Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-TIBA saja ”Jenderal Nagabonar” muncul ke medan politik nasional. Ia, yang selama ini hanya hidup di layar perak, menyatakan siap maju dalam pemilihan presiden, Juli mendatang. Deddy Mizwar, sang Nagabonar, mengaku jenuh menjadi tokoh rekaan yang dipersepsikan lugu, jenaka, tapi juga cerdas.
Aktor yang juga akrab dipanggil ”Pak Haji” itu merasa dunia politik Indonesia sudah buntu. Mahkamah Konstitusi melarang calon presiden independen. ”Orangnya itu-itu saja, dan sudah terbukti tak membawa perubahan apa pun,” ujar pria 54 tahun itu.
Deddy tahu peluangnya amat tipis. ”Enggak usah dipikirlah, kita bikin enteng saja, tapi jangan dianggap gampang,” dia menambahkan. Setidaknya, ia ingin membuat orang lebih berpengharapan menyongsong pemilihan presiden. ”Kalau semua orang merasa enggak ada harapan, bisa berantem kita.”
Seakan ingin menunjukkan kali ini ia tak berkelakar seperti perannya dalam film, Deddy menggandeng calon wakil presiden seorang jenderal beneran. Pria kelahiran Jakarta itu berpasangan dengan Mayor Jenderal TNI Saurip Kadi, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Saurip lulusan terbaik ketiga di Angkatan 1973. Lulusan terbaik pertama sekaligus pemegang pedang kehormatan Adhi Makayasa di angkatan itu tak lain dari Susilo Bambang Yudhoyono.
Saurip Kadi, asal Brebes, Jawa Tengah, dikenal sebagai perwira reformis. Pada 1998, ia menjadi anggota Tim Penyusun Konsep Reformasi Internal TNI, yang dipimpin Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Namun sikapnya yang terlalu progresif justru membuatnya kehilangan semua jabatan pada 2000, bersama (almarhum) Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah.
Tema kampanye yang diusung pasangan itu adalah Presiden dan Wakil Presiden Republik ”Merak” alias ”Mengutamakan Rakyat”. Jargon itu hasil perumusan Saurip Kadi selama tujuh setengah tahun menganggur sebagai perwira tinggi, mengenai bagaimana cara Indonesia mengatasi krisis dan melewati masa-masa sulit. Jumat pekan lalu, pasangan itu mendeklarasikan diri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Sehari sebelumnya, Tempo menemui Deddy di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Aktor peraih 5 Piala Citra dan 12 nominasi Festival Film Indonesia itu sedang berdiskusi dengan anggota tim suksesnya. ”Sini, dengerin aja biar gue enggak repot. Nanti tinggal foto aja,” katanya sambil tertawa. Wawancara dilakukan persis pukul 00.00 dan berakhir pada Jumat pukul 03.00. Deddy didampingi Saurip Kadi.
Apa yang membuat Anda mencalonkan diri sebagai presiden?
Kami terjun ke gelanggang lepas dari kepentingan kelompok dan golongan. Namanya memang tidak bisa lagi calon independen, harus melalui partai politik. Kami ingin menguji komitmen partai-partai politik yang saat ini belum memiliki calon presiden untuk kembali kepada fitrahnya sebagai manusia. Elite politik perlu secara tulus dan jujur memperbaiki keadaan bangsa ini.
Jadi, Anda tetap mengharapkan dukungan partai?
Saat ini banyak sekali partai kecil yang belum punya calon presiden. Kami tidak mau mendirikan partai seperti calon lain yang ingin jadi presiden. Untuk apa mendirikan partai kalau akhirnya membuat bingung? Justru kami ingin menggalang kekuatan, dan boleh dipastikan kami tidak akan membeli partai dengan uang. Kami membeli dengan konsep yang terukur dan komitmen. Jadi, kami siap bergabung dengan partai apa pun yang memiliki komitmen mengutamakan rakyat.
Banyak pesohor pernah mencoba menjadi presiden. Apa kelebihan Anda dibanding mereka?
Konsep. Saya bersama Mas Saurip, dengan gagasan-gagasannya, pengalaman-pengalamannya, pengetahuannya, akal sehatnya, mencoba merumuskan ke arah mana bangsa akan dibawa, dan yang penting: bagaimana caranya. Kita sudah harus meninggalkan budaya, slogan-slogan, yang meninabobokan selama ini. Kenyataannya jelas-jelas 40 juta warga Indonesia tetap di bawah garis kemiskinan. Nah, di pemilu ini, rakyat harus berani merevisi, mengoreksi keputusannya.
Anda kok jadi serius sekali?
Soal kayak gini harus serius. Tapi jangan dibikin berat, nanti stres.
Anda punya modal popularitas, tapi apa Anda punya kompetensi menjadi presiden?
Persyaratan yang baru Anda sebutkan tadi sekarang sudah dijalankan, tapi tidak menghasilkan apa-apa untuk menyejahterakan rakyat. Jadi, harus keluar dari kerangka berpikir itu. Out of the box.
Presiden kan perlu kemampuan dan keterampilan politik, padahal Anda belum pernah berkecimpung di dunia politik?
Pengetahuan politik itu kan segala substansi yang diciptakan manusia untuk mengubah kehidupannya jadi lebih baik? Belajar politik yang merusak dan penuh intrik tidak perlulah. Itu bisa merusak diri saya dan membuat banyak dosa. Ilmu politik kan pada awalnya diciptakan oleh orang-orang yang arif untuk membawa masyarakat kepada tatanan yang lebih baik.
Tanpa pengalaman, bagaimana kalau nanti Anda diakali musuh politik atau menteri sendiri….
Jangan berpikir begitulah. Berpikir yang baik, politik untuk kebaikan, bukan untuk mengakali. Paradigma tentang politik harus kita ubah. Politik itu bukan akal-akalan. Saya tidak mau mencemari diri saya. Pemimpin itu memegang teguh amanah, sidik, dan fatonah, sehingga bawahan pun tidak akan lain kecuali loyal.
Apa yang Anda maksud dengan mengutamakan rakyat?
Rakyat menjadi subyek. Kok, mendapat mandat dari rakyat, bukan ngurusin rakyat, malah ngurusin diri sendiri atau orang lain? Negara ini, yang begitu luar biasa sumber daya alam dan sumber daya manusianya, kok tidak bisa menyelesaikan masalahnya dalam waktu begitu lama? Pasti ada yang keliru. Kita harus melakukan perubahan secara mendasar. Kalau cuma tambal sulam, saya tidak yakin.
Bukankah hal itu sudah sering diucapkan calon presiden lain?
Kalau ada putra bangsa yang lebih baik secara konsep, akan kita dukung. Jika ada yang lebih baik, harus kita akui dia lebih baik. Tapi bagaimana mau menguji konsep calon-calon presiden kalau sekarang tidak ada calon lain? Hanya itu-itu saja. Keputusasaan rakyat akan memunculkan anarkisme, dan ini tidak kita inginkan.
Sebutkan lima poin saja cara untuk menyejahterakan rakyat….
Kita perlu tatanan, agar output-nya tidak keliru. Kita mau model pembangunan ekonomi yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Lalu reposisi TNI, kemudian penataan hukum, rule of law. Juga pendidikan, ini penting karena menciptakan budaya. Lalu jaminan sosial. Orang sejak lahir tidak tahu masa depannya, kan, pusing jadinya? Banyak hal, bukan hanya lima. Saya kira, untuk rinciannya, Mas Saurip akan jauh lebih jelas dan lebih baik daripada saya. Dihambatnya calon-calon yang mampu oleh mekanisme, itu yang tidak benar.
Kabinet seperti apa yang akan Anda bentuk untuk mengatasi krisis?
Saurip Kadi: Intinya, sistem kenegaraan itu harus diubah, dari model sekarang yang masih berkategori otoriter menjadi demokrasi. Tak hanya demokrasi untuk demokrasi, tapi demokrasi untuk kesejahteraan rakyat. Yang terpenting adalah bagaimana membentuk sistem negara ini menuju corporate state. Negara harus berperilaku seperti perusahaan sehingga sumber daya alam, apakah itu batu bara, emas, atau hasil tambang lain, tidak dinikmati oleh pemegang lisensi, tapi dinikmati oleh rakyat melalui perubahan model ekonomi, hukum, pertahanan, bahkan birokrasinya. Birokrasi harus service oriented. Begitu juga kabinetnya harus menjadi kabinet entrepreneur. Dalam sistem presidensial, harusnya yang membentuk kabinet adalah presiden pemenang pemilu. Kabinet yang dibentuk oleh partai atau koalisi partai hanya dikenal di dalam sistem parlementer. Kalau mau bekerja benar, kabinet harus benar dulu. Tidak ada di dunia ini, dalam sistem presidensial, ketua partai mesti menjadi calon presiden. Sistem bisa semrawut.Deddy: Jantan tidak, betina tidak (tertawa).
Anda siap bersaing dengan calon presiden lain?
Kalau tidak bersaing, bukan demokrasi.
Bagaimana cara menarik simpati pemilih?
Itu nanti akan ditempuh dengan cara dan strategi serta teknik tersendiri.
Bagaimana meyakinkan orang bahwa Anda bukan calon presiden guyonan?
Tidak percaya juga tidak apa-apa. Kami tidak bisa memaksa orang percaya. Kepercayaan tumbuh kalau memang ada harapan. Apa harus memakai jas setiap hari, harus kelihatan pintar, ya, tidak juga. Rakyat menginginkan perubahan sistem. Di Filipina saja, ada ibu rumah tangga menjadi presiden. Cory Aquino apa pinter? Tapi dunia sudah membuktikan, kalau mau, bisa muncul perubahan.
Sudah ada partai yang mendukung?
Jangan tanya-tanya itu dulu….
Anda harus mempersiapkan diri dalam waktu sempit, sementara calon presiden lain sudah lama melakukan persiapan….
Negeri ini merdeka tidak disiap-siapin juga. Muncul begitu saja waktu ada momentumnya. Jepang menyerah, Bung Karno diculik oleh pemuda, besoknya proklamasi. Ini kan berproses semua? Masak, kita masih harus menunggu orang lain?
Omong-omong, Anda akan meniru gaya kepemimpinan Nagabonar?
Nagabonar itu kan sebuah keresahan yang terekspresikan. Saat film itu dibuat kan terjadi keresahan masyarakat tentang proses penegakan hukum. Betapa sulitnya kita meninggalkan zona kenyamanan untuk sebuah penegakan hukum. Harus ada korban, minimal diri kita, yang biasa melanggar hukum, tiba-tiba patuh hukum. Kalau ingin membawa perubahan, kita harus mampu mengorbankan ego.
Deddy Mizwar
Tempat dan tanggal lahir : Jakarta, 5 Maret 1955
Pendidikan :
Karier
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo