Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN dua kepala negara itu mewakili dua pilar kekuatan ekonomi dunia yang lagi sekarat. Di Gedung Putih, Washington, DC, Selasa pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menerima kunjungan Perdana Menteri Jepang Taro Aso. Inilah pertama kalinya, sejak diangkat Januari lalu, Obama menerima pemimpin negara lain. Agenda yang dibahas antara lain krisis finansial dunia.
Kedua negara itu memang terpapar resesi paling parah. Taro bahkan datang dengan setumpuk persoalan. Ia didesak mundur gara-gara situasi ekonomi Jepang kian gawat. Ia juga baru ditinggalkan Shoichi Nakagawa, Menteri Keuangan Jepang yang mengundurkan diri gara-gara terlihat mabuk saat menghadiri pertemuan menteri keuangan tingkat dunia di Roma, Italia.
Dari pertemuan di Washington itu, keduanya sepakat bekerja sama mengatasi krisis. ”Jepang adalah mitra penting buat Amerika,” kata Obama seusai pertemuan. Mereka sepakat menstimulasi permintaan domestik dan memerangi proteksionisme. Keduanya juga berdiskusi soal nilai tukar dolar. Maklum, menguatnya yen terhadap dolar mengakibatkan permintaan ekspor Jepang melorot. Di ujung pertemuan, Taro memberikan kenang-kenangan sepasang sumpit tradisional yang berasal dari Obama, kota yang berjarak lima jam perjalanan dari Tokyo.
Namun kunjungan kenegaraan itu gagal menjadi obat penenang. Sepulang dari Amerika, Taro bak disambar petir. Rabu pekan lalu, terbetik kabar, ekspor Negeri Sakura selama Januari luruh 45,7 persen. Padahal baru pekan sebelumnya ia menerima kabar buruk lain: laju tahunan pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal keempat 2008 mengkerut 12,7 persen.
Nilai ekspor yang lebih rendah ketimbang impor itu sudah berlangsung tujuh bulan berturut-turut. Neraca perdagangannya kini defisit US$ 9,9 miliar—terburuk sejak tiga dekade lalu. Akibatnya, ”neraca perdagangan” menjadi frasa yang paling sering diperbincangkan pelaku pasar akhir-akhir ini. Maklum, ekonomi negeri itu ditopang oleh ekspor. Jebloknya nilai ekspor otomatis menggerus produk domestik bruto.
”Anjloknya ekspor itu benar-benar mengkhawatirkan,” kata Yasuhide Yajima, ekonom senior NLI Research Institute, Tokyo. Takihara Ogawa, analis Standard & Poor’s, menambahkan, iklim usaha di Jepang memburuk akibat permintaan barang menurun drastis. Permintaan itu, kata salah satu petinggi Bank of Japan, Tadao Noda, tampaknya bakal lebih rendah dalam bulan-bulan mendatang.
Penurunan ekspor itu dipelopori oleh anjloknya permintaan terhadap mobil Jepang di pasar global sampai 69 persen. Toyota, yang selama tujuh dekade tidak pernah membukukan kerugian, diperkirakan tekor US$ 5 miliar untuk tahun fiskal yang berakhir Maret ini. Nissan Motor berencana memberhentikan 20 ribu pekerja pada bulan ini. Nissan juga membukukan kerugian pertama dalam sembilan tahun terakhir.
Sama dengan sektor otomotif, industri elektronik di negeri itu pun merana. Rendahnya permintaan memaksa pabrikan ternama, seperti Pioneer dan Sony, mengurangi produksi dan memangkas tenaga kerja. Tingkat pengangguran mencapai 4,4 persen. Direktur Umum World Trade Organization Pascal Lamy mengatakan Jepang terjebak dalam situasi sulit karena sektor perdagangan menjadi tulang punggung negeri itu.
Situasi ini diperparah oleh menguatnya nilai tukar yen terhadap dolar hingga 23 persen sejak September lalu. Akibatnya, eksportir yang sudah terpukul oleh lemahnya permintaan makin tergerus pendapatannya. ”Jika yen bertahan pada level yang kuat terhadap dolar, resesi ekonomi bakal masuk ke jurang yang lebih dalam,” ujar Takeo Fukui, petinggi Honda Motor Company. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, satu dolar sekitar 97,9 yen. Kenaikan satu yen terhadap dolar, kata Takeo, memangkas pendapatan operasional perusahaan sebesar 18 miliar yen (US$ 190 juta). Produksi Honda per Januari susut 33,5 persen.
Itu sebabnya banyak ekonom menaksir loyonya ekonomi Jepang akan berlanjut pada kuartal pertama tahun ini. Takeshi Minami, Kepala Ekonom Norinchukin Research Institute, mengatakan pertumbuhan tahunan pada kuartal pertama tahun ini diperkirakan kembali minus. ”Hingga dua digit atau mendekati dua digit,” katanya. Peluang Jepang untuk kembali bangkit tahun ini sangat kecil. Jay Bryson, ekonom Wachovia Corporation, mengatakan sulit buat Jepang untuk menstimulasi diri sendiri hingga bisa keluar dari lubang resesi.
David Hensley, Direktur Ekonomi Global JPMorgan Chase & Co. di New York, menambahkan, nilai ekspor pada kuartal pertama sudah tecermin dari hasil Januari kemarin. ”Ekspor pada kuartal pertama akan berkontraksi sangat dalam,” katanya. Bryson memproyeksikan nilai ekspor Jepang dalam tiga bulan pertama akan menukik 10 persen.
Bagi Menteri Ekonomi Kaoru Yosano, resesi yang melibas Jepang ini merupakan yang terburuk sejak Perang Dunia II. Penurunan ekonomi kuartal kemarin lebih tajam daripada yang diperkirakan dan terburuk sejak krisis minyak pada 1974. Lajunya bahkan tiga kali lebih parah ketimbang yang dialami Amerika Serikat—asal-muasal krisis ini bermula.
Tadao Noda mengatakan situasi ekonomi negeri itu lebih parah daripada yang diprediksi sebelumnya. ”Meski hanya berselisih satu bulan sejak proyeksi terakhir dirilis, kondisi saat ini jauh lebih buruk daripada yang kami sangka,” katanya. Belakangan Noda menarik ucapannya. Ia bilang situasi ini masih sesuai dengan skenario terburuk yang diprediksi bank sentral. Bulan lalu, bank sentral memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negeri itu mengalami kontraksi 1,8 persen pada 31 Maret dan 2 persen pada akhir Desember nanti.
IHS Global Insight—institusi riset ekonomi dan politik yang berpusat di Lexington, Amerika Serikat—merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang tahun ini menjadi minus 3,3 persen. Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s bahkan menaksir ekonomi Jepang akan berkontraksi hingga empat persen, dengan asumsi akselerasi pemutusan hubungan kerja di negeri itu mencapai 10 persen.
Dalamnya resesi itu, menurut IHS Global Insight, berpotensi menciptakan sentimen negatif bagi mata rantai suplai barang di Asia, khususnya Cina. Untungnya, pertumbuhan Cina masih positif. ”Kunci dari pertumbuhan yang positif itu bersandar pada seberapa banyak dan seberapa cepat pemerintah Cina mendorong kebijakan fiskal,” kata seorang ekonom IHS Global Insight.
Sejauh ini, Bank of Japan telah memotong bunga pinjaman menjadi 0,1 persen. Ogawa memprediksi bank sentral itu masih akan memotong bunga pinjaman menjadi nol persen demi meredam deflasi. Gubernur Bank of Japan Masaaki Shirakawa mengatakan bank sentral untuk pertama kalinya akan membeli surat utang US$ 10,7 miliar yang diterbitkan perusahaan untuk memecah kebekuan kredit. Bank sentral menduga ekonomi Negeri Sakura baru akan pulih dari resesi mata uang pada akhir tahun ini.
Taro sendiri berencana mencurahkan paket stimulus US$ 102 miliar. Dana melimpah itu untuk mendorong belanja rumah tangga dan perusahaan akibat melorotnya nilai ekspor. Namun Taro harus berjuang mendapat persetujuan kelompok oposisi yang menguasai legislatif.
Di mata Ogawa, yang dilakukan pemerintah Taro sudah terlambat. ”Yang dikerjakan pemerintah relatif tidak efektif,” katanya. Dan bukan tidak mungkin, akibat menukiknya nilai ekspor dan pertumbuhan, desakan agar Taro mengundurkan diri kian kencang. Apalagi popularitas Taro kini di bawah 10 persen. Taro bisa jadi harus bersiap-siap mencari pekerjaan baru.
Yandhrie Arvian (BBC, Bloomberg, AP, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo