Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMASNYA rupiah terhadap dolar bisa membuat pengusaha gigit jari. Apalagi bagi mereka yang bahan bakunya masih impor. Itu sebabnya mereka harus pandai berhitung. Salah melangkah bisa menyebabkan semua rencana tahun ini berantakan. Sedangkan ekspor, yang mestinya bisa menjadi peluang karena dolar menguat, belum bisa terlalu diharapkan karena permintaan di pasar global juga menurun.
Fransiscus Welirang
Direktur PT Indofood
Nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak terlalu berdampak buat kami. Kebetulan kami pernah merasakan harga komoditas dunia, terutama gandum, yang tinggi sekali pada tahun lalu. Harga bahan baku itu sekarang sudah turun, tapi diganti dengan pelemahan nilai tukar rupiah.
Pada posisi sekarang, pelemahan nilai tukar rupiah itu mendekati penurunan harga komoditas dunia, sehingga imbasnya buat kami tidak begitu terasa. Kebutuhan dolar Indofood tidak melonjak. Bedanya, dulu berat ke harga komoditas, sekarang tercurahkan ke pelemahan nilai tukar. Karena itu, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membeli bahan baku tidak terlalu banyak berubah. Jadi tidak mengganggu pengeluaran korporat. Bahan baku yang paling banyak kami impor adalah gandum. Kalau impornya 3 juta ton, kalikan saja dengan harga rata-rata gandum saat ini, US$ 450 per ton.
Di sisi lain, pelemahan dolar ini menciptakan kesempatan untuk mendorong ekspor. Paling tidak, produk kita menjadi lebih kompetitif. Rencana ekspor Indofood tetap jalan. Yang kami khawatirkan justru situasi industri penunjang, seperti plastik, yang kami gunakan untuk mengemas produk. Industri ini sudah terlihat batuk-batuk. Kepastian parah-tidaknya kondisi mereka baru ketahuan April nanti. Kami lebih khawatir terhadap kondisi industri penunjang.
Joko Trisanyoto
Direktur Pemasaran Toyota Astra Motor
LEMAHNYA nilai tukar rupiah terhadap dolar berdampak terhadap penyesuaian harga mobil. Itu pun perhitungannya belum final. Sementara rupiah turun 30 persen, kenaikan harga mobil yang kami produksi belum sampai 30 persen.
Lemahnya nilai tukar mata uang ini sudah kami prediksi saat memproyeksikan kuartal keempat tahun lalu. Kami berpikir kurs bisa menembus Rp 12 ribu, tapi bisa kembali turun ke level Rp 10 ribu. Yang tidak kami sangka, ternyata nilai tukarnya nongkrong terus di Rp 12 ribu.
Akibatnya, rupiah yang kami keluarkan untuk belanja dolar jauh lebih banyak. Terutama untuk impor mobil-mobil utuh—completely built-up (CBU)—seperti Toyota Yaris dan Alphard. Itu sebabnya penyesuaian harga untuk mobil jenis ini paling tinggi. Untuk mobil lokal seperti Avanza, sebagian komponennya juga dari luar negeri. Malah, kalau beli dari Jepang, pukulannya dua kali: yen menguat, dolar menguat. Karena itu, impor komponen dipindahkan ke Filipina. Tapi sekitar 20 persen suku cadang mobil CBU masih diimpor dari Jepang.
Meski penjualan pada Januari turun, kami belum berpikir untuk merevisi target penjualan. Targetnya tetap menguasai 34 persen pasar. Tinggal kami sesuaikan keseimbangan antara laju kenaikan harga dan permintaan. Gaikindo memprediksi penjualan mobil tahun ini turun 30-40 persen dari tahun lalu.
Mas Ahmad Daniri
Wakil Presiden PT Panasonic Gobel
HARGA material yang kami beli melonjak seiring dengan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Akibatnya, ada tambahan biaya impor yang dikeluarkan Panasonic, karena hampir 60 persen komponen inti masih harus diimpor dari luar. Antara lain baja lembaran, plastik, dan logam seperti copper. Komponen untuk produk yang sifatnya pendingin dan panel liquid crystal display (LCD) juga belum bisa dibeli di dalam negeri.
Di sisi lain, menguatnya dolar seharusnya bisa menjadi peluang untuk meningkatkan ekspor, sehingga terjadi lindung nilai alami (natural hedging). Masalahnya, krisis finansial global menyebabkan permintaan di pasar dunia menurun. Akibatnya, kami harus memindahkan pasar ke dalam negeri.
Di pasar domestik, income of quantity kami naik. Tapi income of amount mengalami penurunan karena ketatnya kompetisi dan banjirnya produk ilegal. Agar perusahaan sehat, kami harus menggenjot income of quantity lebih tinggi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo