Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

<font size=2 color=#CC0033>Kartu Kredit</font><br />Tak Lagi Obral

Krisis membuat sebagian pemegang kartu kredit kesulitan membayar tagihan. Bank makin selektif.

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

<font size=2 color=#CC0033>Kartu Kredit</font><br />Tak Lagi Obral
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ALEX Yusfar kembali bernapas lega. Dua pekan lalu, warga Ra­wa­mangun, Jakarta Timur, itu baru membereskan salah satu ta­gih­an kartu kreditnya. Citibank setuju Alex mengangsur tagihannya hingga 12 kali. Sebelumnya, ia pusing tujuh keli­ling menutup utang bulan lalu, yang sam­pai Rp 5 juta. Apalagi di kantongnya masih ada kartu kredit Danamon dan dua bank lain. Tagihannya pun tak ka­lah jumbo.

Penjadwalan ini sangat membantu pria 50 tahun itu. Sebagai pengusaha antar-jemput anak sekolah dan pemilik sebuah sekolah musik, ia mesti punya cadangan siap pakai. Bila semua ta­gih­an harus dilunasi, brankasnya bakal kering. ”Sayang kalau harus menge­luarkan dana banyak,” kata Alex. Di ­ma­sa krisis, bukan hanya Alex yang butuh restrukturisasi utang. Resesi membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Akibatnya, kemampuan keuangan mereka pun menyusut.

Dalam kondisi seperti itu, kata Direktur Retail Bank Mega Kostaman Tha­yib, kartu kredit salah satu lini keuangan yang terimbas paling awal. Dengan kan­tong makin tipis, masyarakat akan mengutamakan pembayaran tagih­an tetap, seperti cicilan rumah atau kendaraan. Jika mereka telat bayar, risi­konya aset mereka akan ditarik bank. ”Berbeda dengan kartu kredit itu yang tidak didasarkan pada jaminan,” kata Kostaman.

Data Bank Indonesia memperkuat pendapat Kostaman. Menurut Direktur Akuntansi dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia S.W.D. Murniastuti, kredit seret (nonperforming loan) untuk kartu kredit pada tahun lalu, 10,92 persen, memang lebih kecil daripada 2007 (12 persen). Namun, secara nomi­nal, jumlah kredit bermasalah tahun lalu lebih besar karena pinjaman untuk kartu kredit (outstanding) pada 2008 mencapai Rp 29,7 triliun, jauh lebih besar daripada tahun sebelumnya (Rp 19,2 triliun).

Untuk menekan angka kredit macet itu, bank sentral telah memerintahkan lembaga keuangan yang meng­eluarkan kartu kredit lebih giat menagih nasabahnya. Bila itu dibiarkan, kata Murniastuti, bisa berbahaya karena di tengah perekonomian yang makin melemah ini kredit seret bisa melambung. Seruan ini pun langsung disambut perbankan. Bank Mega, misalnya, memberitahukan tagihan lebih awal. ”Bagi yang sudah berat, kami menggunakan tukang tagih (debt collector),” kata Kostaman.

Selain itu, bank menawarkan restruk­turisasi. Skemanya bervariasi. Salah satunya dengan penjadwalan ulang atau mengubah tunggakan menjadi angsuran. Lainnya bisa dengan menghapus bunga atau fee tertentu. ”Yang penting nasabah jujur, transparan akan kesu­litannya, dan kooperatif untuk penjadwalan ulang atau apa pun namanya,” kata Dodit W. Probojakti, Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia.

Namun Dodit tidak menyarankan para pemegang kartu menggunakan jasa pihak ketiga. Awal tahun ini memang kembali semarak tawaran mediasi dari pengacara atau advokat melalui brosur dan iklan. Menurut Dodit, ungkapan dalam iklan itu memang cukup menggiurkan. Misalnya, si nasabah diberi janji mendapat potongan hingga setengah lebih dari kewajiban. Padahal, seperti apa restrukturisasinya, semua tergantung negosiasi dengan pihak bank.

Kostaman membenarkan. ­Menurut dia, pihak ketiga hanyalah perantara, yang tidak punya kapasitas memutuskan. Tak jarang pemegang kartu kredit yang mengambil langkah ini malah ketiban sial. Selain harus membayar si perantara sekitar 20 persen dari nilai kredit, ternyata negosiasi tak menghasilkan apa-apa. Argo tagihan tetap jalan.

Langkah lain agar kartu gesek ini tak merepotkan, para penerbit akan menyeleksi calon pemegang produk lebih ketat. Selama ini, kata Dodit, standar aturan Bank Indonesia antara lain pemegang kartu berpenghasilan paling sedikit tiga kali upah minimum provinsi, pembayaran minimal 10 persen, dan eksposur kredit maksimal dua kali lipat. Kenyataannya, perang kartu kredit dalam tiga tahun terakhir membuat banyak bank mengabaikan persyaratan ini. Kini, kata Dodit, ”Bank akan lebih ketat.”

Akibat tak ada lagi obral kartu, pertumbuhan pemegang kartu utang pada tahun ini tak akan seyahud tahun lalu, yang hampir 30 persen. Wakil Presiden Direktur PT Bank Danamon Joseph Luhukay memperkirakan jumlah kartu hanya akan bertambah separuhnya. Perhitungan Kostaman tak jauh beda. Namun Dodit tetap optimistis. Menurut dia, pasar masih sangat besar dan pendapatan per kapita diprediksi akan membaik.

Muchamad Nafi, Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus