Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Undangan makan siang dari Mustafa Abubakar untuk tiga koleganya Rabu pekan lalu di kantor Bulog awalnya sekadar jamuan biasa. Direktur Utama Badan Urusan Logistik ini hanya ingin berbagi cerita hasil lawatannya ke Roma, Italia, memenuhi undangan International Fund for Agricultural Development pada 18 Februari lalu. Tak disangka, obrolan memanas saat Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Mangga Barani menyinggung soal kenaikan harga gula dalam tiga pekan terakhir.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Subagyo terpancing untuk menjelaskan situasi itu. Dia meyakinkan koleganya, pekan ini harga gula akan kembali normal karena delapan produsen gula yang terkait dengan pemerintah sudah diminta mengeluarkan stok untuk operasi pasar. Namun Achmad justru mempertanyakan langkah ini: "Mana bisa? Stok itu kan sudah milik orang lain." Tersudut, Subagyo pun menjawab secara diplomatis, "Tapi kita kan wajib mengimbau." Mustafa dan Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian Benny Wahyudi menengahi dan mengajak keduanya mencari solusi.
Sejak akhir Januari lalu, harga gula di tingkat konsumen terus merangkak naik sampai di atas harga normal Rp 6.500 per kilogram. Harga gula rata-rata nasional sampai pekan lalu sudah mencapai Rp 7.500 per kilogram. Kenaikan tertinggi terjadi di Aceh, yaitu Rp 8.500 per kilogram. Ironisnya, Jawa Timur, yang menjadi penyumbang separuh produksi gula nasional, mengalami gejolak yang sama.
Dari pantauan Tempo di sejumlah pasar tradisional di Jawa Timur, harga gula rata-rata Rp 7.300-7.500. Pedagang mengaku harga sudah naik sejak di pabrik gula. "Harga kulakannya sudah Rp 7.000," kata Halimah, pedagang di Pasar Induk Kota Jember. Akibat kenaikan ini, puluhan industri makanan dan minuman tradisional di Jawa Timur terancam gulung tikar. Abdurrohim, misalnya. Pengusaha penganan tradisional suwar-suwir di Jember itu menutup sementara usahanya dan harus merumahkan sembilan karyawannya. "Biaya produksi jadi terlalu tinggi," katanya.
Padahal, di sejumlah gudang gula milik PT Perkebunan Nusantara XI Wilayah Jawa Timur, stok gula masih menumpuk rata-rata 30 ribu ton per gudang. Contohnya di gudang pabrik gula Kedawung, Gending, Pajarakan, Wonolangan, Semboro, Prajekan, Olean, Wringin Anom, dan Jatiroto. Koordinator Paguyuban Petani Tebu Rakyat di Pabrik Gula Semboro, Jember, Mohammad Ali Fikri, mengatakan ada indikasi kuat terjadinya penimbunan di gudang.
Sumber Tempo yang puluhan tahun bergelut di bisnis ini mengatakan kenaikan itu akibat ulah para pedagang besar yang menimbun stok dan mengekspor sebagian gula karena harga di pasar internasional sedang bagus. Di kalangan pedagang gula, mereka dijuluki "Samurai". Para samurai ini menguasai 80 persen stok gula yang ada di gudang-gudang milik pemerintah sejak Desember lalu. "Mereka keluarkan setetes demi setetes," kata sumber Tempo itu.
Gejolak harga gula ini diprediksi bisa sampai Mei. Alasannya, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia Natsir Mansyur, pemerintah tidak memiliki banyak peluru untuk stabilisasi harga. Untuk operasi pasar, pemerintah mesti bersaing dengan pedagang menengah buat mendapatkan stok gula yang tersisa. Pemerintah juga sudah berkomitmen tidak akan mengimpor gula sampai Mei karena stok masih cukup sampai masa giling Mei, yaitu sebanyak 576 ribu ton. "Tergantung kebaikan para penguasa stok," katanya.
Direktur Jenderal Bina Pasar Departemen Perdagangan Jimmy Bella tidak sependapat. Tren kenaikan saat ini dinilai hanya sesaat karena adanya tarikan harga dari produsen gula swasta dan mulai langkanya stok di Pulau Sumatera. Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara XI Adig Suwandi menambahkan, kenaikan ini disebabkan oleh harga gula di pasar internasional yang mencapai US$ 390 per ton. Industri makanan dan minuman mulai kewalahan mengimpor gula rafinasi, lalu beralih memakai gula untuk masyarakat. "Pedagang akhirnya memakai patokan harga gula internasional." Adanya unsur permainan pedagang besar dalam situasi ini, menurut Adig, adalah salah satu faktor.
Kisah para samurai dalam tata niaga gula bukan hal baru. Mereka adalah mitra lama Bulog ketika masih menangani perdagangan gula pada 1980-an. Bisnis mereka semakin solid ketika para samurai ini bersama Bulog dan produsen gula pemerintah menandatangani kesepakatan soal distribusi serta mekanisme lelang gula impor dan lokal pada pertengahan 2003. Mustafa tak membantah, Buloglah yang membesarkan mereka. "Tapi itu kan masa lalu."
Sejak peran penuh Bulog dalam tata niaga gula dihapus setelah masuknya Dana Moneter Internasional (IMF) ke Indonesia pada 1998, para samurai ini merapat langsung ke produsen gula. Mereka juga terhubung dengan importir terdaftar untuk mengamankan pasokan gula impor. Para petani tebu pun diberi dana talangan supaya hasil panen tidak lari ke orang lain. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga pernah mengakui terjadinya kartel di bisnis gula. "Itu tipikal perdagangan bisnis gula sejak dulu."
Sumber Tempo di Dewan Gula Indonesia mengatakan saat ini hanya ada tiga samurai yang paling berkibar karena memiliki jaringan distributor lapis kedua yang luas, yaitu Kencana Gula Manis, mitra PT Perkebunan Nusantara IX Jawa Tengah, serta PT Citra Gemini Mulia dan PT Arthaguna Sentosa, mitra PT Perkebunan Nusantara XI Jawa Timur. Lima lainnya sudah turun pangkat. Kedua BUMN gula tersebut juga mengakui soal ini.
Petinggi di PT Arthaguna Sentosa, Sunhan, mengaku tidak tahu soal adanya praktek penguasaan stok gula. "Tanya saja sama produsennya," kata dia. Pemilik PT Citra Gemini Mulia, Pieko Nyoto Setijadi, langsung menutup telepon selulernya saat ditanyai soal ini. Presiden Direktur Kencana Gula Manis Hatanto Reksodipoetro juga membantah tudingan itu. Perusahaan yang didirikan Tjokro Setiawan itu mengaku sedang asyik bermain di sektor hulu membina petani tebu. "Dalam pasar bebas, mekanisme itu wajar," kata Hatanto.
Menurut Jimmy, para pengusaha kakap ini memang menang dalam urusan modal. Kondisi semakin menguntungkan karena enam PT Perkebunan Nusantara serta PT Rajawali I dan II kerap kesulitan modal. Begitu juga petani. Belum lagi menyangkut kepastian dan jaminan pasar. Perkebunan Nusantara IX tidak menampik hal ini. "Kami butuh likuiditas. Penyangganya ya pedagang besar," kata Sukanto, salah seorang pegawai di BUMN itu.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Benny Pasaribu mengatakan, untuk mengkategorikan penguasaan gula oleh para samurai ini sebagai praktek kartel, perlu bukti. Komisi Pengawas masih memonitor kenaikan harga gula. Jika harganya di luar kewajaran karena adanya kelangkaan akibat stok ditahan dan berlangsung terus-menerus, Komisi Pengawas akan menyelidikinya. Kata Benny, "Kami wajib mencegahnya."
Anton Aprianto, Mahbub Djunaidy (Jember), Anang Zakaria (Surabaya), Ika Ningtyas (Situbondo)
Pergerakan Harga Gula
Kuartal II 2008
1. Rp 4.900
2. Rp 6.000
Kuartal III 2009
1. Rp 5.100
2. Rp 6.200
Januari 2009
1. Rp 5.200
2. Rp 6.500
Feb. pekan 1 2009
1. Rp 5.200
2. Rp 7.000
Feb. pekan 2 2009
1. Rp 5.500
2. Rp 7.200
Feb. pekan 3 2009
1. Rp 6.000
2. Rp 7.500
Ket *)
1. Tingkat Produsen (Harga Lelang /Kg)
2. Tingkat Konsumen (Harga Konsumen/Kg)
Neraca Gula (dalam Ribu per Ton)
2008 | Feb. 2009 | |
Stok Awal | ||
Gula Kristal Putih | 1.200 | 790 |
Produksi Dalam Negeri | ||
Gula Kristal Putih | 2.600 | Belum Giling |
Gula Rafinasi | 631 | Belum Giling |
Impor Rafinasi | 211 | 100 |
Konsumsi per Bulan | 230 | 220 |
Stok | 1.000 | 576 |
Sumber: Diolah dari data Departemen Perdagangan, Dewan Gula Indonesia, dan Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo