Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Riuh Lumbung di Bumi Merauke

Dua kali diluncurkan, masih banyak hambatan untuk Merauke Food Estate and Energy. Tarik-ulur tak mengendur.

16 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA ratus hektare lebih lahan jagung di Distrik Kurik, Kabupa­ten Merauke, Papua, menganggur. Di Distrik Wasur, 40 hektare lahan merana sejak panen jagung terakhir, pengujung tahun lalu. Ketika itu pengelola lahan, PT Bangun Tjipta Sarana, memancangkan niat menyebar benih sebulan kemudian, menunggu musim hujan kelar. Eh, sampai sekarang, tujuh bulan berlalu, kebun masih kosong melompong.

Bisnis jagung memang sedang meredup. Harganya terus merosot sejak panen raya Oktober-November 2009. Di Jember, Jawa Timur, misalnya, harga di tingkat petani yang biasanya Rp 2.500 merosot menjadi Rp 1.900 per kilogram. Di pasar dunia pun jatuh dari US$ 320 sen menjadi US$ 240 sen tiap kilogram. Akibatnya, ”Penanaman jagung disetop karena harga tidak ekonomis,” kata Komisaris Bangun Tjipta, Siswono Yudohusodo, Kamis pekan lalu. ”Ngapain harus bunuh diri?”

Remuknya harga jagung mewarnai pembukaan Merauke Integrated Food Estate and Energy, sebuah megaproyek pertanian dan energi kontroversial yang dilansir pemerintah. Dari ujung timur Indonesia inilah lumbung pangan nasional bakal dibangun. Kebutuhan padi dan tebu nasional bakal dipasok dari sini. Perkiraan awal, Merauke Food jangka pendek, 2010-2014, akan menambah pasokan beras nasional minimum 500 ribu ton per tahun dan 600-800 ribu ton ”gula mentah” per tahun.

Rabu pekan lalu, Menteri Pertanian Suswono meluncurkan Merauke Food Estate, di Merauke. Ini peluncuran kedua, setelah peresmian awal Februari lalu. ”Kali ini grand launching,” kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi.

Seolah menandai langkah yang belum padu, acara pembukaan tak terlalu meriah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono absen, juga beberapa menteri. Rencana telekonferensi dengan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa pun ikut batal. Kabinet sedang sibuk menjelang penyampaian nota keuangan pada 16 Agustus.

Sejak awal, proyek Merauke Food terasa kurang gereget. Sederet kendala muncul silih berganti dalam pengembangan pangan dan energi di Merauke, yang diteken Suswono dan Bupati Merauke Johanes Glube Gebze, Juni lalu. Salah satunya, Merauke belum ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus, status yang penting sebagai payung hukum pengembangan kawasan. Status ini bisa memuluskan perjalanan Merauke Food Estate, misalnya dengan pemberian insentif.

Persoalannya, seorang sumber menambahkan, beberapa menteri waswas, fiskal akan bobol bila kawasan ekonomi khusus dijalankan. Berbagai da­erah bakal menuntut fasilitas serupa. Kekhawatiran itu memang masuk akal. Bayangkan jika lima daerah yang sedang antre—Sumatera Utara, Dumai, Kalimantan Timur, Jawa bagian utara, dan Merauke—ditetapkan menjadi kawasan khusus. ”Ada potential loss yang besar,” kata sumber.

Insentif, menurut Menteri Hatta, tak bisa diberikan begitu saja kepada semua investor. Harus dilihat berapa modal yang ditanamkan, dalam bentuk apa, dan berapa banyak tenaga kerja yang terserap. Tak bisa generik. ”Harus dikaji satu per satu,” katanya.

Ada lagi kendala yang lebih serius, yakni soal lingkungan dan tata ruang wilayah. Megaproyek ini menuntut konversi hutan dalam skala luar biasa. Bagi aktivis lingkungan, Merauke Estate Food terkesan bertentangan dengan komitmen Susilo Bambang Yudhoyono untuk menekan laju deforestasi demi menekan emisi karbon 26 persen. ”Alih fungsi lahan secara masif tentu mengacaukan keseimbangan ekologis,” kata M. Islah, Manajer Kampanye Air dan Pangan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dalam siaran persnya.

Sampai kini Pemerintah Provinsi Papua memang belum menerbitkan peraturan daerah tentang tata ruang Merauke. Menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Yan Ayomi, belum satu pun rancangan peraturan daerah diajukan eksekutif, sepanjang tahun ini. ”Kalau mereka ajukan, pasti segera dibahas,” kata Yan Ayomi.

Ketiadaan rancangan peraturan daerah itu membuat Bupati John Geb­ze risau. Pak Bupati menyesalkan sikap provinsi yang terkesan menghambat. ”Rencana tata ruang penting untuk mendukung pembangunan da­erah,” kata Bupati John Gebze.

Bayu Krisnamurthi menjelaskan, sebenarnya Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional yang dipimpin Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto telah merekomendasikan 1,28 juta hektare untuk dikembangkan di Merauke. Namun sebagian dari lahan itu adalah area gambut yang tak boleh diutak-atik. ”Pemerintah provinsi cuma menyetujui 550 ribu hektare,” kata Bayu.

Tarik-ulur Jakarta-gubernur-bupati itu pun dibawa ke pusat. Hatta memanggil sejumlah pihak yang berkepentingan, bulan lalu. Diputuskan, area yang bisa dipakai 760 ribu hektare, diperoleh dari 1,28 juta hektare dikurangi lahan gambut. ”Sudah dikonfirmasi, tidak ada gambutnya.” Angka itulah yang dijadikan referensi awal. ”Meskipun belum memiliki kekuatan hukum,” katanya.

Kementerian Kehutanan, kata Direktur Jenderal Bina Produksi Hadi Daryanto, meminta kabupaten mengutamakan area semak belukar seluas 366 ribu hektare. Sekitar 60 persennya area penggunaan lain, yang perizin­annya bisa dikeluarkan bupati. ”Untuk tahap awal, yang dipakai area semak belukar itu dulu,” kata Bayu.

l l l

BUMI Merauke benar-benar pera­wan. Kementerian Kehutanan mencatat, dari total daratan 4,7 juta hektare, 95 persen adalah hutan belantara dengan berbagai peruntukan. Hanya 200-an ribu hektare kawasan nonhutan digunakan untuk perumahan, perkantoran, dan prasarana.

Siswono Yudohusodo mengisahkan potensi Merauke yang luar biasa. Hanya di sini tersedia lahan datar tanpa halangan kontur, dengan lebar 250 kilometer dan panjang 400 kilometer. Bandingkan dengan Jawa yang kontur tanahnya tak selapang itu. Tanah datar di Jawa hanya sekitar 60 kilometer, dari pantai utara Jawa hingga Bogor. ”Habis itu ada gunung,” kata dia. Sumber air pun berlimpah, terjaga sepanjang tahun. Merauke dilewati lima sungai besar, yakni Sungai Kumbe, Bian, Maro, Digul, dan Buraka. Tidak seperti sumber air di Jawa yang telah rusak, banjir di musim hujan, dan kering saat kemarau.

Di tanah Merauke inilah pemerintah berencana membikin sentra lumbung pangan nasional terpadu. Didorong kebutuhan pangan terus mening­kat dari tahun ke tahun, seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan pendapatan. Konsumsi beras saat ini 33-34 juta ton, perlu tambahan 350-450 ribu ton saban tahun. Angka itu berdasarkan pertumbuhan penduduk 1,35 persen, dikalikan jumlah populasi 230 juta, dan rata-rata konsumsi 130 kilogram per kapita per tahun.

Bila dikonversi dalam bentuk la­han, kira-kira perlu tambahan 80-90 hektare per tahun. Asumsinya, tingkat produktivitas lahan agak rendah, sekitar 5 ton per hektare. Itu baru padi, belum kebutuhan kebun baru untuk jagung, kedelai, dan tebu. Indonesia tak bisa mengandalkan stok dunia karena pasokan internasional kerap tak menentu. Nah, dalam mengembangkan tanaman pangan kali ini, pemerintah menggaet investor.

Menurut Bayu, sejumlah perusahaan besar telah berkomitmen menanamkan modal di Merauke. Wilmar, misalnya, telah menyampaikan ke bursa Singapura, niatnya untuk ikut berkebun di Merauke. Medco Group juga memiliki proyek uji coba sekitar 50 hektare di Distrik Semangga. Kepada Tempo, Kepala Yayasan Medco Foundation Roni Pramaditia mengatakan proyek uji coba di Merauke adalah bagian dari program tanggung jawab sosial per­usahaan. ”Belum komersial,” katanya beberapa waktu lalu.

Bangun Tjipta, perusahaan milik Siswono Yudohusodo, Menteri Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan periode 1993-1998, mengan­tongi izin pengelolaan 8.000 hektare lahan dari bupati. Tapi baru digarap 400-an hektare. Sinar Mas Agro Resources and Technology alias SMARTmasih menunggu perkembangan. Kelompok usaha milik Eka Tjipta Widjaja ini telah nyemplung ke Papua sejak 1992. Di Jayapura, mereka memiliki 15 ribu hektare kebun sawit, lengkap dengan pabrik pengolahan.

Di tengah antusiasme investor, ke­terbatasan infrastruktur membuat pemodal berhitung seribu kali untuk melakukan ekspansi. Bangun Tjipta, misalnya. Akhir tahun lalu, sekitar seribu ton jagung produksinya mentok di pinggir Sungai Kumbe. Mestinya, truk pengangkut hasil pertanian ini bisa melewati jembatan, menuju Kota Merauke, sekitar dua jam perjalanan. Sialnya, jembatan reot. Kendaraan berat tak bisa melintas. Akhirnya, jagung dipindahkan ke perahu. Di seberang sungai, perlu truk lagi untuk melanjutkan perjalanan menuju ibu kota kabupaten.

Pemerintah, janjinya, tidak diam. Kementerian Pekerjaan Umum akan membangun 3.100 kilometer jalan dalam rangka program percepatan pembangunan di Papua. Sebelas ruas utama diprioritaskan, termasuk ­jalan Merauke-Tanah Merah. Sejumlah jalur irigasi pun dipermak. Menurut Siswono, infrastruktur yang dibutuhkan bukan hanya jalan. Pelabuhan juga krusial untuk mengangkut benih, pupuk, alat pertanian, hingga produk hasil panen. Bila infrastruktur tersedia, ongkos produksi bisa ditekan.

Pembangunan infrastruktur ini juga menjadi sorotan Walhi. ”Pemerintah jangan menyerahkan urusan pembangunan infrastruktur ini kepada investor dengan berbagai iming-iming,” kata M. Islah. ”Jika ini yang terjadi, hanya investor yang menikmati keuntungan, 5-10 tahun lagi tak ada pajak mengalir ke Merauke.”

Retno Sulistyowati, Iqbal Muhtarom, Tjahjono Ep (Papua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus