Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sari-sarinya para pengurus daerah Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia hadir dalam rapat evaluasi rutin pengurus pusat, Jumat siang dua pekan lalu. Di kantor Sekretariat Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Gedung Adi Graha, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, para pengusaha itu membahas agenda penting: dampak apresiasi rupiah.
Dalam enam bulan terakhir, nilai tukar rupiah terus menguat terhadap dolar Amerika Serikat. Sejak awal Januari hingga awal Agustus ini, rupiah telah menguat Rp 435 atau sekitar lima persen, menembus level Rp 8.900. Ini bukan perkara remeh bagi eksportir sekaligus juga importir. ”Buat kami, level di bawah Rp 9.000 per dolar sudah rawan,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Benny Soetrisno kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Nilai ekspor para pengusaha menurun gara-gara rupiah melonjak tajam terhadap dolar. Padahal, saat mereka membeli bahan baku impor, sebagian besar menggunakan kurs Rp 9.100-9.200 per dolar. Para pengusaha pun terancam tekor. Penguatan tajam rupiah, kata Benny, juga berpotensi mengurangi daya saing eksportir, karena produknya relatif lebih mahal dibanding produk sejenis dari negara lain.
Pengusaha besi baja dan tekstil paling banyak mengeluh. Menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Ekspor Toto Dirgantoro, para pengusaha kedua sektor itu terancam kehilangan pendapatan lima persen akibat rupiah menguat tajam. ”Kami tak bisa menyarankan mereka melakukan lindung nilai (hedging) karena biayanya juga mahal,” kata dia.
Menurut Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan, kedigdayaan rupiah tak lepas dari persepsi investor asing yang menilai perekonomian Indonesia baik dengan pertumbuhan ekonomi 5,9 persen. Risiko Indonesia semakin berkurang dengan indikasi credit default swap yang rendah—saat ini mendekati 200 dari semula 900-an.
Peringkat Indonesia juga sudah mendekati layak investasi. Alhasil, arus dana investor asing ke pasar saham, Surat Utang Negara, dan Sertifikat Bank Indonesia sangat deras. Selama Juli saja, fulus asing yang masuk ke sini mencapai Rp 13-14 triliun. ”Itu yang membuat rupiah cenderung menguat,” ujarnya.
Berdasarkan perhitungan real effective exchange rate yang memperhitungkan inflasi dalam negeri dan mata uang mitra dagang Indonesia, sejak Januari 2010 sampai Juli lalu, indeks rupiah riil telah mendekati 90-85. ”Indeks di bawah 100 menunjukkan rupiah sudah cukup kuat dan bisa mengurangi daya saing produk ekspor nasional,” kata Anton.
Rupiah yang makin berotot ini membuat Kementerian Keuangan tak nyaman. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan apresiasi rupiah yang terlalu kuat bisa membuat Indonesia tak kompetitif. ”Tapi kami yakin penguatan itu hanya sementara,” ujarnya. Sumber Tempo di Kementerian Keuangan mengungkapkan pemerintah intensif berkoordinasi dengan Bank Indonesia membahas penguatan rupiah tersebut. Pemerintah waswas karena rata-rata nilai tukar rupiah sejak awal tahun hingga saat ini sudah berada di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 sebesar Rp 9.200 per dolar Amerika. ”Dari sisi beban pembayaran utang luar negeri memang bagus, tapi ekspor terpukul,” kata Menteri Agus. Padahal ekspor merupakan salah satu penopang penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.
Pejabat Sementara Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Agus Supriyanto mengatakan koordinasi dengan bank sentral terus dilakukan. Penguatan bisa menghemat pembayaran utang luar negeri. Tapi di sisi lain bisa mengancam sektor industri, terutama eksportir. Tapi, kata dia, penguatan rupiah belum terlalu mengkhawatirkan. Berdasarkan simulasi Badan Kebijakan Fiskal, sensitivitas penguatan nilai tukar terhadap pertumbuhan tak terlalu besar. Setiap penguatan satu persen dari asumsi anggaran, produk domestik bruto hanya berkurang 0,027 persen. ”Kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan juga kecil, tak sampai 10 persen,” katanya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A. Sarwono mengatakan bank sentral akan terus memantau pasar dan mengintervensi agar rupiah tak melemah atau menguat terlalu cepat, yang bisa menyebabkan pasar bergejolak. ”Bila bergejolak terlalu cepat, yang rugi bukan hanya eksportir, melainkan juga importir,” katanya.
Agoeng Wijaya, Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo