Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDUNG Rabu siang pekan lalu mengingatkan Bambang Ermayana pada peristiwa terpahit sepanjang hidupnya. Tahun lalu tiga hektare sawahnya puso dalam dua musim tanam. Petani dari Kecamatan Pabuaran, Subang, Jawa Barat, itu rugi Rp 42 juta. ”Itu hasil terburuk sepanjang hidup saya,” katanya kepada Tempo, pekan lalu.
Hujan nyaris tak berhenti sepanjang tahun lalu. Wereng cokelat mengamuk, menyerang hampir 2.300 hektare sawah di Subang. Lebih dari setengahnya puso. Sawah yang selamat hanya bisa menghasilkan gabah 150 kilogram per hektare, seperlima produksi normal. Produksi di lumbung padi pantai utara Jawa Barat itu terjun bebas.
Buntutnya, harga beras naik tajam. Harga beras kelas menengah di Subang naik dari Rp 7.000 menjadi Rp 7.500 per kilogram. Lonjakan harga beras, yang merata di semua provinsi, berakibat fatal. Kenaikan harga beras sejak Lebaran ini memicu inflasi. Laju inflasi tahunan sampai Desember lalu mencapai 6,96 persen, jauh di atas target pemerintah yang 5,5 persen.
Faktor lain, menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, harga beras di pasar dunia, yang mencapai US$ 540 per ton, mempengaruhi pula pasar beras di Tanah Air. Muncullah para spekulan. ”Cuaca ekstrem juga membuat konsumen cenderung membeli banyak beras,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Sebetulnya produksi beras nasional pada akhir 2010 naik 2,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka ramalan III Badan Pusat Statistik pada Oktober lalu menyebutkan produksi mencapai 65,9 juta ton gabah kering giling, atau setara 36,9 juta ton beras. Ada surplus beras di petani 4,5 juta ton.
Ironisnya, Perum Bulog selaku penyangga pangan nasional lamban menyerap beras petani. Hingga Desember lalu, pembelian beras petani baru 1,89 juta ton, melenceng dari target awal 3,2 juta ton. Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengakui penyerapan beras masih rendah. Dia menjelaskan sekarang harga beras di tingkat petani sudah di atas harga pembelian pemerintah Rp 5.060 per kilogram. Padahal Bulog dilarang membeli beras di atas harga patokan.
Bulog juga kesulitan mendapatkan beras sesuai dengan ketentuan Inpres. Beras kadar air maksimum 14 persen dan butir patah maksimum 20 persen langka lantaran sebagian sentra produksi padi diguyur hujan serta terserang hama. Walhasil, pengadaan beras molor hingga Februari mendatang. ”Tahun lalu pengadaan beras sudah dimulai pada Januari,” kata Sutarto.
Lantaran tak mungkin lagi menggenjot produksi padi, pemerintah membuka keran impor beras, akhir tahun lalu. Sebanyak 1,2 juta ton beras dari Thailand dan Vietnam mengucur sepanjang Desember hingga Februari mendatang. Impor beras ini dinilai terlambat karena harga beras di pasar dunia sudah naik.
Pasokan beras impor juga terancam tersendat karena Thailand dan Vietnam akan menyetop ekspor beras untuk mengantisipasi krisis pangan. ”Impor akhir tahun juga bisa mengganggu harga saat panen raya pada Februari mendatang,” ujar pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin.
Sumber Tempo mengungkapkan wacana impor beras sudah dibahas pada rapat-rapat koordinasi pangan sejak Juli lalu. Tipisnya kenaikan produksi pada angka ramalan II memberi sinyal produksi akhir tahun gagal menembus target kenaikan tiga persen. Saat itu penolakan impor beras sangat kencang. ”Ada pertimbangan politis,” ujarnya. Toh, impor beras jalan terus.
Menurut sumber Tempo, dalam serangkaian rapat koordinasi pangan, Bulog meminta aturan perberasan dilonggarkan. Bulog meminta diizinkan membeli beras petani di atas harga patokan, dan syarat kualitas beras diturunkan. Pembebasan bea masuk impor juga diajukan agar harga beras asing tak semakin mahal.
”Kami butuh payung hukum agar Bulog bisa menjadi stabilisator harga pangan,” ujar Sutarto. Pekan lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan revisi aturan perberasan akan selesai dalam beberapa pekan mendatang.
Fery Firmansyah, Alwan Ridha Ramdhani (Bandung), Nanang Sutisna (Subang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo