Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>Pertanian</font><br />Harga Naik Pasokan Cekak

Wereng cokelat menyerbu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Sentra penghasil beras tekor.

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mindratno sengaja tak melego gabah yang dipanen akhir bulan lalu. Petani asal Undaan Tengah, Kudus, Jawa Tengah, itu menimbun enam ton gabah keringnya. Kepada tengkulak yang menungguinya di tepi sawah ketika panen, ia berujar mantap, "Mboten kulo sade (tidak saya jual)."

Iming-iming harga tengkulak Rp 4.000 per kilogram—jauh di atas harga pembelian pemerintah Rp 2.650—tak membuat pemilik dua hektare sawah itu berubah pikiran. Pria 61 tahun itu sudah memutuskan menyimpan gabahnya untuk persiapan masa tanam September nanti.

Tak sedikit petani seperti Mindratno, menahan gabah di rumah. Gara-garanya, produksi jeblok oleh hama wereng batang cokelat, yang merajalela di area persawahan. Produksi gabah Desa Undaan Tengah turun 30 persen. Mindratno, misalnya, cuma memperoleh tiga ton per hektare, separuh dari hasil panen Desember tahun lalu.

Di Kabupaten Kudus, 214 hektare lahan rusak diserang wereng, mengalami puso—gagal panen—atau terendam banjir. Produksi hanya mencapai 107.719 ton, turun delapan persen dibanding tahun lalu.

Menurut Kepala Seksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian, Perikanan, dan Perkebunan Kabupaten Kudus Harsito, "Semua sentra beras, seperti Boyolali, Grobogan, Klaten, dan daerah Pantura, hampir merata terserang wereng." Hama yang sama menyerbu daerah penghasil beras lain di Jawa Timur.

Kementerian Pertanian mencatat area di Pulau Jawa memang paling banyak diserang wereng. Di Jawa Timur, misalnya, 34.083 hektare sawah rusak, di Jawa Tengah 12.075 hektare, dan Banten 1.566 hektare.

Menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Udhoro Kasih Anggoro, anomali iklim ekstrem basah tahun lalu menyebabkan pola tanam tidak teratur. Keadaan ini memicu peningkatan populasi wereng. Tapi, secara nasional, area yang dinyatakan puso akibat iklim dan hama sampai pertengahan tahun ini 26 ribu hektare, masih jauh di bawah angka tahun lalu, 100 ribu hektare.

Relatif kecilnya area persawahan yang dinyatakan puso, kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, lantaran Kementerian Pertanian menggunakan angka produksi ramalan (aram) Badan Pusat Statistik. Di beberapa daerah memang terjadi penurunan produksi akibat hama wereng, banjir, dan kekeringan. Tapi, secara nasional, "Relatif rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya," kata Bayu.

Pada 1 Juli lalu, Badan Pusat Statistik memang telah mengeluarkan aram II, yang merujuk realisasi produksi Januari-April dan angka perkiraan Mei-Desember berdasarkan luas tanaman akhir April. Diperkirakan petani Indonesia akan memanen 68,47 juta ton gabah kering giling pada 2011, naik 2,4 persen ketimbang tahun lalu.

Ketika mempublikasikan aram II, Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengatakan naiknya produksi disebabkan oleh peningkatan area sawah seluas 313.150 hektare atau naik 2,36 persen. Diprediksi, Jawa menyumbang kenaikan produksi 0,46 juta ton, sedangkan luar Jawa 1,13 juta ton. Daerah penyumbang terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Lampung. Sebaliknya, beberapa daerah akan menurun hasil panennya, yakni Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Toh, meski produksi padi masih bisa naik sedikit, menurut Bayu, pemerintah tetap memberi perhatian khusus terhadap wabah wereng di sejumlah daerah. Area terserang tergolong luas. Untuk menekan serangan hama itu, pemerintah akan menyediakan bantuan pestisida. Upaya deteksi dini juga dilakukan melalui pengendalian dini (spot stop) dan mekanisme tanam serentak.

l l l

Berdiri di pematang sawah, Syamsudin mengawasi belasan buruh petik yang sedang merontokkan buliran padi di papan bambu Rabu siang pekan lalu. Terik mentari yang memanggang tubuhnya tak digubris. Sambil mengisap sebatang kretek, petani dari Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, itu menikmati suasana.

Panen musim rendheng kali ini benar-benar berkah bagi Syamsudin. Padi tumbuh subur dengan buliran lebat dan montok. Tak ada hama seperti tahun lalu. Satu hektare sawahnya bisa menghasilkan tujuh ton lebih gabah kering pungut. Di pinggir sawah, seorang tengkulak menanti, menawarkan harga Rp 4.200 per kilogram.

Pria 50 tahun itu sudah berhitung, akan mengantongi Rp 32 juta. Dipotong ongkos produksi Rp 4 juta dan upah petik Rp 4,2 juta, Syamsudin masih bisa membawa pulang Rp 23,8 juta. "Cukup buat tiga bulan ke depan, sambil menunggu masa tanam dan panen berikutnya."

Musim panen kali ini Karawang beruntung. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Nahrowi, daerahnya sudah memenuhi separuh lebih target produksi tahun ini, 1,435 juta ton gabah kering giling. Dengan luas lahan 97.529 hektare, rata-rata produksi 7,4 ton per hektare, pemerintah daerah memproyeksikan pertumbuhan panen lima persen.

Petani di Subang, Jawa Barat, juga berpesta. Rios, petani asal Sukasari, membawa pulang Rp 22 juta pada panen raya kali ini. "Itu pendapatan bersih," katanya. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang Djadja Rohadamadja mengatakan, per Juli ini telah memperoleh 614 ribu ton atau 60 persen dari target produksi 1,1 juta ton gabah kering giling. Area produksi di kabupaten ini 97.496 hektare.

Anehnya, stok berlimpah di Karawang dan Subang tidak membuat beras menjadi murah. Sebaliknya, harga gabah dan beras terus naik, terutama sepanjang pekan lalu.

Imih Holimah, pemilik kios beras Sinar Jaya di Pasar Panjang, Subang, mengatakan beras jenis premium dijual Rp 6.500 per kilogram Rabu pekan lalu. Lima hari sebelumnya masih Rp 5.500. Padahal pemerintah membanderol beras jenis ini Rp 5.600 per kilogram. Dari 30 ton stok dagangan Imih, tersisa lima ton. "Mau beli lagi, susah," katanya. "Harga di bandar Rp 6.200 sekarang."

Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo, harga naik lantaran pasokan cekak. Panen di beberapa daerah berkurang. Indikasinya, cadangan di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, tak setinggi tahun lalu.

Selasa pekan lalu, stok tercatat 24.190 ton, cukup untuk memenuhi kebutuhan DKI Jakarta selama delapan hari. Stok rata-rata bulanan selama Juli turun 23,31 persen dibanding pada Juli tahun lalu. Artinya, suplai dari daerah ke Cipinang berkurang.

Kewajiban Bulog menyerap beras dari dalam negeri, kata Gunaryo, ternyata turut mengerek harga. Di tingkat petani, Bulog berkompetisi dengan para tengkulak, memberi penawaran harga terbaik. "Jadi kejar-kejaran," ujar Gunaryo.

Akibatnya, harga di tingkat konsumen menjadi mahal. "Serba salah," kata Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso, "Bulog membeli beras petani salah, enggak membeli juga salah."

Sutarto mengatakan persoalan sesungguhnya sederhana: suplai dan permintaan. Begitu suplai terganggu, harga pasti akan naik. Terbukti, hingga Kamis pekan lalu, Bulog telah mengeluarkan 156 ribu ton beras untuk operasi pasar. Padahal biasanya untuk menstabilkan harga di tingkat eceran perlu 15-20 ribu ton setahun. "Ini membuktikan ada persoalan pasokan."

Bila harga di level petani naik, kata Sutarto, mestinya Bulog tidak mengambil. Sebab, pembelian pada harga mahal akan merugikan karena Bulog nanti menjual melalui operasi pasar pada harga murah. Berdasarkan pengalaman, Bulog empat kali menaikkan harga beli, hasilnya nihil. Insentif kenaikan harga itu tidak membuat penyerapan gabah petani oleh Bulog menjadi lebih tinggi.

Menurut Sutarto, mestinya yang diperkuat adalah cadangan Bulog sehingga, ketika harga naik, stok bisa dilepas untuk menstabilkan harga. Persoalannya, seperti sekarang, cadangan terus berkurang untuk program beras murah untuk rakyat miskin sebesar 260 ribu ton per bulan dan operasi pasar yang dilakukan sejak akhir Juni lalu. Makanya pemerintah memutuskan mengimpor beras akhir tahun ini. Volumenya sedang dihitung.

Menurut Bayu, untuk mengamankan stok dalam negeri pada level 1,5 juta ton saja, perlu didatangkan beras impor 1,5-2 juta ton. Sutarto berharap segera ada keputusan pemerintah supaya Bulog bisa merancang harga termurah.

Retno Sulistyowati, Bandelan A. (Kudus), Nanang S. (Karawang, Subang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus