Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Menghidupkan Gamelan di Dunia Kini

Seniman Sapto Raharjo telah pergi. Ia berjuang mempopulerkan gamelan di dunia internasional. Terakhir ia mencoba menarik minat generasi muda pada instrumen itu.

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gamelan Hangeko Buwono”.­ Kata-kata itu tertulis­ di papan persegi tak lebih satu me­ter, di lantai dua kantor­nya yang sekaligus menjadi­ rumahnya, Komuni­tas Gayam 16, Yogya­karta. Artinya, gamelan menyatu bumi.

Sapto Raharjo, memang tak pernah menyembunyikan obsesinya untuk menyatukan dunia melalui gamelan. Ber­puluh tahun menjadi aktivis yang menyebarluaskan bunyi-bunyi­an mayestis dan orkestral itu ke seantero bumi—dengan hasil lumayan menggembirakan: kelompok gamelan tersebar di 35 negara.

Dua minggu, seniman gamelan dari Yogyakarta yang lahir pada 16 Februari 1955 itu, bertahan­ di rumah sakit, menghadapi usus buntu­ dan pengerut­an ulu hati. Jumat pekan­ lalu perjuang­annya berakhir sudah; pergi meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Putri ketiganya, Des­yana Wua­ni Putri, 28 tahun, yang sudah berencana melangsungkan perkawinan pada Desember mendatang, dinikahkan di samping jenazah sang ayah.

Banyak pelajaran yang bisa dipetik da­ri hidup seorang Sapto Raharjo. Ia sering bercerita tentang spirit kebersa­maan dalam gamelan. Tiap instrumen bisa berdiri sendiri, tapi ketika dimainkan semua identitas individu itu larut dalam bunyi massal 42 buah instrumen. Tidak ada musik tradisi yang mempu­nyai instrumen sebanyak gamelan Ja­wa. ”Itu sebabnya, gamelan bisa disebut simfoni kedua setelah orkestra barat.”

Pergulatannya dengan musik dimu­lai sejak kelas tiga Sekolah Dasar Unga­ran, Yogyakarta, pada 1963. Selama 8 tahun, menjadi anggota kelompok tari dan karawitan Arena Budhaya Yogyakarta. Di SMA 3 Yogyakarta, Sapto membentuk band sekolah ber­aliran rock. Ia bermain gitar, tapi tidak pernah mening­galkan gamelan. Ia bahkan sempat membuat komposisi musik eksperimental yang menggabungkan gamelan dengan musik modern.

Hingga tamat Akademi Seni Drama­ dan Film Indonesia (Asdrafi) pada 1977, Sapto masih konsisten menekuni­ gamelan. Pada 1986, dengan hati berbunga, menghadiri undangan Festival Gamelan Dunia di Kanada. Kala itu, panitia berjanji akan menggelar Festival Gamelan Dunia tahun beri­kutnya, di Indonesia. Tapi itu tak kunjung terwujud.

Untuk mengobati rasa kecewanya, ­Sap­to memasukkan konser gamelan da­­lam Festival Kesenian Yogya (FKY) 1990. Pada 1995 Sapto nekat menggelar Yogyakarta Gamelan Festival­ (YGF). Dana pas-pasan, tapi di ajang pertama­nya itu, ia berhasil menghadirkan kelompok gamelan dari berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jerman, dan Amerika Serikat.

Dalam perjalanan musiknya, bebera­pa kali berkolaborasi dengan mu­­sisi jazz seperti Andre Jaume, Alex Grillo, juga Didier Squiban, pianis yang dijuluki Keith Jarrett dari Breton. Sapto tampil bareng Didier di Yogyakarta, tujuh tahun silam. Lewat kolaborasi­ itu, Sapto merespons nada minimalis pia­no Di­dier, dengan kendang dan gong secara ritmis. Sempat memainkan gong secara tidak wajar, dengan memunculkan gaung dan resonansi. Permainan keduanya terasa selaras, menjadi sebuah kolaborasi utuh dan menyatu.

Dalam beberapa tahun belakangan, Sapto mulai melihat ke dalam. Membidik keterlibatan kalangan muda untuk mengisi YGF. Lalu digelarlah Ga­melan Gaul, yang melibatkan kelompok gamelan anak-anak, karena dia ingin gamelan dicintai anak muda. ”Saya mem­bayangkan, suatu saat nanti, saya hanya duduk sebagai penonton, kare­na YGF sudah dijalankan anak-anak muda. Kapan hal itu terjadi, saya tidak tahu,” katanya kala itu.

Keteguhan hati Sapto mempopu­ler­­kan gamelan semakin jelas keti­ka­ mengeksplorasi gamelan dengan­ teknologi modern, komputer dan synthesizer. Dia berhasil­ membuat program gamelan digital yang kini dipa­sang di Taman Pintar Yogyakarta.

Gamelan digital yang dikerjakan Komunitas Gayam 16, komunitas rintis­an Sapto, mengubah gamelan asli dengan gambar di layar lebar. Sekumpul­an program komputer yang menampilkan gambar gamelan komplet. Bila pe­ngunjung mengarahkan tetikus ke salah satu gambar di layar lalu mengklik, keluarlah bunyi alat musik itu.

Sebelum meninggal, Sapto sempat­ ber­keinginan memindahkan sejumlah­ gamelannya ke Taman Pintar Yogya­kar­­ta. Padahal di tempat itu sudah ada gamelan elektrik karyanya. Budaya­wan Emha Ainun Nadjib mengatakan, Sapto memegang prinsip dan idealisme. ”Dia lebih memilih mutu dibanding hal lainnya, seperti kekayaan,” katanya. Sapto memang berkarya dengan memberikan contoh keteladanan.

L.N. Idayanie, Muh Syaifullah, Heru C.N.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus