Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terancam Hasil Audit Pesanan

BPK menilai ada kesalahan dalam penyidikan dugaan penggelapan pajak Asian Agri. Tak bisa menghentikan penyidikan.

10 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Pemeriksa Keuangan menyimpulkan: Direktorat Jenderal Pajak melakukan enam kesalahan ketika memeriksa dan menyidik dugaan penggelapan pajak Asian Agri, periode 2002-2005. Inilah laporan audit Badan Pemeriksa atas kinerja proses pemeriksaan dan penyidikan enam kasus wajib pajak, yang rampung pada akhir Desember lalu.

Auditor Utama Badan Pemeriksa Syafri Adnan Baharuddin dalam laporan itu menyatakan pemeriksaan dugaan penggelapan pajak Asian Agri melebihi jangka waktu yang ditetapkan. Pemeriksaan seharusnya hanya dua bulan, tapi molor 40 hari. Direktorat Pajak juga tidak membuat berita acara penggeledahan kantor Asian Agri di Marunda, Jakarta. ”Alamat penggeledahan pun berbeda dengan yang tertera dalam surat penggeledahan dan kantor yang didatangi.”

Penyitaan dokumen perpajakan Asian Agri, yang dilakukan Direktorat Pajak pada 14 Mei 2007, juga baru dilaporkan pada 14 Agustus 2007. Penyidik pajak melewati batas waktu dalam melengkapi berkas perkara, dan belum menyerahkan barang bukti serta tersangkanya. Kesalahan-kesalahan itu, kata Syafri, bisa mengganggu proses hukum.

Perkara penggelapan pajak Asian Agri dengan tersangka Suwir Laut, Manajer Jakarta Regional Office Asian Agri, telah diterima Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada 29 Desember lalu. ”Ini memberi peluang adanya gugatan hukum,” ujarnya. Audit kinerja ini merupakan pesanan panitia perpajakan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sejak awal, panitia kerja perpajakan menyoroti langkah Direktorat Pajak menyidik dugaan penggelapan pajak Asian Agri. Tak pelak lagi, hasil audit ini menjadi beban tambahan Direktorat Pajak yang kepayahan menuntaskan perkara penggelapan pajak jumbo Asian Agri. Setelah empat tahun, dari 12 berkas perkara, baru satu berkas tersangka masuk ke Kejaksaan Agung.

Asian Agri merupakan subgrup bisnis Raja Garuda Emas Group—dulu Raja Garuda Mas Group—milik Sukanto Tanoto. Sejak 2001 hingga 2006, Asian Agri diduga melakukan rekayasa pajak hingga merugikan negara sekitar Rp 1,3 triliun. Dugaan penggelapan itu terungkap melalui pengakuan bekas Group Financial Controller Asian Agri Vincentius Amin Sutanto yang kini sedang menjalani hukuman di penjara Cipinang atas kasus pencucian uang.

Berdasarkan kesepakatan Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan Agung, dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, tiga tersangka penggelapan pajak Asian Agri diajukan lebih dulu karena sudah memenuhi unsur pidana. Selain Suwir Laut, ada dua tersangka lain, berinisial EL dan LR, yang berkas perkaranya belum lengkap.

Menurut Ketua Panitia Kerja Pajak Komisi Keuangan dan Perbankan, Dewan Perwakilan Rakyat, Melchias Markus Mekeng, kasus pidana pajak Asian Agri layak disetop. Sebab, Direktorat Pajak telah melakukan 90 persen pelanggaran Undang-Undang Perpajakan, termasuk aturan yang dibuat institusi pimpinan Mochamad Tjiptardjo ini. ”Banyak aturan di-bypass. Ini modus Direktorat memojokkan wajib pajak,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Hasan Bisri, mengatakan hasil audit lembaganya memang bisa melemahkan hasil penyidikan Direktorat Pajak. Tapi hasil audit tidak akan menghentikan penyidikan dugaan pidana pajak. Sebab, diumumkan atau tidak, pengacara Asian Agri pasti sudah mencatat ”kelemahan-kelemahan” Direktorat Pajak. ”Penyidikan harus jalan terus karena hasil audit ini tidak bisa dijadikan alat mempengaruhi proses hukum,” ujarnya, pekan lalu.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Massa, Direktorat Jenderal Pajak, Iqbal Alamsyah mengatakan pemimpin Direktorat Pajak masih mempelajari hasil audit Badan Pemeriksa. Adapun Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap mengatakan tak khawatir hasil audit akan melemahkan tuntutan jaksa. Alasannya, temuan audit hanya pelanggaran administrasi, bukan korupsi. ”Ini soal lain, terpisah,” katanya.

Anne L. Handayani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus