Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM seminggu mengambil cuti, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo harus segera ngantor lagi. Kamis pagi pekan lalu, dia mendadak menggelar rapat bersama para pejabat pajak eselon dua di kantor pusat, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Di akhir pertemuan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas pemeriksaan enam kasus wajib pajak tak luput disinggung. ”Dirjen Pajak menyusun langkah-langkah antisipasi,” ujar sumber Tempo di Jakarta pekan lalu.
Akhir Desember lalu, BPK telah menuntaskan hasil audit kinerja direktorat yang dipimpin Tjiptardjo itu dalam memeriksa dan menyidik enam kasus wajib pajak. Mereka adalah PT Permata Hijau Sawit, Asian Agri Group, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Alfa Kurnia, PT ING International, dan Rumah Sakit Emma, Mojokerto. Audit kinerja itu merupakan permintaan Panitia Kerja Perpajakan yang bernaung di bawah Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat.
Hasil audit ternyata mengejutkan. Badan Pemeriksa menyatakan Direktorat Jenderal Pajak tak mematuhi peraturan dalam memeriksa dan menyelidiki kasus-kasus blasting itu. Mendadak sontak saja hal ini membuat Menteri Keuangan Agus Martowardojo kalang-kabut. Bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu sadar betul bahwa hasil audit ini bisa menjadi bola panas bagi Direktorat Jenderal Pajak dan juga pemerintah. Apalagi sebelum audit kinerja itu digelar, beberapa anggota Dewan telah mendesak Agus agar mengganti Tjiptardjo.
Kegelisahan Agus, menurut sumber Tempo, sudah terlihat dua pekan lalu. Selasa malam, setelah membahas pencapaian kinerja 2010 bersama para pejabat tinggi Kementerian Keuangan, Agus meminta sejumlah direktur jenderal meninggalkan ruang rapat di kantornya, lantai tiga gedung Juanda I, di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Tapi Tjiptardjo dan beberapa pejabat pajak lainnya diminta tak meninggalkan ruang pertemuan.
Selepas magrib, Menteri Agus meminta Tjiptardjo menjelaskan hasil audit BPK atas kinerja pemeriksaan dan penyidikan enam kasus pajak. Pak Menteri, ujar sumber Tempo, kecewa karena Direktorat Jenderal Pajak kurang tanggap menuntaskan enam kasus pajak tersebut. Menurut Agus, hasil audit bisa membuka peluang anggota Dewan mempersoalkan kembali Direktorat Jenderal Pajak. ”Pak Menteri sudah khawatir ini jadi bahan politisasi,” ucap sumber Tempo.
Dalam pertemuan yang diselimuti suasana tegang itu, Menteri Agus sempat berujar, ”Audit sudah selesai, mau bagaimana lagi, saya tak bisa membantu Pak Tjip—panggilan Tjiptardjo,” kata sumber Tempo menirukan Agus. Tjiptardjo, kata sang sumber, tak banyak membantah, bahkan berusaha menenangkan bosnya itu. ”Saya siap pasang badan buat Pak Menteri,” ujar Tjiptardjo, seperti ditirukan si sumber.
Menteri Agus enggan berkomentar soal pertemuan itu. ”Nanti saja akan dijelaskan,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu pekan lalu. Tjiptardjo, bekas Direktur Intelijen Perpajakan, juga bungkam seribu bahasa. Tapi, sebelum pertemuan malam itu, Tjiptardjo kepada Tempo menyatakan keberatannya atas hasil audit itu. ”BPK enggak mau mengerti, enggak mau terima, lalu ini negara apa, sih,” ujarnya kesal. Ia minta Badan Pemeriksa menunjukkan kesalahan aparat pajak. ”Akan saya bina anak buah saya.”
Hasil evaluasi BPK itu tetap direspons. Menurut Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Iqbal Alamsyah, lembaganya terus mempelajari hasil audit itu. ”Ada peraturan yang multitafsir dan akan disempurnakan,” ujarnya di Jakarta pekan lalu.
RUANG rapat Komisi Keuangan, Gedung DPR, Senayan, akhir Mei tahun lalu. Ketua Panitia Perpajakan Melchias Markus Mekeng, didampingi wakilnya, Agung Rai Wijaya, dan tiga anggota lainnya menggelar jumpa pers. Menurut Melchias, panitia kerja kecewa terhadap Tjiptardjo karena mangkir rapat dengan panitia kerja membahas kasus pajak Permata Hijau Sawit. Panitia kerja berang dan meminta Menteri Keuangan Agus Martowardojo menonaktifkan Tjiptardjo, Direktur Intelijen Pajak Pontas Pane, dan Direktur Pajak Sumatera I Ramram Brahmana.
Melchias menjelaskan, permintaan nonaktif bukan semata-mata karena Tjiptardjo absen pada rapat tersebut. Panitia kerja merasa kinerja Direktorat Jenderal Pajak di bawah Tjiptardjo tak bersinar. Rasio penerimaan pajak masih rendah, sekitar 13 persen, atau jauh dibanding negara lain yang mencapai 16-18 persen. Tjiptardjo juga tak bisa tegas menyelesaikan sejumlah kasus, seperti kasus pajak Asian Agri dan juga Kaltim Prima Coal.
Kekesalan panitia perpajakan dipicu kasus Permata Hijau. Produsen sawit itu mengadu kepada anggota Dewan lantaran kantor pajak belum mengembalikan kelebihan restitusi atau pembayaran pajaknya Rp 530 miliar. Asian Agri Group, Wilmar, Alfa Kurnia, ING International, dan Rumah Sakit Emma, Mojokerto, ikut-ikutan mengadukan nasib mereka. ”Enam perusahaan itu mengirim surat ke Komisi XI untuk mengadukan kasus pajak mereka,” kata Melchias kepada Tempo. Kasus pajak Asian Agri dan Wilmar paling besar, masing-masing Rp 1,3 triliun dan Rp 1,8 triliun (lihat ”Digoyang Klaim Jumbo”).
Panitia Kerja Perpajakan akhirnya meminta BPK mengaudit kinerja proses pemeriksaan enam kasus pajak ini. Akhir Desember lalu, audit kinerja rampung. Hasilnya, Direktorat Pajak dinilai banyak melanggar prosedur pemeriksaan pada semua kasus pajak yang diteliti. Anggota BPK, Hasan Bisri, menjelaskan, lembaganya hanya mengaudit hukum acara pemeriksaan pajaknya. Contohnya soal waktu dan lamanya proses pemeriksaan sesuai dengan peraturan perpajakan. BPK tak menilai materi pemeriksaan pajak, semisal ada atau tidaknya dugaan manipulasi pembayaran pajak.
Menurut Hasan Bisri, berdasarkan audit BPK, disimpulkan bahwa Direktorat Pajak banyak melanggar peraturan. ”Saya melihat pelanggaran itu muncul karena Ditjen Pajak sangat berhati-hati,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Sumber Tempo di lingkungan DPR mengungkapkan ada dua motif yang mendasari anggota Dewan meminta Badan Pemeriksa melakukan audit kinerja pajak. Pertama, langkah ini untuk menekan Direktorat Jenderal Pajak agar segera mengembalikan restitusi kepada wajib pajak. Para anggota Dewan itu ”mengadvokasi” dengan target pencairan tagihan dari kantor pajak bisa mulus. ”Tentu ada manfaat yang bisa diambil sejumlah anggota Dewan,” ujar sumber ini.
Motif kedua, anggota Dewan memang menargetkan Tjiptardjo lengser mengikuti Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang kini menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Tjiptardjo dianggap orangnya Sri Mulyani—yang pernah menjadi seteru Panitia Khusus Bank Century di DPR. Tjiptardjo dan juga Pontas memang dibidik lantaran tahu banyak kasus pajak besar. ”Audit kinerja Badan Pemeriksa Keuangan hanya salah satu cara legal untuk mendepak Tjiptardjo,” ujar sumber Tempo.
Hasan Bisri menampik tudingan ini. ”Kami tidak ada urusan dengan isu itu,” katanya. Namun Melchias tak membantah. Melky—sapaan Melchias—menegaskan akan tetap meminta Tjiptardjo mundur meski tak ada audit Badan Pemeriksa Keuangan. ”Karena kinerjanya memang buruk,” ujar Melchias. Hingga akhir 2010, penerimaan pajak hanya mencapai Rp 649,04 triliun atau 98,1 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2010.
Anggota Panitia Kerja dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Andi Rahmat, juga buka suara. Hasil audit BPK itu menunjukkan lemahnya kualitas Tjiptardjo. ”Sudahlah, Pak Tjiptardjo mengundurkan diri saja, kasihan kalau bertahan,” ujarnya.
Tjiptardjo akan memasuki masa pensiun pada Mei mendatang. Tapi, menurut sumber Tempo, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengganti Tjiptardjo pada awal tahun ini atau menunggu pertengahan tahun. ”Masalahnya, jika diganti pertengahan tahun, akan ada risiko fiskal,” ujarnya. Pejabat baru pajak biasanya butuh waktu minimal enam bulan menyesuaikan diri.
Kasak-kusuk calon pengganti Tjiptardjo santer. Beberapa nama kandidat mulai berseliweran. Salah satunya Ken Dwijugiasteadi, Kepala Kantor Wilayah Pajak Jawa Timur III. Sumber Tempo di pemerintah membisikkan Menteri Agus sudah menanyakan profil dan rekam jejak Ken kepada bekas Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution. Tapi Darmin, yang kini Gubernur Bank Indonesia, menyarankan agar tak memilih Ken. ”Darmin menyebut Suharno layak dipertimbangkan,” bisiknya. Suharno pernah menjadi Sekretaris Hadi Poernomo—Direktur Jenderal Pajak kala itu—selama enam bulan. Kini Suharno menjabat Kepala Kantor Wilayah Pajak Jawa Timur I.
Darmin membantah pernah berkomunikasi dengan Menteri Keuangan membahas profil Ken Jugiasteadi. ”Enggak tahu saya. Saya tak pernah ikut bicara soal (calon Direktur Jenderal Pajak) itu,” ujarnya kepada wartawan Koran Tempo Febriana Firdaus di Jakarta pekan lalu. Darmin menampik pernah mengusulkan nama Suharno. ”Saya tak berwenang dengan itu.”
Agus juga sami mawon. Ia memban-tah telah menelepon Darmin menanyakan profil Ken Jugiasteadi. ”Catat ya, saya tak pernah berkomunikasi dengan Pak Darmin soal itu,” ujarnya kepada Tempo sebelum rapat kabinet, Kamis pekan lalu. Orang nomor satu di Kementerian Keuangan itu menyatakan pemerintah belum berencana mengganti direktur jenderal instansi penyumbang penerimaan negara terbesar di Republik ini.
Padjar Iswara, Agoeng Wijaya, Anne Handayani, Iqbal Muhtarom, Bunga Manggiasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo