Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA berselang dua pekan, Muhamad Geng Wahyudi harus mengulang keputusan pahit. Awal tahun tikus ini ia terpaksa memberhentikan 91 karyawan. Pabrik Rokok Ageng Jaya miliknya di Pakisaji, Malang, tak mampu lagi menggaji mereka. Dengan lidah kelu, kepada wajah-wajah memelas di depannya, ia mengucap salam perpisahan kedua. Pekerjanya kian menyusut, dari 216 hanya tersisa 88 orang.
Pemangkasan beruntun ini buntut peraturan Menteri Keuangan yang baru. Menteri Sri Mulyani menetapkan, mulai 1 Januari, tarif cukai rokok per batang (cukai spesifik) naik. Tahun lalu, pabrik yang memproduksi sigaret kretek tangan filter (SKTF) kurang dari 6 juta batang hanya dikenai pajak Rp 3 per batang ditambah 4 persen cukai progresif (advalorem). Kini cukainya menjadi Rp 35. Advaloremnya pun melejit hingga 22 persen.
Wahyudi menilai, penyamarataan cukai spesifik menjadi Rp 35 untuk setiap kelas industri merupakan hilangnya keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha kecil. Yang membuat makin miris, jika advalorem industri kecil dinaikkan, yang besar malah makin dimanja (lihat tabel). "Saya yakin seluruh Indonesia keberatan," kata Wahyudi.
Lonjakan itu membuat biaya produksi membengkak. Satu rim cukai berisi 60 ribu keping, yang dulu Rp 62,9 juta, kini menjadi Rp 128,9 juta. Tak ayal, Me Mild, merek dagang andalan Ageng Jaya, harus banting produksi. Rokok dengan banderol Rp 6.100 itu kini hanya dibuat kurang dari 12 ribu batang per hari, tak sampai separuh dari biasanya.
Bahan baku turut menekan. Naiknya cukai memicu harga cengkeh, tembakau, dan kertas ikut melambung. Para pedagang mencuri start sebelum peraturan diberlakukan. Desember tahun lalu, cengkeh sudah bertengger di angka Rp 58 ribu per kilogram-sebelumnya Rp 30 ribu. Tembakau melonjak 20-30 persen.
Maka Wahyudi memilih Mata Mas, merek lain berjenis sigaret kretek tangan (SKT), menjadi andalan. Pilihan berat karena di segmen ini persaingan begitu ketat. Alhasil, orang-orang yang sudah empat tahun bersamanya diberhentikan. Bagi yang masih tertahan, jam kerja juga kian susut. Biasanya pukul empat sore mereka baru kelar, kini selesai kumandang azan zuhur pabrik sudah sepi.
Menurut Ketua Paguyuban Pengusaha Rokok Kecil Indonesia (Paperki) Kabupaten Malang ini, semua anggota paguyuban, sejumlah 194 perusahaan, tak luput dari hantaman cukai. Pengurangan buruh dan jam kerja kian menjalar. "Bahkan empat pabrik sudah tak beroperasi."
Bukan hanya di Malang. Rintihan kematian juga terdengar di Kediri, Nganjuk, Jombang, Pasuruan, Kudus, dan sentra pabrik kecil yang lain. Soesilo, pemilik Pabrik Rokok Wijaya Sentosa, kini sering terlihat merenungi usahanya. Tahun lalu, Fokus, merek rokoknya, masih menjadi tumpuan 40 orang. Dulu, dari rumah di Dusun Combre, Kecamatan Prambon, Nganjuk, rezeki diraup.
Namun bangunan seluas dua lapangan basket itu kini sering terlihat lengang. Belum lagi matahari bergeser ke barat, delapan orang yang tersisa bergegas pulang meninggalkan rumah kontrakan itu. "Sudah tidak bisa melinting banyak-banyak," kata Pangati. Biasanya dia menghasilkan 2.000 batang per hari dan membawa Rp 14 ribu, sekarang paling banyak setengahnya.
Sang majikan pun harus memutar otak. Soesilo, mantan Asisten Wakil Direktur Bidang Pengolahan PT Gudang Garam, tengah berusaha menyelamatkan usaha yang dimodali uang pesangon pabrik rokok terbesar di Indonesia itu dari tubir kehancuran. "Negara terang-terangan membunuh industri kecil," katanya sembari menerawang ke langit-langit yang berdebu dan beraroma saus tembakau.
Jauh hari sebelum aturan ini diberlakukan, gugatan secara sporadis disampaikan. Tiga pekan setelah Sri Mulyani membubuhkan tanda tangan pada 1 November 2007, 600 buruh linting dari berbagai perusahaan rokok di Kediri, Nganjuk, dan Jombang mendatangi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Kediri. Mereka ingin aturan bernomor 134 itu dibatalkan.
Paperki Malang melakukan hal serupa sehari setelah tahun baru. Bahkan, seminggu sesudahnya, mereka melayangkan surat ke Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Keuangan, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang ditembuskan ke Presiden Yudhoyono, dengan tuntutan sama.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi membenarkan adanya reaksi keras. Namun ia mengaku tak berhak memberikan kepastian atas tuntutan itu lantaran kebijakan di kementerian. Tapi dengan tegas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu membantah pendapat bahwa regulasi baru membebani pengusaha.
Kenaikan cukai spesifik, kata dia, sudah dikompensasi dengan turunnya advalorem. Nah, disamakannya SKTF dengan sigaret kretek mesin (SKM) itu karena sering ada praktek manipulasi. Menurut dia, banyak pabrik dengan izin SKT tapi mesinlah yang memproduksi. "Pemerintah tidak akan mundur," kata Anggito.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Ismanu Soemiran menyokong langkah tadi. Dia sering mendapati izin yang diselewengkan. Aturan baru itu juga akan menyehatkan industri. Hanya yang kuatlah yang bisa bertahan dan berkompetisi menghadapi pasar global. Dia meramalkan, dari hampir 5.000 pabrik, separuhnya akan tumbang. Namun ia yakin anggotanya yang terdiri atas pabrik kelas I dan II tak akan goyah.
Berbagai alasan itu membuat Wahyudi jengkel betul. Dia menilai, seharusnya pemerintah cukup menindak tegas siapa pun yang menyelewengkan izin. Jika aturan itu tetap diberlakukan, ia yakin ribuan pabrik bakal tutup. Bukan tidak mungkin akan ada eksodus dari industri rokok legal ke ilegal. Rokok tanpa cukai akan kian bertebaran.
Muchamad Nafi, Dwijo Maksum (Nganjuk), Bibin Bintariadi (Malang)
Perubahan Tarif Cukai
Jenis Rokok | Gol. | Produksi Batang | Cukai | |
Lama | Baru | |||
SKM | I | < 2 miliar | 40 | 36 |
II | 500 juta-2 miliar | 36 | 35 | |
III | > 500 juta | 26 | 22 | |
SKT | I | < 2 miliar | 22 | 18 |
II | 500 juta-2 miliar | 16 | 10 | |
III-A | 6 juta-500 juta | 8 | 0 | |
III-B | > 6 juta | - | 4 | |
SKTF | I | < 2 miliar | - | 36 |
II | 500 juta-2 miliar | - | 35 | |
III | >500 juta | - | 22 |
Produksi Rokok Nasional (2006)
Gol. | Jumlah Pabrik | Produksi (miliar batang) | Cukai (triliun rupiah) |
I | 6 | 164,158 | 32,644 |
II | 25 | 22,340 | 2,477 |
III-A | 96 | 25,641 | 1,778 |
III-B | 3.834 | 6,687 | 0,637 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo