Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>Pajak</font><br />Akibat Beda Cara Berhitung

Belasan kontraktor migas dinilai kurang membayar pajak triliunan rupiah. Traktat pajak salah satu sumber persoalan.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan membetot perhatian Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Haryono Umar. Dalam laporan setebal 100 halaman yang diteken Ketua BPK Hadi Poernomo pada 24 Mei lalu itu terpapar tiga persoalan besar pajak penghasilan minyak dan gas (PPh migas).

Di situ disebutkan ada kekurangan bayar pajak belasan kontraktor asing yang berpotensi menimbulkan kerugian negara Rp 5,3 triliun. Menurut sumber Tempo, yang menarik perhatian Haryono, dalam laporan itu disebutkan pula temuan ini sesungguhnya sudah tercantum dalam hasil audit BPK 2009. Hasil audit telah diserahkan ke Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Pajak. "Tapi tidak ada follow up-nya," katanya pekan lalu.

Audit BPK, kata dia, berawal dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 2009, yang juga telah disampaikan kepada dua institusi itu. "Seharusnya laporan itu ditindaklanjuti dengan penagihan oleh Direktorat Pajak," ujar sumber tadi.

Haryono lantas mengundang rapat Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Priyono, Dirjen Pajak Fuad Rahmany, dan Dirjen Anggaran Herry Purnomo pada 13 Juli lalu. "Pak Haryono khawatir ada penyelenggara negara yang menyimpang, sehingga temuan audit tidak di-follow up," tutur si sumber lagi.

Dalam laporan BPK 2010 itu, ada tiga persoalan besar pajak yang disorot. Pertama, kekurangan bayar pajak dari para kontraktor migas sebesar US$ 289 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun. Di dalamnya termasuk kekurangan bayar pajak dari 13 kontraktor senilai Rp 1,6 triliun (2002-2008), 3 kontraktor senilai Rp 972 miliar, dan kekurangan bayar Rp 42,5 miliar untuk kurun 2005-2009.

Kedua, inkonsistensi tarif pajak akibat pemberlakuan tax treaty atau traktat pajak senilai US$ 159,3 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun. Ketiga, selisih PPh migas senilai US$ 139,5 juta atau Rp 1,2 triliun akibat adanya perbedaan antara laporan produksi yang disampaikan kontraktor ke BP Migas dan yang dibayarkan ke Direktorat Anggaran.

Jika ditotal, menurut BPK, ada kekurangan bayar pajak dari para kontraktor migas Rp 5,3 triliun. "Kami merekomendasikan pemerintah melakukan penagihan," demikian kata Hadi dalam laporan audit BPK.

Persoalan inilah yang kemudian ditanyakan Haryono dalam forum itu. Menurut dia, ada belasan perusahaan kontraktor asing yang terindikasi tak membayar pajak secara penuh. Akibatnya, negara berpotensi dirugikan Rp 1,6 triliun.

Priyono menampik sinyalemen Haryono. Alasannya, hingga kini masih ada silang pendapat antara sejumlah kontraktor dan Direktorat Pajak soal kekurangan bayar pajak Rp 1,6 triliun itu. Jadi, kata dia, "Ini bukan dikemplang, tapi belum dibayar karena masih dispute."

Salah satu pangkal soalnya adalah adanya perbedaan cara penghitungan PPh migas oleh kontraktor dan Direktorat. Para kontraktor itu menggunakan aturan pajak berdasarkan tax treaty alias perjanjian penghindaran pajak berganda, yang dibuat Indonesia dan negara asal kontraktor.

Berdasarkan traktat itu, tarif pajak penghasilan adakalanya lebih rendah ketimbang ketentuan tarif di Indonesia. Traktat dengan Inggris, misalnya, hanya mematok tarif pajak 10 persen, sedangkan dengan Malaysia 12,5 persen. Ini berarti jauh lebih rendah dari tarif berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983, yang mencapai 20 persen.

Perbedaan pandangan lainnya, menurut Priyono, menyangkut royalti pengalihan pengelolaan wilayah kerja pertambangan yang dibayarkan kontraktor baru kepada kontraktor sebelumnya.

Kepala Divisi Manajemen Risiko dan Perpajakan Bambang Yuwono menyatakan pembayaran royalti itu tidak bisa dimasukkan ke cost recovery atau pos biaya produksi yang dimintakan penggantiannya ke pemerintah, dengan cara membebankannya sebagai pengurang pajak. "Direktorat menolak royalti menjadi pengurang pajak," tuturnya.

Siapa para kontraktor itu, baik Priyono maupun Bambang menolak menyebutkan. Priyono hanya menyatakan kontraktor yang menggunakan traktat pajak Inggris adalah BP dan Premier Oil. Tapi, "Bukan berarti mereka yang bermasalah, ya," katanya.

Fuad juga membenarkan adanya kekurangan bayar pajak Rp 1,6 triliun itu. Namun, seperti dinyatakan Priyono, masih ada silang pendapat tentang cara pandang atas kekurangan bayar pajak para kontraktor tersebut. Itu sebabnya, institusinya belum menindaklanjuti laporan audit BPK dan BPKP tersebut. "Sejak 1991, pending matters," katanya.

Menurut Fuad, kontraktor "kurang bayar" itu adalah perusahaan-perusahaan migas yang telah meneken kontrak kerja sama pada 1980-1990-an. Saat kontrak dibuat, bisa jadi belum ada perjanjian traktat pajak antara Indonesia dan negara asal kontraktor itu. Tapi tidak tertutup kemungkinan si kontraktor belakangan memanfaatkan kesempatan untuk menurunkan beban tarif pajaknya dengan mengacu pada tax treaty.

Peluang ini terbuka jika si kontraktor dulu memilih model pre-filling dalam kontrak kerja sama, yang memungkinkan tarif pajaknya berubah mengikuti perubahan aturan pajak. Keleluasaan ini tidak berlaku bagi para kontraktor yang memilih model naildown, yang menggariskan tarif tetap tak berubah selama kontrak berlangsung.

Akibatnya, kata Fuad, "(Kontraktor) yang tadinya bayar pajak 20 persen jadi 10 persen, mengikuti aturan di tax treaty." Penghindaran pajak atau tax avoidance semacam ini memang tak bisa disalahkan karena ada dasar hukumnya. Itu sebabnya pula, para kontraktor ngotot meminta pemerintah menaati kesepakatan traktat pajak yang telah dibuat.

Persoalannya, pemberlakuan tax treaty dengan tarif pajak yang lebih rendah inilah yang tampaknya kini disorot BPK karena dinilai menabrak Undang-Undang Pajak. Apalagi jika ditemukan indikasi fasilitas itu diterapkan para kontraktor sebelum tax treaty diteken alias berlaku surut.

Head of Tax Compliance PetroChina International Indonesia Bambang Prayitno mengaku kaget dengan laporan BPKP 2010 yang menyebutkan perusahaannya mengalami kurang bayar pajak US$ 40,8 juta-terbesar di antara 13 kontraktor yang kurang bayar. "Laporan dari BPKP yang kami terima selama ini tidak mencantumkan ada tunggakan," ujarnya.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, pejabat ExxonMobil Oil yang meminta namanya tidak disebutkan, menyatakan perusahaannya bakal membawa kasus ini ke International Petroleum Association. "Ini sudah persoalan industri, bukan individual perusahaan lagi," tuturnya. Dalam laporan BPK, ExxonMobil Oil disebutkan mengalami kurang bayar pajak pada 2008 senilai US$ 28,7 juta.

Fuad memastikan bakal segera melayangkan surat ketetapan pajak kepada para kontraktor itu setelah penelitian audit BPKP selesai. "Akan kami tagih semuanya," ujarnya. Dia menambahkan pemerintah juga akan merenegosiasi kontrak dengan para kontraktor. Sedangkan tax treaty yang dibuat pada 2010 dan seterusnya tidak lagi mencakup sektor migas.

Anne L. Handayani, Ucok Ritonga, Iqbal Muhtarom, Gustidha Budiartie


Kurang Bayar PPh Migas 2008 (dalam US$)
Vico Indonesia9,15 juta
BP West Java Ltd9,21 juta
Total E&P Indonesie4,24 juta
Star Energy7,66 juta
PetroChina Int'l Ind40,79 juta
ConocoPhillips South Jambi Ltd1,92 juta
Chevron Makassar Ltd1,23 juta
Pertamina-Golden Spike5,65 juta
Chevron Pacific Indonesia185.690
Exxon Mobil Oil Ind Inc28,69 juta
Mobil Exploration Ind Inc33,09 juta
BP West Java Ltd5 juta
Premier Oil Natuna Sea BV9,28 juta
Total176,12 juta
EkuivalenRp 1,6 triliun
Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK 2010

Kurang Bayar Inkonsistensi Tarif (dalam US$)
PT PHE Rokan CPP1,21 juta
Exxon Mobil Oil Ind Inc12,94 juta
Mobil Expl Ind Inc26,9 juta
Premier Oil (area Natuna Sea)38,37 juta
PetroChina Intl Ltd5,5 juta
Star Energy Ltd3,19 juta
BP West Java Ltd5,09 juta
CNOOC Ses Ltd1,91 juta
ConocoPhillips (Grissik)56,32 juta
Phe Ogan Komering-JOB P-TOKL2,1 juta
PetroChina Int'l477 ribu
BP Berau Ltd4,62 juta
BP Muturi Ltd19.380
BP Wiriagar Ltd501.450
TOTAL159,33 juta
EkuivalenRp 1,43 triliun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus