Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gamelan Hangeko Buwono”. Kata-kata itu tertulis di papan persegi tak lebih satu meter, di lantai dua kantornya yang sekaligus menjadi rumahnya, Komunitas Gayam 16, Yogyakarta. Artinya, gamelan menyatu bumi.
Sapto Raharjo, memang tak pernah menyembunyikan obsesinya untuk menyatukan dunia melalui gamelan. Berpuluh tahun menjadi aktivis yang menyebarluaskan bunyi-bunyian mayestis dan orkestral itu ke seantero bumi—dengan hasil lumayan menggembirakan: kelompok gamelan tersebar di 35 negara.
Dua minggu, seniman gamelan dari Yogyakarta yang lahir pada 16 Februari 1955 itu, bertahan di rumah sakit, menghadapi usus buntu dan pengerutan ulu hati. Jumat pekan lalu perjuangannya berakhir sudah; pergi meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Putri ketiganya, Desyana Wuani Putri, 28 tahun, yang sudah berencana melangsungkan perkawinan pada Desember mendatang, dinikahkan di samping jenazah sang ayah.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari hidup seorang Sapto Raharjo. Ia sering bercerita tentang spirit kebersamaan dalam gamelan. Tiap instrumen bisa berdiri sendiri, tapi ketika dimainkan semua identitas individu itu larut dalam bunyi massal 42 buah instrumen. Tidak ada musik tradisi yang mempunyai instrumen sebanyak gamelan Jawa. ”Itu sebabnya, gamelan bisa disebut simfoni kedua setelah orkestra barat.”
Pergulatannya dengan musik dimulai sejak kelas tiga Sekolah Dasar Ungaran, Yogyakarta, pada 1963. Selama 8 tahun, menjadi anggota kelompok tari dan karawitan Arena Budhaya Yogyakarta. Di SMA 3 Yogyakarta, Sapto membentuk band sekolah beraliran rock. Ia bermain gitar, tapi tidak pernah meninggalkan gamelan. Ia bahkan sempat membuat komposisi musik eksperimental yang menggabungkan gamelan dengan musik modern.
Hingga tamat Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (Asdrafi) pada 1977, Sapto masih konsisten menekuni gamelan. Pada 1986, dengan hati berbunga, menghadiri undangan Festival Gamelan Dunia di Kanada. Kala itu, panitia berjanji akan menggelar Festival Gamelan Dunia tahun berikutnya, di Indonesia. Tapi itu tak kunjung terwujud.
Untuk mengobati rasa kecewanya, Sapto memasukkan konser gamelan dalam Festival Kesenian Yogya (FKY) 1990. Pada 1995 Sapto nekat menggelar Yogyakarta Gamelan Festival (YGF). Dana pas-pasan, tapi di ajang pertamanya itu, ia berhasil menghadirkan kelompok gamelan dari berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jerman, dan Amerika Serikat.
Dalam perjalanan musiknya, beberapa kali berkolaborasi dengan musisi jazz seperti Andre Jaume, Alex Grillo, juga Didier Squiban, pianis yang dijuluki Keith Jarrett dari Breton. Sapto tampil bareng Didier di Yogyakarta, tujuh tahun silam. Lewat kolaborasi itu, Sapto merespons nada minimalis piano Didier, dengan kendang dan gong secara ritmis. Sempat memainkan gong secara tidak wajar, dengan memunculkan gaung dan resonansi. Permainan keduanya terasa selaras, menjadi sebuah kolaborasi utuh dan menyatu.
Dalam beberapa tahun belakangan, Sapto mulai melihat ke dalam. Membidik keterlibatan kalangan muda untuk mengisi YGF. Lalu digelarlah Gamelan Gaul, yang melibatkan kelompok gamelan anak-anak, karena dia ingin gamelan dicintai anak muda. ”Saya membayangkan, suatu saat nanti, saya hanya duduk sebagai penonton, karena YGF sudah dijalankan anak-anak muda. Kapan hal itu terjadi, saya tidak tahu,” katanya kala itu.
Keteguhan hati Sapto mempopulerkan gamelan semakin jelas ketika mengeksplorasi gamelan dengan teknologi modern, komputer dan synthesizer. Dia berhasil membuat program gamelan digital yang kini dipasang di Taman Pintar Yogyakarta.
Gamelan digital yang dikerjakan Komunitas Gayam 16, komunitas rintisan Sapto, mengubah gamelan asli dengan gambar di layar lebar. Sekumpulan program komputer yang menampilkan gambar gamelan komplet. Bila pengunjung mengarahkan tetikus ke salah satu gambar di layar lalu mengklik, keluarlah bunyi alat musik itu.
Sebelum meninggal, Sapto sempat berkeinginan memindahkan sejumlah gamelannya ke Taman Pintar Yogyakarta. Padahal di tempat itu sudah ada gamelan elektrik karyanya. Budayawan Emha Ainun Nadjib mengatakan, Sapto memegang prinsip dan idealisme. ”Dia lebih memilih mutu dibanding hal lainnya, seperti kekayaan,” katanya. Sapto memang berkarya dengan memberikan contoh keteladanan.
L.N. Idayanie, Muh Syaifullah, Heru C.N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo