu menggelar persamuhan dengan manajemen lama Bank IFI dan PT AIM Trust di Menteng Huis, Jakarta Pusat. Di sana mereka membahas alternatif bisnis, salah satunya dengan menerbitkan Reksadana Penyertaan Terbatas berbasis properti, untuk mengembalikan dana deposito yang nyangkut tadi. AIM Trust bekerja sama dengan Wismamas Citraraya, perusahaan properti. Juga diulas alternatif bisnis lainnya bila proposal yang diajukan AIM Trust tidak segera direstui Lembaga Penjamin dan Tim Likuidasi.
Akhirnya disepakati, dana Kutai Timur dikembalikan dengan jaminan aset milik Bambang Rachmadi. Di antaranya, ya itu tadi, saham Wismamas serta bangunan dan tanah seluas dua hektare yang tersebar di Jakarta. Nilainya, Anung mengklaim, lebih dari Rp 72 miliar. ”Jaminannya sudah kami sita sambil menunggu proses pencairan dana di LPS,” katanya. Karena itulah dia yakin Bank IFI akan mengembalikan fulus Kutai Timur Energi.
Benarkah nilai jaminannya sebesar itu? Saham dan aset Wismamas di Terogong, kata Bagyo Setiawan, bukan termasuk aset Bank IFI. Itu sebabnya, ia tidak tahu persis berapa sebenarnya nilai saham beserta aset bangunan plus tanah itu. Namun sumber Tempo berbisik, nilai Wismamas jauh di bawah Rp 50 miliar.
Dihubungi berkali-kali soal jaminan itu, Bambang Rachmadi tidak mengangkat panggilan telepon. Hingga Jumat pekan lalu, pesan pendek yang dikirimkan Tempo ke telepon selulernya juga tidak berbalas. Beberapa warga di Terogong mengatakan manajemen Wismamas cenderung menutup diri. Gara-garanya, pengembang Perumahan Griya Bintara, Bintara Loka, dan Wismamas Cinere ini dikejar-kejar nasabah yang menagih pembangunan properti mereka. ”Banyak yang bercerita kaveling mereka tak dibangun, padahal sudah akad kredit,” kata salah seorang warga setempat. Dari gelagatnya, eksekusi jaminan yang dipunyai Kutai Timur bukanlah perkara mudah.
Yandhrie Arvian, Fery Firmansyah (Jakarta), S.G. Wibisono (Balikpapan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo