Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menonton film di negeri jiran menghadirkan pengalaman "luar biasa" bagi Renditha Kirana. Bukan lantaran Kung Fu Panda 2 dan Green Lantern yang dinikmatinya di Singapura dua pekan lalu itu ciamik, tapi karena inilah film termahal yang pernah ditontonnya.
Tak kurang dari Rp 8 juta harus ia "relakan" demi memuaskan hasratnya. Selain untuk membeli tiket pesawat dan sewa kamar hotel bintang tiga, duit itu ludes untuk ongkos makan dan wira-wiri di Negeri Singa selama tiga hari. "Inilah liburan termahal saya," kata karyawati perusahaan telekomunikasi pelat merah ini.
Bioskop Golden Village Marina Bay, tempatnya menonton, dengan harga tiket Sin$ 8,5 atau sekitar Rp 60 ribu, yang lebih mahal ketimbang karcis bioskop 21 atau Blitz Megaplex di Jakarta (maksimal Rp 50 ribu), fasilitasnya pun tak jauh berbeda. Meski begitu, niat Renditha ke Singapura tak surut, karena dua film itu tak diputar di Jakarta. "Kalau ada di Jakarta, buat apa pergi ke sana?" ujar lajang 30 tahun ini.
Menonton ke luar negeri belakangan menjadi pilihan pecandu film di Indonesia, setelah sinema unggulan Hollywood tak lagi masuk pasar domestik. Ini dikarenakan tiga importirnya, yaitu PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film, terganjal tunggakan pajak Rp 310 miliar.
Pelarangan untuk Amero memang sudah dicabut bulan lalu. Tapi anak usaha 21 Cineplex itu hanya bisa mengimpor film produk studio kelas dua. Akibatnya, "Bioskop hanya terisi setengah dari kondisi biasa," kata David Sadeli, manajer umum jaringan bioskop 21. Sebaliknya, pada momen libur sekolah, akhir Juni lalu, turis bioskop asal Indonesia mengalir ke Hong Kong, Kuala Lumpur, Singapura, dan Bangkok.
Ben Sukma, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia, memperkirakan wisatawan di masa libur itu, termasuk turis bioskop, mencapai tiga juta orang atau setengah dari perkiraan pelancong tahun ini. Dari jumlah itu, separuhnya menuju kota-kota di kawasan Asia Tenggara, karena jaraknya dekat. "Selain itu, karena dipicu layanan penerbangan murah," ujarnya.
Fenomena ini ditangkap pula oleh para pebisnis jasa perjalanan. Selain paket liburan murah, beberapa dari mereka menawarkan layanan nonton bareng, yang terdiri atas tiket pesawat pulang-pergi, hotel untuk dua hari, serta tiket plus transportasi ke bioskop.
Salah satu penyelenggara layanan ini adalah Obaja Tour. Sejak Juni lalu, agen perjalanan yang berkantor di Bandengan, Jakarta Utara, ini menawarkan paket nonton di Singapura yang dibanderol US$ 400 atau sekitar Rp 3,6 juta per orang. Saat itu ada tiga film yang ditawarkan, yakni Kung Fu Panda, X-Men, dan Green Lanterns. "Harganya bisa lebih murah jika kebetulan ada diskon promosi tiket pesawat," kata Hendra Tjong, Asisten Manajer Obaja Tour.
Bulan ini pilihan tur film Obaja diganti dengan Harry Potter Deathly Hallow Part 2 dan Transformers 3. Namun, kata Hendra, perjalanan hanya bisa dilakukan jika sudah terkumpul minimal 15 peserta.
Ini berbeda dengan Day Tour di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, yang melayani paket nonton ke Bangkok atau Singapura tanpa harus berombongan. Tapi harganya lebih mahal, yakni US$ 600-800. "Tiap bulan ditargetkan ada 100 pembeli," ujar Herman Hadina, petugas tiket perusahaan itu.
Tak hanya agen perjalanan, operator seluler Telkomsel tak ingin ketinggalan memanfaatkan fenomena ini untuk promosi layanan Internet mobile-nya. Awal Juni lalu, 25 orang pemenang lomba mengunduh game telepon seluler diberangkatkan ke Hong Kong untuk menonton Transformers 3.
Pekan depan, 30 pemenang kontes blog akan menonton Harry Potter di Singapura. Baik blogger maupun pengunduh game tentunya pemakai Internet Simpati. "Ini untuk mengikat pelanggan," kata Tengku Ferdi Febrian, Brand Manager Simpati.
Bagi sejumlah negara, termasuk Singapura, sengkarut importir film ini jelas mendatangkan peluang kian bertambahnya kunjungan turis asal Indonesia. Apalagi data yang dirilis Singapore Tourism Board menyebutkan jumlah wisatawan yang melancong ke negeri itu paling banyak berasal dari Indonesia, yaitu 577 ribu atau 19 persen.
Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo