Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangan-tangan keriput itu masih lincah memotong dan mengasah bongkahan kayu. Suatu hari di awal bulan Desember, Harjokemun Al Moloq, 84 tahun, tengah menyelesaikan pembuatan topeng Pangeran Prabu Kelono Sewandono—salah satu topeng yang digunakan dalam berkesenian reog.
Mbah Moloq, begitu ia biasa disapa, sudah menekuni pembuatan kerajinan reog selama lebih dari 65 tahun. Ia tak hanya ahli membuat topeng Prabu Kelono atau topeng Pujang Ganom, tapi juga dadak merak dan singo barong, yang menjadi tokoh utama dalam sebuah kelompok reog. Ia mampu menuntaskan seperangkat reog dalam satu bulan. Hari itu, ia tengah mencicil pesanan dari Wonogiri.
Moloq, warga Desa Jinglong, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, beruntung masih menerima pesanan. Sepanjang 2007, ia menerima delapan pesanan, termasuk satu perangkat reog lengkap pesanan Malaysia. Kiriman ini merupakan yang ketiga setelah 1967 dan 2001. Reog buatannya juga pernah merambah Amerika Serikat, Australia, dan Belanda. Tapi pesanan terbanyak memang dari negeri sendiri.
Satu set reog komplet, yang terdiri atas dadak merak, singo barong, pakaian penari, topeng, dan gamelan dengan kualitas kelas satu, dia patok Rp 55 juta sampai Rp 75 juta. Usaha itu adalah warisan turun-temurun dari ayah dan kakek buyutnya. Moloq belajar membuat reog dari ayahnya sejak berusia 10 tahun, sampai kemudian ia mewarisi usaha itu tujuh tahun kemudian. Kini modal awal dari warisan yang tadinya hanya Rp 10 juta telah berkembang menjadi lebih dari Rp 300 juta.
Mbah Moloq salah satu dari 15 perajin reog di Ponorogo yang masih bertahan. Menurut data Pemerintah Kabupaten Ponorogo, sebelumnya ada 25 perajin.
Eko Yudho, 43 tahun, juga menggantungkan hidupnya dari membuat kerajinan reog. Seperti Moloq, warga Kelurahan Tambakbayan, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, itu pernah mengekspor ke Malaysia dan Suriname.
Ia juga mewarisi usaha dari keluarganya. ”Sebenarnya saya ingin jadi tentara, tapi karena keterbatasan biaya, sebagai anak pertama saya harus meneruskan usaha keluarga,” ujar pria yang akrab dipanggil Pak Kenthut itu.
Sayang, usaha kerajinan yang menjadi sandaran hidup sebagian warga Ponorogo selama puluhan tahun itu kini terancam kolaps. Pesanan kerajinan reog Pak Kenthut, misalnya, selama tiga tahun terakhir terus turun. Tahun lalu, ia hanya menerima pesanan 10 dadak merak. Padahal, pada 2006, ia menerima order dua kali lipatnya. Bahkan 12 tahun lalu dia bisa membuat 40 dadak merak.
Persaingan antarperajin memang ketat. Selain itu, usia dadak merak yang bisa bertahan 10-15 tahun membuat orang tak sering membeli kerajinan reog. Bahkan, seperti diceritakan Sekretaris Yayasan Reog Ponorogo Budi Satrijo, upaya pemerintah setempat mendorong usaha ini dengan mengharuskan 135 desa di Ponorogo memiliki perangkat reog lengkap tak banyak membantu. Para perajin tinggal berharap pesanan dari luar Ponorogo, seperti dari Sumatera dan Kalimantan. Itu pun tak lagi deras mengalir.
Berbagai festival tetap tahunan pun tak banyak menolong. Setiap tahun setidaknya ada dua festival besar. Pekan pertama Januari lalu, misalnya, adalah festival nasional yang ke-14. Reog juga digelar setiap tanggal 15 bulan Jawa. Festival juga diadakan di tingkat sekolah menengah. Semua itu dilakukan agar kesenian dan pelaku yang terlibat di dalamnya, termasuk perajin, tetap mampu bertahan.
Apa daya, usaha kerajinan reog tetap redup. Penyebabnya adalah tingginya harga bahan baku utama bulu merak untuk dadak merak, yang harus diimpor dari India. Sampai Desember lalu, harga bulu impor ini sudah Rp 5.000 per lembar, padahal di awal tahun masih Rp 1.800. Bulu merak dari Bojonegoro, Blora, Cepu, dan Situbondo memang lebih murah, tapi kualitasnya tidak bagus.
Begitu pula harga kepala harimau untuk singo barong. Tapi perajin masih bisa menyiasatinya dengan membuat singo barong dari kulit sapi yang dibentuk seperti kepala harimau. Ini berbeda dengan bulu merak, yang tak tergantikan. Mahalnya bahan baku inilah yang membuat sebagian perajin reog, yang rata-rata pengusaha kecil, bertumbangan.
Grace S. Gandhi, Dini Mawuntyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo