Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Imbasnya Harga Naik

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMASNYA rupiah terhadap dolar bisa membuat peng­usaha gigit jari. Apalagi bagi mereka yang bahan bakunya masih impor. Itu sebabnya mereka harus pandai berhitung. Salah melangkah bisa menyebabkan semua rencana tahun ini berantakan. Sedangkan ekspor, yang mestinya bisa menjadi peluang karena dolar menguat, belum bisa terlalu diharapkan karena permintaan di pasar global juga menurun.

Fransiscus Welirang
Direktur PT Indofood

Nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak terlalu berdampak buat kami. Kebetul­an kami pernah merasa­kan harga komoditas dunia, terutama gandum, yang tinggi sekali pada tahun lalu. Harga bahan baku itu sekarang sudah turun, tapi diganti dengan pelemahan nilai tukar rupiah.

Pada posisi sekarang, pe­lemahan nilai tukar rupiah itu mendekati penurunan harga komoditas dunia, sehingga imbasnya buat kami tidak begitu terasa. Kebutuhan dolar Indofood tidak melonjak. Bedanya, dulu berat ke harga komoditas, sekarang tercurahkan ke pele­mahan nilai tukar. Karena itu, biaya yang dikeluarkan­ oleh perusahaan untuk membeli bahan baku tidak terlalu banyak berubah. Jadi tidak mengganggu pengeluaran korporat. Bahan baku yang paling banyak kami impor adalah gandum. Kalau impornya 3 juta ton, kalikan saja dengan harga rata-rata gandum saat ini, US$ 450 per ton.

Di sisi lain, pelemahan dolar ini menciptakan kesempatan untuk mendorong ekspor. Paling tidak, produk kita menjadi lebih kompetitif. Rencana ekspor Indofood tetap jalan. Yang kami khawatirkan justru situasi industri penunjang, seperti plastik, yang kami guna­kan untuk mengemas produk. Industri ini sudah terlihat­ batuk-batuk. Kepastian pa­rah-tidaknya kondisi mere­ka baru ketahuan April nanti. Kami lebih khawatir terhadap kondisi industri penunjang.

Joko Trisanyoto
Direktur Pemasaran Toyota Astra Motor

LEMAHNYA nilai tukar rupiah terhadap dolar berdampak terhadap penyesu­aian harga mobil. Itu pun perhitungannya belum final. Sementara rupiah turun 30 persen, kenaikan harga mobil yang kami produksi belum sampai 30 persen.

Lemahnya nilai tukar mata uang ini sudah kami prediksi saat memproyeksikan kuartal keempat tahun lalu. Kami berpikir kurs bisa menembus Rp 12 ribu, tapi bisa kembali turun ke level Rp 10 ribu. Yang tidak kami sangka, ternyata nilai tukarnya nong­krong terus di Rp 12 ribu.

Akibatnya, rupiah yang ka­mi keluarkan untuk belanja dolar jauh lebih banyak. Terutama untuk impor mobil-mobil utuh—completely built-up (CBU)—seperti To­yota Yaris dan Alphard. Itu sebabnya penyesuaian harga untuk mobil jenis ini paling tinggi. Untuk mobil lokal seperti Avanza, sebagian komponennya juga dari luar negeri. Malah, kalau beli dari Jepang, pukulannya dua kali: yen menguat, dolar menguat. Karena itu, impor komponen dipindahkan ke Filipina. Tapi sekitar 20 persen suku cadang mobil CBU masih diimpor dari Jepang.

Meski penjualan pada Januari turun, kami belum berpikir untuk merevisi target penjualan. Targetnya tetap menguasai 34 persen pasar. Tinggal kami sesuaikan keseimbangan antara laju kenaik­an harga dan permintaan. Gaikindo memprediksi penjualan mobil tahun ini turun 30-40 persen dari tahun lalu.

Mas Ahmad Daniri
Wakil Presiden PT Panasonic Gobel

HARGA material yang kami beli melonjak seiring dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Akibatnya, ada tambahan bia­ya­ impor yang dikeluarkan Pa­nasonic, karena hampir 60 persen komponen inti masih harus diimpor dari luar. Antara lain baja lembaran, plastik, dan logam seperti copper. Komponen untuk produk yang sifatnya pendingin dan panel liquid crystal display (LCD) juga belum bisa dibeli di dalam negeri.

Di sisi lain, menguatnya dolar seharusnya bisa menjadi peluang untuk meningkatkan ekspor, sehingga terjadi lindung nilai alami (na­tural hedging). Masalahnya, krisis finansial global menyebabkan permintaan di pasar dunia menurun. Akibatnya, kami harus memindahkan pasar ke dalam negeri.

Di pasar domestik, income of quantity kami naik. Tapi income of amount mengalami penurunan karena ketatnya kompetisi dan banjirnya produk ilegal. Agar perusahaan sehat, kami harus menggenjot income of quantity lebih tinggi lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus